Aink back ^^ walaupun gada yang baca aink ttp nulis, setidaknya untuk diri sendiri.
______________________________________
"Gue mau tidur, ngantuk" lanjutnya berbisik.
Renata menurunkan tangan yang sedari tadi menyilang di dadanya.
Rasa cemasnya seketika hilang, terganti dengan keheranannya terhadap cowok tampan tepat di hadapannya ini."Vangsad ni cowok, bikin gue ambigu," gumamnya jengkel.
"Wait, what? Maksud gue, lo mau tidur di tempat kek gini?" tanya Renata heran.
Tentu saja heran, siapa yang mau tidur di toilet? Maksudnya, sengantuk apapun ia, Renata tetap akan memilih tempat mana yang layak ia tiduri.
Tanpa membalas celotehan gadis di hadapannya, Gibran membalikkan tubuhnya dan membaringkan tubuhnya di atas bangku panjang yang disediakan sekolah di toilet.
Semakin aneh saja. Mulai dari peraturan, konsekuensi, dan fasilitas sekolah ini semua terasa aneh. Dan ditambah lagi, Gibran.
______________________________________
Sudah sekitar 15 menit ia berdiam diri di pojok tembok. Sesekali mengamati makhluk aneh yang bisa-bisanya memejamkan matanya dengan pulas di kondisi seperti ini.
Rasa cemas, takut, dan kedinginan menyelimuti gadis berusia 16 tahun tersebut. Entah kapan seseorang akan membukakan pintu untuknya dan cowok menjengkelkan ini.
Ia rasa sudah cukup dirinya merasa panik di tempat sempit nan lembab ini. Tapi tidak, ketakutannya makin menjadi-jadi setelah lampu yang menjadi alasannya masih bisa bertahan di kondisi ini mati.
"Hiiks, Gib,.. Gibran," rintihnya menahan tangis.
Entah cowok dingin itu mendengarkannya atau tidak. Minimnya pencahayaan membuatnya tak bisa melihat wajah lelaki yang baru ia kenali beberapa jam yang lalu.
Ia benar-benar ketakutan sekarang,
Seluruh badannya menggigil, keringat dingin mulai bercucuran, telinga yang berdenging, detak jantung yang lebih cepat.Dirinya tidak mengerti kejadian masa lalu mana yang membuatnya seperti ini, sedangkan ia kehilangan sebagian ingatan masa kecilnya.
Renata menurunkan badannya,menyatukan kedua lututnya dan memeluk erat tubuhnya sendiri. Situasi seperti ini membuatnya merasa sendirian.
Seolah pernah terjadi berulang-ulang di masa lalu, ingatan akan kenangan buruk yang hanya secuil selalu berputar di otaknya.
"Tolong, aaa.. ak.. ku takut." rintihnya dengan gagap. Gadis itu seolah menggigau. Sulit baginya membuka mata. Bahkan hanya untuk bernafas.
Jemari tangan yang panjang dengan lembut menyentuh rambut cokelatnya yang terurai, mengangkat dagunya perlahan. Senggukannya semakin keras.
"Jangan takut, gue di sini." Gibran mengucapkannya dengan penuh penekanan.
Renata merasakan sakit di kepala yang membuatnya teringat kejadian yang bahkan belum pernah ia lalui sebelumnya,
"Jangan takut, aku di sini,
"Kamu mau keluar kan?"
"Nanti kita bisa beli es-krim,"
"Bawa aku keluar, aku mau pergi sekarang juga,"
"Nanti kita bisa main bareng, kan?"
"Kita gak akan ke sini lagi, gak akan pernah"
"Aku takut, akuu.. akkk,akuu taa kut,"
*
Berbagai kalimat ketakutan seolah berputar di kepala gadis itu.
Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Bahkan Renata tidak mengerti.Adakah rahasia kelam yang selama ini terlupakan?
Siapa anak lelaki dan perempuan yang samar samar terlihat di fikirannya?Rasanya sudah lama ia tak mengalami hal seperti ini, terakhir kali saat pemadaman listrik bergilir di kotanya dulu. Saat itu, mamanya bagai penenangnya dalam gelap.
Saat ini, ia harap seseorang dapat membantunya menenangkan fikiran.
Siapapun, bahkan cowok labil di sisinya sekarang.*
Gibran seolah mengambil alih tubuh gadis yang lemas itu.
Ia membuat Renata menyilangkan kedua tangannya ke bahu."Gue di sini, jangan takut,"
ucapnya memegang kedua punggung tangan gadis itu lalu membuatnya menepuk-nepuk secara berulang ke pundak kecilnya.Benar saja, Renata merasa sedikit tenang. Setidaknya ia bisa mengatur tempo nafasnya.
"Saat lo merasa cemas, takut, sedih, atau panik dan gak ada orang yang bisa meluk lo, peluk diri lo sendiri. Boleh lo merasa gak punya orang lain yang mengerti lo, tapi lo punya diri lo sendiri, sepenuhnya."
Gadis itu hanya bisa mengangguk, sangat sulit baginya untuk mengucap satu huruf saja. Andai ia bisa keluar dari tempat ini sekarang.
Pinggangnya merasakan sesuatu yang menggeliat, dengan lembut dan perlahan tubuhnya terangkat. Lelaki itu membopongnya untuk duduk di bangku yang nyaman.
"Pengap?
Lo susah napas?
Pusing?
Mual?" Gibran banyak bertanya. Ia merapihkan rok abu-abu milik gadis itu.
"Jawab gue, ogeb," lanjutnya kesal.
Seperti tak ada tanda-tanda kehidupan pada gadis di sampingnya.
Dia lalu memeriksa hembusan nafas pada hidung dan denyutan nadi pada tangan gadis tersebut.Cemas, baru kali ini ia mencemaskan seseorang yang bahkan baru ia kenal.
Hanya ada dirinya, siapa yang mau membantu gadis malang ini selainnya?Jam rolex hitam di tangan kirinya masih menunjukkan pukul 09:47
Sedangkan waktu istitahat masih 13 menit lagi."Bawa aku keluar." Renata akhirnya bicara. Bukan, dirinya hanya menggigau. Ia masih menutup matanya.
Tapi rasa cemas Gibran terhadap Renata setidaknya berkurang, mengetahui gadis itu masih hidup.
Dirinya berusaha membuka ikatan pada pinggang kecil Renata. Bermaksud membuatnya tidak tertekan dan lebih leluasa untuk ber-respirasi.
Ia memposisikan Renata untuk tidur di pangkuannya agar lebih mudah untuknya membantu.
Bersamaan dengan itu, gagang pintu di hadapannya bergerak. Seseorang membuka pintu tempat yang membuatnya terjebak.
Ceklek
"Demi sempak miper!!"
"Kalian ngapain di sini?!?"To be continued
(Masih 2 chapter ni, lanjut dong biar tau seru nggaknya^^)
KAMU SEDANG MEMBACA
GIBRAN (ON GOING)
Ficção AdolescenteMasa lalu suram Renata yang membuatnya menjadi pribadi mandiri dan tegar, bertemu dengan sosok lelaki penuh rahasia dimana sifatnya saja sering kali berubah-ubah. Renata dan Gibran sepakat akan menuntaskan masalah hidup mereka bersama. Akankah cinta...