||2. Orang-orang

12 1 0
                                    

Aku dianggap aneh, dikucilkan dan diremehkan padahal seharusnya tempat ini sebagai pembelajaran

Sayup-sayup kendaraan berlalu lalang, orang-orang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Waktu menunjukkan pukul 06.15 yang berarti saatnya memulai kehidupan di sudut kota.

Landai berjalan dengan kaki jenjangnya ke arah pangkalan bus. Tatapannya sayu, dingin dan tak mempedulikan sekitar. Orang akan menganggapnya apatis, acuh dan mungkin sedikit aneh.

Langkahnya pelan sembari mulutnya mengeluarkan suara pelan dengan gerakan badan yang seakan berbicara pada orang. Muka nya datar tak menampilkan senyum sedikit pun, garis wajahnya tegas dengan rambut lurus berwarna hitam pekat.

Gerbang Sekolah terbuka lebar menunggu siswa-siswi yang akan datang menuntut ilmu. Bagi sebagian orang masa sekolah adalah hal terindah dimana kita bisa menghabiskan waktu bersama teman, menoreh kisah, dan mencari lingkup pertemanan yang satu frekuensi.

Masa remaja merupakan hal yang paling menyenangkan, kita bebas mengekspresikan diri tanpa adanya halangan, mencari jati diri.

Namun, siapa sangka didalamnya juga terdapat pertarungan bukan tentang seberapa pintar tapi seberapa kuat mereka bertahan. Kehidupan didalamnya begitu keras apalagi bagi sosok Landai.

Sosok yang begitu dingin, pendiam tanpa semua orang tau perihal dirinya.

Semesta memang tak selalu memihak ketika Tuhan belum berkehendak. Agaknya ia harus maju walau entah apa yang akan terjadi disana.

Area kelas 12 IPA 2 belum begitu ramai walau waktu menunjukkan 06.50 yang berarti 10 menit bel akan segera dibunyikan.

Sesegera mungkin ia ke tempat duduk di pojok belakang dekat dengan jendela. Kelasnya berada di lantai 2 diisi 32 murid.

"Selamat pagi anak-anak," sapa nya ramah kepada anak didiknya tak lupa seulas senyum yang tersungging di bibirnya. Dia biasa dipanggil Bu Afra mengajar pelajaran Bahasa Indonesia.  Merupakan guru yang mengerti tentang keadaanya dan tak mempersalahkan sebab Landai pandai dalam berbahasa, menuangkan ide berbaris aksara.

"Pagi, bu," serempak mereka menjawab.

"Okay, kita lanjut pembahasan yang kemarin. Buka buku pake bab 2 ya,,"

Guru tersebut menerangkan dengan seksama sesekali memperhatikan para muridnya. Bu Afra salah satu guru yang memberikan banyak konstribusi bagi sekolah ini. Lewat tulisan, bakat dan karyanya.

2 jam berlalu kini Landai mengeluarkan buku bersampul coklat sebagai teman setianya tak lupa ponsel yang menyala ia gunakan pula.

Dia termasuk murid yang cerdas namun, kecerdasannya tak digunakan dengan baik. Alasannya ia tak ingin dikenal orang . Kendati tak perlu memusingkan hal-hal yang menjadi tuntutan bagi siswa peringkat atas.

Aksara, sampai kapan?
Bunga yang layu susah untuk kembali mekar, begitu pula diri sulit untuk menjadi sebenarnya

Mereka, tak mengerti
Mereka, tak paham
Walaupun aku bungkam tapi hatiku berteriak kencang

Sudahi, wahai semesta
Kuharap kau mengerti

Landai Syahda Anantha

Setelah selesai kembalilah pada aktivitasnya. Melihat sekeliling, mengamati sampai berasumsi. Memang, pada dasarnya kita hidup pada asumsi-asumsi itu sendiri.

___

Tibalah waktu yang ditunggu-tunggu bagi semua siswa yaitu pulang. Entah makna apa sebenarnya pulang. Pulang bukan berarti singgah ke rumah, tapi bermain-main, mengunjungi tempat untuk sekedar duduk, nongkrong dan hal yang biasa dilakukan oleh para remaja. Dan makna pulang adalah rumah dimana kita bisa bersantai, melepas beban sejenak, melunturkan dahaga.

Jalanan sore hari tampak ramai, orang-orang berlalu lalang bergegas untuk kembali. Seorang Ayah yang merindukan anaknya, seorang mahasiswa part time akan memulai pekerjaannya akan cepat bergegas.

Pengguna motor berjaket logo dengan senyumannya membawa penumpang ke tempat tujuannya. Harapan mereka sama yaitu kehidupan. Kehidupan yang layak, kehidupan yang diimpikan bagi banyak orang. Tak peduli seberapa keras mereka bekerja untuk menghidupi keluarganya maupun diri seorang.

Bus melaju sedikit demi sedikit berhenti, menunggu mereka yang masuk. Terlihat dijalanan para pencari pundi-pundi rupiah.

Sampailah ia di rumah tak berpenghuni. Kehidupannya hanya diisi hening. Dari balkon terlihat rona jingga mulai memberi warna pada langit. Ah, sebenci itu dia pada senja. Senja, mungkin menarik tapi tak sedetikpun ia melirik. Perlahan dunia bahagia nya menghilang. Mungkin dia tak diciptakan untuk bahagia.

____

"Hey, si culun!" Teriak seorang laki-laki tengah membawa bola. Terdengar teriakan dari teman-temannya

Landai hanya diam, tak berkutik. Terlalu banyak berpikir. Hanyut pada pikiran-pikiran yang dia buat sendiri. Hingga berakhir pikiran negatif memenuhi sebagian kepalanya tak bisa 'tuk berpikir positif. Semua serba salah terutama yang dia lakukan.

"Kok diam," ucapnya lagi dengan ratapan mengejek

Sebuah bola melambung begitu saja mengenai punggungnya. Ia hampir limbung dengan muka pucatnya berusaha tegar. Terdengar ejekan, olok-olokan dari teman-temannya. Menatap dirinya bahagia, tak ada tatapan iba ataupun berkenan membantu.

Kata-kata yang mereka ucapkan secara pelan menusuk relung hatinya, merusak kepercayaan diri, perlahan membunuh ekspresinya. Eksistensi satu kata yang mampu menujukkan seberapa keren mereka bertahan. Seberapa pandai mereka mempermainkan seseorang, entah karena benci, iri, ataupun hiburan semata.

Berapa tahun yang lalu batinya tersiksa, tertekan, rupanya terus bertahan. Masa putih - birunya terenggut tanpa ada bahagia. Diisi kesendirian, keheningan, dan ketidaknyaman.

Vote + Komen

Typo bertebaran

Nikmati ceritanya
Juga nikmati hidup karena perlu banyak alur untuk membentukmu

Salam Bahagia,,

Ariffah Adzrha

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 20, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LandaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang