***
September kelabu.
Memakai baju terusan warna putih, Dian memandangi kaca jendela, malam pengap dan muram, tidak ada beda dengan hatinya yang selalu muram didera kalut, wanita itu memegang boneka panda yang sudah kusam, benda yang selalu Dian cari setiap kali rindu pada Erlin, anak perempuan semata wayangnya di kampung.
Erlin diasuh Bapak dan Ibu di Malang, sementara Dian bekerja di Jakarta. Sebagai anak tunggal, Dian yang bertanggung jawab menjadi tulang punggung keluarga. Bapak ibunya sudah terlalu tua untuk bekerja.
Boneka itu Dian remat dalam pelukan.
Dian ingin sekali menelepon dan mendengarkan suara Erlin, tapi.. tidak bisa.
Suami? Dian tidak punya, yang Dian punya hanya penyesalan karena terkena tipuan berkedok cinta.
Sejak Erlin lahir, Erlin tidak punya bapak, calon suami yang dulu digadang-gadang sebagai bahu untuk Dian sandari, nyatanya hanya pria brengsek yang mengaku bujangan padahal dia sudah beristri dan punya anak, kenyataan yang waktu itu membuat Dian dan Bapak Ibunya, merasakan shock yang luar biasa.
Setelah puas, memoroti dan menikmati seks cuma-cuma dengan janji menikahi, pria bajingan itu bahkan meninggalkan Dian begitu saja, tanpa mau bertanggung jawab, seperti Serigala yang meninggalkan bangkai buruannya.
Harapan Dian untuk berumah tangga, menemukan pria yang mencintainya dan hidup bersama suami di rumah impian, faktanya cuma menjadi harapan sia-sia, yang ada Dian menjadi bahan gunjingan masyarakat, belum lagi dengan sandangan nama pelakor yang Dian terima karena hamil dengan suami orang.
Dian menghela napas, sakit hatinya belum sembuh jika mengingat masa lalu.
Kini, posisinya sebagai tulang punggung keluarga mengharuskan Dian berkorban, tidak ada pilihan lain selain berpisah jarak dengan orang tua maupun anaknya yang masih kecil, asal bisa menghidupi keluarga, asal anak dan orangtuanya bisa makan, asal bisa menyambung nyawa, semua Dian lakoni.
Termasuk terjebak menjadi kupu-kupu malam.
Pekerjaan hina yang sudah tentu membuat malam-malam Dian selalu ditemani oleh pria hidung belang yang bahkan baru dia kenal beberapa jam saja.
Demi sesuap nasi dan tuntutan ekonomi untuk kebutuhan hidup keluarganya, harga diri Dian sudah lama tergadai.
Di balik pekerjaanya yang dipandang hina, ada anak yang harus dia sekolahkan, ada orangtua yang harus dia kasih makan. Tidak ada wanita satupun di dunia ini yang bercita-cita menjadi PSK, tapi karena keterbatasan pendidikan dan tidak punya keahlian tertentu, Dian terpaksa menjalani profesinya untuk menyambung nyawa.
Apakah Dian menikmati profesi ini? Jelas tidak, Dian tidak pernah menikmati hubungan seksual yang terjadi, bagaimana mungkin menikmati, jika tidak ada ikatan sama sekali dengan klien para hidung belang itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Coretan Buangan
Teen Fiction(Selesai)✔ Tiga belas kumpulan cerita pribadi sederhana bikinan penulis yang kalau dibuang beneran 'eman-eman,' Kalau mau luangin waktu untuk ikut gabung baca, silahkan. @Elismee-2019