10 Januari 2010
Aku suka berlari mengitari ruangan rumah, aku senang berbicara dengan semesta. Membuka jendela kamar merasakan kehangatan dunia. Kehidupanku begitu damai, ibu dan ayah yang sangat menyayangiku. Rumah yang jauh dari keramaian terasa sangat menenangkan, suasana alam yang begitu asri. Cahaya matahari sangat terik, menyilaukan mata dan membawa kedamaian saat menembus ventilasi rumah. Hari mulai sore, ayah sibuk bermain dengan laptop serta ibu sibuk memasak di dapur. Aku bersama bonekaku, memeluknya erat dan membawanya menikmati suasana di luar. Tak akan jauh, hanya di sekitaran rumah saja. Tak apalah sesekali ke luar sendirian tanpa ayah dan ibu, aku Bintang yang mandiri ingin menikmati alam semesta bersama boneka beruang berwarna pink yang sangat lucu.
"Selamat sore semesta. Aku Bintang, mempunyai misi membawa keceriaan." Aku bahagia saat ini, berteriak gembira sembari memeluk boneka kesayanganku. Hari ini adalah hari Minggu, libur sekolah memberikan aku waktu menikmati semesta. Bintang bukan apa-apa tanpa semesta, sebab Bintang akan selalu membawa kedamaian dan kehangatan. Di umur 8 tahun ini, aku berbeda dengan teman-teman seumurku. Jika mereka lebih senang menghabiskan waktu untuk bermain gadget, maka aku lebih senang menghabiskan waktu bersama alam semesta. Menanam bunga, menghabiskan waktu di rumah pohon lalu menuliskan surat untuk langit. Aku suka menatap langit, walaupun dia sering berbohong. Kadang berwarna biru, kadang jingga bahkan hitam pekat. Tapi aku tak akan membenci langit, sebab dia adalah ciptaan Tuhan yang sangat unik, dia sangat indah kala bintang menghiasinya pada malam hari. Hal tersebutlah membuatku kagum kepadanya.
Meong ... Meong
Suara kucing mengusik diriku yang saat ini sedang memetik bunga yang tak jauh dari rumah. Aku takut jika kucing tersebut memerlukan pertolongan, atau mungkin dia sedang kelaparan. Seorang Bintang harus peduli pada semesta dan seisinya, aku melangkahkan kaki menuju sumber suara. Suara kucing tersebut semakin keras, semakin dekat, dan akhirnya kutemukan keberadaannya di depan sebuah rumah yang tak jauh dari rumahku. Pantas saja mengeong keras, rupanya dia sedang terancam. Kucing itu diganggu oleh anak lelaki yang sangat nakal. Dia terus menggelitik perut kucing itu dengan kedua tangannya. Tak akan kubiarkan dia menyakiti ciptaan Tuhan, dia harus menghentikannya. Dia menoleh ke arahku, tampaknya dia baru menyadari bahwa aku menyaksikan kejahilannya itu. Siapa dia? Tampaknya dia tetanggaku. Aku membelalakkan mata saat melihatnya, dia hanya diam. Mungkin saja dia takut melihat anak seumuran dengannya tapi bersikap seperti orang dewasa.
"Jangan ganggu kucing itu! Aku mempunyai misi membawa kedamaian dan kehangatan tak akan membiarkan hal ini terjadi." Ucapku berbicara seperti tokoh pahlawan di kartun-kartun yang pernah aku tonton. Alhamdulillah, akhirnya dia melepaskan pegangannya terhadap kucing itu. Tampaknya dia ketakutan melihatku.
"Jangan takut, Bintang tak akan menyakitimu. Aku memaafkanmu, tapi kamu jangan nakal lagi."
Aku tak mengerti, apa ucapanku ini menyakitinya? Dia tak berbicara sedikitpun, namun matanya terus memandangku dengan tatapan yang aneh. Mungkin saja dia tak pernah melihat anak kecil yang bawel sepertiku. Aku Bintang, aku tak akan pernah menyerah untuk membuat orang di sekelilingku tersenyum."Kamu siapa?" Akhirnya dia berbicara walaupun hanya singkat dan pelan. Tak apa, yang terpenting adalah dia mau berbicara denganku.
Aku mendekatinya lalu mengulurkan tangan ke hadapannya.
"Aku Bintang, panggil saja Bintang. Misiku adalah memancarkan cahaya yang dapat membawa keceriaan, kedamaian dan kehangatan." Dia menjabat tanganku dengan ragu lalu berkata, "aku Langit, panggil saja Langit."
Namanya Langit, betapa bahagianya aku ketika mendengar nama itu. Aku suka namanya. Aku selalu mengirim surat terkhusus untuk langit, tapi langit yang satu ini bisa berbicara, dia adalah manusia. Mulai detik ini Bintang bahagia bersama Langit."Yeay ... Akhirnya ada Langit yang bisa berbicara. Mulai hari ini kita adalah teman." Aku meloncat-loncat kegirangan, sedangkan Langit menggaruk-garuk kepalanya seperti orang yang tak mengerti.
"Teman? Apa itu teman?" Aku tak menyangka ternyata di dunia ini ada yang tak mengerti arti pertemanan, Langit selama ini ke mana? Apa dia hidup di planet lain? Entahlah, aku terus menatapnya heran sembari mengernyitkan dahi. Tak apa Langit, aku akan menghiasi harimu yang gelap.
"Teman itu orang yang selalu ada dalam suka dan duka, berbagi cerita tentang apa yang kita alami."
"Jadi sekarang kita berteman?" tanya Langit yang tengah serius mendengar penjelasanku.
"Mulai hari ini." Aku menggapai tangannya, lalu mengaitkan jari kelingkingku dengan jari kelingkingnya, "aku berjanji akan bersama Langit dalam suka ataupun duka. Janji?"
Langit tersenyum dan menjawab, "janji."
"Oke Langit, aku tak bisa lama-lama. Bintang harus pulang, tenang saja rumah kita dekat. Besok akan kuajak dirimu menikmati semesta. Kamu siap?"
"Terima kasih Bintang, Langit akan selalu siap menemani Bintang."Aku bahagia hari ini bisa bertemu dengan Langit. Akhirnya mimpiku terwujud, memiliki rekan menikmati indahnya semesta. Akan ada yang menemaniku nantinya menatap semesta dan mengirim surat pada langit. Rasanya tidak sabar menceritakan semuanya pada langit bahwa di dunia ini ada seorang manusia yang namanya juga Langit. Langit bukan hanya ruang luas yang terbentang di atas bumi, tapi ada pula yang nyata serta hidup dan berpijak di bumi.
Setelah beberapa jam menikmati indahnya alam semesta ini, aku harus pulang. Ibu dan ayah pasti cemas. Ternyata dugaanku benar, ayah dan ibu telah menunggu di luar teras rumah. Mereka menggelengkan kepala saat melihatku. Aku hanya bisa terdiam, aku takut dimarahi. Semoga saja ayah dan ibu mengerti, aku tak jalan jauh-jauh hanya sekitaran rumah saja.
"Bintang, kamu ke mana Nak? Kamu tahu ibu dan ayah cemas." Ibu menatap dan membelai rambutku yang terkuncir dengan lembut. Aku hanya menunduk, sebab merasa bersalah pada mereka.
"Kalau mau main bilang ke ayah dan ibu ya Bintang. Kami tidak akan melarangmu. Seorang anak itu harus meminta izin dulu kepada orang tuanya jika ingin bepergian." Ayah memegang tanganku dengan erat, tampak kecemasan dalam dirinya terhadapku.
"Bintang tadi jalan di sekitaran rumah saja ayah, ibu. Di rumah itu ..." Aku menunjuk ke arah rumah tetangga yang tak jauh dari rumah kami.
"Oh rumah tetangga kita. Bintang main sama siapa?"
"Sama Langit Bu."
"Kalau mau ke sana lagi, biar ibu dan ayah yang temanin ya. Boleh?" tanya ayah sembari mencubit pipiku.
"Tentu saja boleh. Aku Bintang akan memancarkan cahaya yang membawa keceriaan, kedamaian dan kehangatan." Ucapku bersemangat sembari memperagakan sebuah gerakan tangan membentuk hati di atas kepala. Ibu dan ayah hanya tertawa melihat tingkah aneh anak mereka seperti diriku ini. Inilah aku, aku ingin menjadi diriku sendiri.***
Dear langit, aku ingin bercerita lewat tulisan ini. Aku bahagia hari ini dapat bertemu dengan seorang teman lelaki yang namanya sama sepertimu yaitu Langit. Langit bisa berbicara, dia adalah manusia. Dia berbeda dengan manusia lainnya, dia tak tak tau arti teman, dia juga tak banyak bicara seperti Bintang. Tapi tenanglah, Bintang akan selalu memancarkan cahaya membawa keceriaan, kedamaian dan kehangatan. Bintang berjanji akan selalu menghiasi langit malam yang kelam.
Kulipat sebuah surat yang terkhusus untuk langit dan mengikatnya dengan tali nilon serta kulilit surat tersebut pada balon gas, lalu menerbangkannya secara perlahan dari balik jendela kamar. Malam ini sangat indah, banyak bintang yang menghiasi langit malam. Aku terus menatapnya lekat-lekat, berharap Langit akan menjadi teman selamanya dalam hidupku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang Menghiasi Langit
General FictionBintang memancarkan cahaya, membawa kehangatan dan kedamaian. Langit malam yang kelam terhiasi pesona bintang, yang selalu membawa keindahan. Bintang dan Langit saling melengkapi, sebuah ciptaan Tuhan yang nyata adanya. ~Bintang Aku Bintang, seoran...