13.1 Kisah Tanah Dewata (a)

89.4K 11.2K 684
                                    

Jam makan siang, Deva ikut makan di kantin dengan teman-teman mainnya di kampus. Suasana kantin kampus tergolong tidak terlalu ramai, karena sebagian besar mahasiswa memilih untuk makan di luar.

Banyak mahasiswa dari berbagai semester yang bergabung di meja tersebut. Obrolan-obrolan ringan tampak mewarnai perkumpulan itu. Beberapa dari mereka ada yang fokus dengan ponsel di tangannya.

Dari tempatnya, Deva dapat melihat Tara yang juga sedang makan siang bersama teman-temannya. Sepanjang ia memperhatikan, hari ini Tara tidak terlalu riang saat mengobrol dengan mereka.

Sejak kejadian kemarin, dan pernyataan Tara yang katanya mengetahui rahasia Deva, sepertinya cukup mempengaruhi mood cewek itu seharian ini. Entah apa yang disimpulkan Tara.

Bukannya Deva juga tidak memikirkan hal itu. Justru, semalaman ia sibuk menimbang, apakah sudah saatnya ia membahas hal ini dengan orang lain? Dari sekian banyak orang yang datang, pergi, ataupun menetap di hidupnya, ia tak percaya bahwa orang pertama yang terpikirkan untuk diceritakan pengalaman tragis di hidupnya adalah Tara.

Bahkan, Deva tak pernah membahas secara langsung dengan Arik, karena cowok itu tahu dengan sendirinya.

Sambil mengobrol, Deva sesekali mencuri pandang ke arah Tara. Detik itu, ia menangkap Tara yang juga menoleh ke arahnya. Deva hanya tersenyum pelan saat mata mereka saling beradu pandang. Namun, Tara malah buru-buru mengalihkan pandangannya, pura-pura tidak melihat.

Deva hanya tersenyum geli dengan tingkah Tara. Mengapa harus berpaling jika sudah ketahuan?

"Dev, woy!"

Deva baru tersadar saat Radit─teman seangkatannya, menyenggol lengannya untuk memanggil cowok itu.

"Ya?" sahut Deva, ia melihat teman-temannya sudah menatapnya, seolah menunggu jawaban. "Kenapa?"

Eza mendesah, melihat Deva yang tidak mengikuti obrolan mereka. "Mia Luris kemaren tato di tempat lo? Gue liat temen lo masuk story Mia."

"Mia Luris? Siapa?" tanya Deva bingung, tidak mengenal nama yang disebutkan Eza.

"Selebgram yang lagi ngehits, sebangsa Awkarin! Tapi cakep banget sih, si Mia, asli. Gue sering liat dia juga di Sky Life, tapi ya beda kelas kalau mau nimbrung juga," jelas Radit.

Deva mengangkat bahunya. "Gak tau, paling di-endorse Arik biar tempatnya makin rame. Mungkin kenal juga sama Tania, makanya bisa kerja sama."

"Wah, berapa itu, rate Mia, Dev? Gue mau coba dong, buat endorse olshop," tanya Rara, salah satu cewek yang bergabung di meja tersebut.

"Kurang tau. Nanti coba aku tanya Arik, Ra."

Rara mengangguk setuju.

Obrolan terus bergulir di antara teman-teman cowoknya, membahas sosok Mia Luris yang saat ini tengah digandrungi kaum adam karena paras dan tubuh seksinya. Deva tidak mengikuti obrolan itu, karena tidak mengenal sang objek yang dibicarakan.

Ia memilih mengeluarkan ponsel, lalu mengetik pesan untuk Tara.

Deva : Nanti malem mau keluar?

Pesan Deva tak langsung berbalas. Dilihatnya Tara yang sedang menyimak obrolan teman-temannya.

Beberapa menit kemudian, barulah pesan dari Tara masuk.

Tara : Ini ngajak maen?

Deva :Iya, Tara.

Tara : Oh....

Tara : Mau ngapain?

Deva : I wanna tell you something.

Pesan terakhirnya sudah terbaca, tapi tak langsung muncul balasan dari Tara. Dapat dilihatnya cewek itu kini hanya menatap layar ponselnya, sedang berpikir untuk balasan pesannya.

Tara : Oke. Jam tujuh ya, biar pulang gak kemaleman.

Baru saja Deva berniat membalas pesan Tara, ada satu pesan lagi masuk.

Tara : Eh, kenapa harus malem? Pulang kuliah aja.

Deva : Aku ada kerjaan.

Tara : Oh, kamu kerja?

Deva : Bantu-bantu doang si kalo sempet, di gerai tato temen.

Tara : Wah, tau kamu kerja, aku gak mau diajakin makan yang murahan.

Deva tak mampu menahan tawanya yang terlepas begitu saja, sampai teman-temannya menoleh, saking jarangnya melihat Deva yang tertawa karena bermain ponsel.

***

Tara memperhatikan sekelilingnya, meja-meja makan yang tidak terisi penuh oleh pengunjung restoran, perpaduan interior elegan dan klasik yang memberikan kesan santai tapi tetap megah, serta bar yang memamerkan beraneka jenis minuman beralkohol yang membuat daya tarik restoran ini semakin tinggi.

Tara mengetuk jarinya pada meja agar tertangkap oleh penglihatan Deva. Hal itu berhasil membuat Deva mengangkat kepala untuk melihat ke arahnya. "Jadi, ini Sky Life yang suka diomongin anak-anak kampus? Bukan club? Tapi resto and bar?" tanya Tara pada Deva yang sebelumnya menekuni buku menu untuk memesan makanan.

"Club-nya ada di sebelah. Kamu mau ke sana?" Deva tersenyum pelan saat bertanya seperti itu, dapat menebak reaksi Tara setelahnya.

"Yah, nyesel aku positive thinking."

Deva tertawa mendengar ucapan Tara, lalu ia kembali melihat buku menu.

"Tar," panggilnya kemudian, sambil kembali mengangkat kepalanya untuk menghadap Tara. "Aku ... pesen alkohol, gak papa?"

Tara diam sejenak. Tatapan Deva kini mulai serius, pertanda permintaannya tidak bercanda.

Saat melihat Deva, Tara menyadari arti permintaan itu. Pertemuannya malam ini akan membahas keadaan Deva yang selama ini ia pertanyakan. Deva membutuhkan dorongan keberanian yang ditimbulkan dari senyawa alkohol, dalam membeberkan kejadian yang kemungkinan besar adalah pengalaman traumatisnya.

Tara akhirnya mengangguk. "Tapi nanti yang bawa motor siapa? Atau aku pulang naik taksi sendiri aja deh ya, gak usah dianter...." Tara memastikan, serta buru-buru mencegah Deva mengantarnya lagi jika tidak naik kendaraan sendiri.

"Setengah jam lagi temen aku, Arik, bakal dateng buat anter kamu pulang. Nanti aku pulang bareng temenku yang lain, motor titip sini aja."

Tara mengangguk lagi. Rupanya Deva sudah sangat mempersiapkan hal ini. Ia jadi takut untuk mendengar cerita Deva, sampai terpikir sepertinya tidak tahu apa-apa lebih baik. Namun, rasa penasarannya mengalahkan segalanya.

Kemudian, Deva berdiri untuk mengantarkan kertas pesanannya pada bartender yang tampak akrab dengannya.

***

Jangan lupa vote dan komen yaaa

Follow juga instagram aku buat tau info tentan novel novelku : hildawardani_

Titik Nadir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang