Basket - 1

21 7 3
                                    

Clara mengangkat tangannya tinggi-tinggi, seraya menggoyangkannya kesana kemari, nampak seperti orang yang tengah melambai.

"Gue kak, gue!" pekik Clara dengan antusias.

Lelaki berjas hijau tua itu mengernyitkan alisnya, sepertinya kebingungan melihat gadis dihadapannya. "Kamu? Maaf gak bisa, tinggi pemain yang kita butuhkan itu 160 keatas"

Clara menatap datar ketua osisnya yang bernama Rafael itu. "Gue sebenarnya tinggi, kok! Hanya lu aja yang kayak tiang bendera" celetuk Clara terkekeh geli.

"Oh" gumam Rafael tak begitu peduli. Ia berjalan pergi meninggalkan sekumpulan anak murid yang tengah berdiri ditengah lapangan untuk mendaftar masuk ke lomba basket sebagai perwakilan SMA Nusa Jaya.

"Bagi yang tadi sudah saya pilih, silahkan ikut keruangan osis"

Clara terdiam ditempat, tak bergeming sedikit pun. "Dasar! Memangnya kenapa kalau gue mau ikut lomba? Mau gue pendek, atau tinggi! Pada intinya gue ini mantan ketua basket di SMP dulu! Mau cari dimana coba, udah cantik! Pinter maim basket! Ya walau pun badan kecil sih" Clara mengacak-acak rambutnya, frustasi. "Pokoknya gue harus ikut!"

Clara berlari secepat mungkin, mengejar Rafael. Namun tanpa ia sadari, ternyata ada sebuah batu dihadapannya, yang membuatnya terjatuh mendorong tubuh ketua osisnya itu.

BRAK

"Sial, sakit banget!" decit Clara memegangi lengannya. "Batu kampret! Gue bunuh juga nih lama-lama!"

"Maksud lo apaan dorong-dorong gue sampai jatuh?" tanya Rafael tak memberi Clara sebuah ekspresi. Sangat datar! Bahkan saking datarnya, wajahnya pun tak terlihat!

"Gue gak sengaja! Lagian kalau lo mau marah, salahin aja tuh batunya! Siapa suruh langsung muncul di depan gue" cibir Clara segera berdiri, seraya menepuk-nepuk roknya yang terlihat kotor.

Beberapa murid lelaki mulai membantu Rafael untuk berdiri. Seperti pangeran saja, apa dia tak bisa berdiri sendiri? Melihat itu membuat Clara jadi jengkel.

"Cih," Rafael mendecih kesal menatap wajah Clara yang berlagak seperti tak mempunyai dosa secuil pun. "Sekarang ikut saya ke ruangan osis!"

Mata Clara refleks membelalak lebar. "Gue dibolehin ikut lomba bola basket?!" pekik Clara kesenangan. "Alhamdullilah ya Allah! Akhirnya impian gue selama ini bisa terkabulkan!"

"Hm, ikut aja cepat"
Clara mengangkat tangannya kearah dahi, membentuk sebuah fariasi hormat untuk si ketua osis. "Baik, kek!"

Rafael mengepalkan tangannya kuat, rasanya ia sudah tak tahan lagi dengan gadis ini. "Saya masih muda!"

Clara hanya memangun-mangun ria saja menanggapi ucapan Rafael, kemudian berjalan menarik tangan lelaki yang ia dorong tadi "Ayo cepat! Gue udah gak sabar latihan buat lomba"

"Hey-hey! Jangan pegang tangan Rafael!" ucap seorang gadis bernama Anggi yang datang menghampiri Clara. "Lepas ih! Tangan kotor gitu, juga!"

Clara mengidik ngeri melihat tampilan gadis yang menghampirinya itu. "Idih apa-apaan lo? Emang si ketos ini pacar lo? Dasar emak-emak menor!" cibir Clara memutar bola matanya, sinis.

"Eh cewek bau kencur! Denger ya, Rafael itu tunangan gue! Jadi lo gak usah pegang-pegang dia! Jijik tau gak sih?" sahut perempuan itu. Sepertinya emosinya tengah memuncak, ah pasti sangat menyenangkan kalau dia semakin marah!

Clara tersenyum iseng. "Tapi gue udah terlanjur suka sama Rafael, gimana dong?"

"Hey!! Lepasin! Lepasin tunangan gue!" Anggi menarik-narik rambut Clara, membuat rambut Clara rontok beberapa helai. "Gue laporin Papa lo yah! Biar mampus dimarahin sama calon mertua gue!"

"Weh, kampret! Lepasin rambut gue! Iya-iya udah, gue gak pegang suami lo lagi! Udah lepasin!" Clara melepas gandengannya pada Rafael, dan beralih mendorong wajah Anggi. "Lo kalau mau baku hantam ayo sini" Clara ikut-ikutan menarik rambut Anggi, hingga gadis itu kerab memekik kesakitan.

Rafael menggeleng pelan, tak habis pikir melihat tingkah kedua wanita miring dihadapannya. "Lo berdua bisa diam?" tanya Rafael, namun sialnya Anggi dan Clara mala mala tak mempedulikannya. Rafael menghela napas pasrah, tak ada gunanya ia berbicara, tak ada yang mau mendengarnya juga. "Keliling lapangan, 50 kali!"

Clara langsung terdiam, begitu juga dengan Anggi. Raut wajah keduanya langsung terlihat cemberut.

"Kok aku dihukum sih, sayang? Gak mau ah! Kan dia duluan" rengek Anggi memajukan bibirnya beberapa centi.

"Mau saya lapor sama kepsek?" ancam Rafael mencoba untuk terus sabar. "Segera laksanaka, atau hukuman kalian saya tambah"

Clara mengangguk antusias. "Siap, kek! Kalau ditambah juga gak apa-apa, asal gak usah masuk kelas" Clara tersenyum lebar, menampakkan deretan giginya yang rapi.

Rafael memijat pelipisnya, yang ada jika terus disini, ia bisa-bisa menjadi stres. "Ya udah terserah kamu. Setelah itu datang keruang osis" Rafael pergi dengan beberapa murid lainnya.

Anggi yang merasa tak dianggap, mulai menoleh pada Clara, sepertinya ingin melanjutkan perkelahian yang tadi. Dari caranya menatap saja sudah telihat jelas.

Clara menaikkan salah satu alisnya, memasang raut wajah yang tengah kebingungan. "Kenapa muka lo kayak gitu?"

Anggi menggigit bibir bawahnya, seraya menundukkan kepalanya, dalam. "Jangan rebut Rafael dari gue. Gue sayang banget sama dia. Gue mohon, jangan simpan perasaan apapun sama Rafael" Anggi menangkupkan kedua tangannya menghadap Clara. "Gue udah tunangan sama dia."

"Eh? Sa-santai aja, gue gak beneran suka kok sama Rafael! Gue cuma becanda aja tadi. Seriusan deh" Clara mengangkat kedua jarinya.

"Gitu ya," Anggi terdiam sejenak. "Tapi sampai kapan pun, lo bakalan tetap jadi musuh gue!"

Clara terkekeh pelan. "Ya udah, lagian gue gak mau juga jadi teman lo" cibirnya. Clara segera pergi ke lapangan, melaksanakan perintah yang tadi Rafael suruh.

"Tungguin gue! Jangan main tinggal aja napa sih" kesal Anggi menahan pergelangan tangan Clara. "Heh! Kenapa gue mesti megang tangan kotor lo sih?! Aduh refleks gue salah nih"

"Idih parah banget lo, coek! Makanya jangan pegang-pegang gue! Udah lo gak usah ngekorin gue mulu!" Clara mendorong tubuh Anggi, agar menjauh beberapa langkah darinya.

"Oke, fix! Gue bakalan pergi. Dan lo! Jangan pernah muncul lagi dihadapan gue" Anggi menunjuk wajah Clara, sepertinya merasa kesal diusir oleh gadis itu.

"Penting apa gue harus muncul di depan lo" Clara menggelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan ucapan Anggi.

"Ya, jangan sampai lo ada butuh! Ah gitulah, intinya lo gue end!" Anggi menghempaskan rambutnya di depan wajah Clara, membuat mata Clara jadi perih karena terkena rambut nenek sihir itu.

"Allahuakbar, kenapa bisa ada nenek sihir disekolah ini?" Clara mengucek-ucek matanya, masih merasa kesakitan. "Aduh, sakit banget!"

"Permisi, ada yang bisa gue bantu?" tanya seseorang tersenyum ramah. Clara terlihat sedikit membuka matanya, namun buram. "Ma-matanya kenapa?"

"Oh ini, mata gue tadi kena rambutnya si nenek sihir, makanya jadi perih. By the way gue gak butuh bantuan, lo pergi aja sana"

"Em, ya udah deh. Nama gue Rio, salam kenal" Rio mengulurkan tangannya kearah Clara, berniat ingin menjabat tangan si gadis.

"Sama-sama!" sahut Clara langsung pergi begitu saja. Saking perihnya, ia bahkan jadi tak konsen dengan sekitarnya, jadi Clara langsung asal jawab saja dengan ucapan Rio.

"Ha-hah?" Rio memiringkan kepalanya, merasa linglung sendiri jadinya.

CLARAFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang