Basket - 2

9 3 3
                                    

"Woi kek! Gue udah selesai lari 50 putaran, mau ditambah lagi gak?" tanya Clara seraya terus mengembangkan senyumnya. "Mumpung gue masih ada tenaga, nih!"

Rafael menolehkan kepalanya, mengalihkan pandangannya pada gadis yang tengah berdiri diambang pintu. "Masuk kelas, belajar! Jam istirahat datang kesini lagi, saya mau ngomong"

Clara menutup mulutnya rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya.
"Kakek mau ngungkapin perasaan sama gue? Heh, padahal kakek udah punya tunangan! Gak boleh gitu"

Rafael mengusap-usap dadanya. "Udahlah, sekarang kamu masuk aja ke kelas. Saya gak mau kamu bikin rusuh disini"

"Lah, padahal gue gak ngapa-ngapain loh, kek! Gak mau ke kelas pokoknya! Lagian bentar lagi udah istirahat, nanggung banget! Oh iya, kakek ngapain masih di ruangan osis? Bolos kan? Huu dasar osis, bisanya cuma ngomong doang!" ejek Clara mengulurkan lidahnya.

"Bodo ah. Saya udah izin sama guru, harus persiapin data lomba-lomba bulan depan. Memangnya kamu ada izin?"

"Ada kok! Tapi bukan sama guru" Clara berjalan menuju sofa, kemudian duduk tanpa disuruh. "Kakek penasaran gak?"

Rafael menggeleng pelan, pandangannya kembali pada dokumen-dokumen diatas mejanya.

"Lah, kok gak penasaran sih?" kesal Clara menghentak-hentakkan kakinya, kesal. "Gak seru banget sih! Padahal teman-teman cowok gue gak ada yang seperti kakek! Dingin banget kayak tangan gue kalau pagi-pagi"

"Oh"

Clara membuka salah satu sepatunya dengan cepat. "NGOMONG DINGIN LAGI GUE LEMPARIN PAKAI SEPATU!"

Rafael tersentak kaget, suara Clara benar-benar membuat gendang telinganya hampir pecah!

"Siapa?" sahut Rafael mencari tau siapa orang yang tadi Clara teriaki. "Saya, kah?"

Clara hanya tersenyum paksa, tak tau lagi harus mengatakan apa. Orang pintar memang susah diajak bicara, ya termasuk ketua osis yang satu ini.

Melihat Clara tak kunjung menyahuti pertanyaan Rafael, lelaki itu akhirnya memutuskan untuk kembali mengatur data-data sekolahnya. Kini waktu adalah yang terpenting baginya, karena jika telat sehari saja, ia bisa-bisa dipecat sebagai ketua.

"Ih kesel! Bosenin banget ternyata ya kalau ngomong sama anggota osis, sok cool semua!" cibir Clara segera menidurkan tubuhnya disofa. "Hey, kek!"

"Saya bukan kakek kamu" jawab Rafael tak mengalihkan pandangannya dari dokumen diatas meja.

"Iya sih, kakek gue ada dirumah, lagi bobok cantik" Clara membuka ikatan rambut yang ia gunakan, kemudian merapikannya. "Kek lihat dong! Gue cantik gak kalau rambutnya diurai gini?" tanya Clara mulai memasang pose-pose ala model.

Rafael mencuri sedikit pandangan pada Clara, menatap gadis itu sekilas. "Gak"

Clara memajuka bibirnya beberapa centi. "Masa sih gak cantik? Gue ini blasteran loh, keturunan bule"

"Oh"

Lagi-lagi Rafael hanya bergumam pelan. Mendengar ucapan lelaki itu, membuat Clara menjadi kesal sendiri! Sekarang Clara tak akan membiarkan Rafael begitu saja!

BUGH

"Nah kan! Makanya gue bilang, ngomongnya jangan pendek-pendek! Nyebelin tau gak" Clara terus mengomel tak jelas, tanpa menunggu respon dari Rafael. Sudah pasti jika dilempar seperti itu, akan sangat menyakitkan. Clara memang tak mempunyai hati.

Rafael memegang wajahnya, kenapa mesti hidungnya yang kena? Bisa-bisa ia menjadi pesek karena lemparan Clara yang sangat keras.

"Oi, kek! Lo kok gak marah sih sama gue? Ngomel dong! Gue tadi sengaja lemparin lo sepatu, supaya lo ngomong banyak-banyak!" Clara datang menghampiri Rafael, kemudian menarik pipi sang ketos. "Senyum aja dikit bisa gak sih?! Datar banget mukanya"

"Aduh, hey sakit!" Rafael menepuk-nepuk tangan Clara, agar berhenti menarik pipinya. "Sakit!"

"Hih dasar! Kayaknya gue perlu siksa lo dulu, supaya mau ngomong" Clara berpikir sejenak. "Lo kok gak marah lagi, sih?"

"Males"

"Dih, au ah! Gak suka banget gue sama cowok kayak lo. Bukan tipe cowok idaman! Gue bingung, kenapa sih si nenek lampir itu bisa jatuh cinta sama es batu kayak lo?"

Rafael mengidikkan pundaknya, tanda ia pun sama sekali tak tau. Clara menatap tajam wajah lelaki itu.

"Lo nyantet dia, kan?" Clara menyipitkan mata, mencoba untuk menyelidik pada ketua osisnya. Wajah Clara menunjukkan bahwa ia tengah mencurigai lelaki dihadapannya itu.

"Gak"

"Masa sih? Gak mungkin si nenek sihir itu bisa mau sama lo, tanpa alasan! Lo ganteng aja enggak, gimana caranya coba?" celetuk Clara bagai anak SD yang tak berdosa.

"Oh"

Tring-tring-tring

Suara bel akhirnya berdengung kencang, menandakan bahwa semua murid sudah di perbolehkan untuk beristirahat, entah itu ke kantin, atau mungkin melakukan hal lainnya.

"Kek! Lo mau makan siang gak? Barengan yuk!" ajak Clara menarik rambut Rafael untuk segera berjalan menuju kantin.

"Lepasin rambut saya, dodol!"

Clara mengerjapkan matanya beberapa kali. "Dodol? Bukannya itu nama hewan, ya? Tu-tunggu, nama gue Clara, bukan dodol! Tau kan ejakannya? C-L-A-R-A"

Rafael menarik rambutnya sendiri. Sepertinya ia akan benar-benar frustasi jika Clara terus berada di dekatnya.

"Kakek kenapa? Kepalanya sakit? Mau gue pijitin atau dicabut aja sekalian kepalanya?" tanya Clara secara berbondong-bondong.

"Akh, saya gak kenapa-napa. Udah kamu ke kantin aja, kalau gak makan nanti kamu mala sakit" Rafael mencoba untuk tenang, tak terpancing oleh emosinya. Sebenarnya ia tak ada niatan untuk memberikan Clara perhatian, Rafael hanya ingin Clara cepat-cepat enyah dari pandangannya.

"Aduuh, ternyata es batu seperti kakek bisa perhatian juga, ya? Jadi baper deh!" Clara menutup wajahnya, berlagak 'sok' malu mendengar ucapan Rafael tadi.

"Ya"

"Ah, gue pergi dulu deh! Laper banget, soalnya tadi pagi gak sarapan. Bye kakek! Bentar ketemuan lagi ya, umuach!" Clara memajukan bibirnya beberapa centi, bak ia tengah mencium pipi Rafael, padahal mereka sama sekali tak berdempet. Clara hanya menirukannya saja dari kejauhan.

Akhirnya, Clara benar-benar pergi dari hadapan Rafael, tak mengganggu lelaki itu lagi. Ah, rasanya sangat tenang bila tak ada Clara! Dunia bagai surga. Sebenarnya baru pertama kali ini mereka saling berbicara, tapi kenapa Clara mala sok akrab sekali dengan Rafael?

"Ceweknya aneh banget. Ada-ada aja gadis jaman sekarang"

****

Anggi mengibas-ibaskan buku dihadapannya, menjadikan buku itu sebagai kipas. Beberapa hari ini cuaca memang terasa panas, kerab membuat Anggi jadi malas untuk keluar rumah.

"Bangke, panas banget!" keluh Anggi seraya menyandarkan kepalanya di atas meja kelas. Ia terdiam sesaat, mengingat seseorang. "Kira-kira Rafael udah makan, belum ya?" tanya Anggi entah pada siapa. "Um, kalau gue bawain dia makanan, bakal dimakan gak ya?"

"Mau barengan ke kantin gak?" tanya seorang gadis bernama Cici, sahabat Anggi.

"Gue mau ke-"

"Ah udahlah, pasti lo mau nolak lagi, ya kan? Lo pasti mau pergi lagi keruangannya si ketua osis itu? Aduh Anggi! Sampai kapan sih lo mau begini terus? Bosan tau gak sih, gue lihatnya!"

Anggi menutup kedua telinganya."Karena cinta itu tuli! Jadi gue gak bisa denger semua perkataan lo"

CLARAFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang