Mark frustrasi. Memata-matai Yeri tidak membuatnya mendapatkan informasi, malah membuat pikirannya terusik. Pria yang tiba-tiba keluar dari mobil hitam itu, menggandeng ransel Yeri lalu mengelus rambut wanita itu-oh, tidak. Bahkan Mark sudah naik pitam hanya dengan mengingatnya.Mark telah membalikkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri berulang kali, berusaha mencari posisi tidur yang pas, namun tetap saja, ia tidak bisa tidur.
"Pukul sebelas tepat," kata Mark sambil memandang jam analog di atas nakasnya. "Bagus. Waktunya overthinking."
Mark menegakkan tubuhnya, meraih kertas dan pena di atas nakasnya dan mulai menulis sesuatu.
"Kim Yerim. Awalnya gue ketemu dia sewaktu pensi di sekolahnya beberapa minggu lalu. Berawal dari lihat namanya di daftar nama panitia dan berakhir kaget kalau ternyata dia benar-benar mirip Yeri yang gue kenal." Mark bermonolog. Ia masih saja mencoret kertas dengan alur abstrak.
"Namun sayangnya, sifat mereka benar-benar berbeda. Yeri yang dulu ramah, murah senyum, baik deh pokoknya kayak bidadari. Yeri yang sekarang sih bertolak belakang banget. Setiap gue ketemu dia, enggak pernah tuh senyum sedikit aja ke gue."
"Yeri yang sekarang kayak monster." Mark bergidik ngeri.
"Tetapi, walau gue sudah tahu kepribadian keduanya berbeda, kenapa gue masih percaya kalau Yeri itu sebenarnya masih hidup? Kenapa gue malah memilih percaya sama monster kayak Lee Yerim?" tanya Mark pada dirinya sendiri. Laki-laki itu kini memandang pantulan dirinya pada cermin yang ada di hadapannya.
"Kenapa coba, Mark? Kenapa? Kenapa lo masih percaya? Kenapa lo enggak menerima kenyataan kalau Yeri sebenarnya sudah tiada? Lo malah menghabiskan waktu lo untuk menyelidiki hal yang enggak berguna." Mark sekarang menunjuk pantulan dirinya sendiri dengan jari telunjuknya.
"Apa gue sudah gila, ya?"
"Ah, enggak mungkin."
"Atau mungkin iya?"
"Enggak deh kayaknya."
"Lo kenapa sih, Mark?!" Mark mengacak rambutnya frustrasi. Ia lalu memandangi pantulan dirinya di cermin lagi selama beberapa detik kemudian lekas mengurung dirinya di bawah selimut. Ini sudah malam, ia tiba-tiba ngeri kalau nanti pantulan dirinya berubah menjadi sesuatu yang menyeramkan atau muncul sosok lain yang tidak ingin ia lihat-seperti di film horor.
Ah, tetapi Mark belum mengantuk. Mark terus memikirkan perbandingan antara Kim Yerim dan Lee Yerim. Peluang kalau mereka adalah orang yang sama atau tidak. Laki-laki ini sekarang menjalankan misi overthinking di bawah selimut cokelat.
"Kalau misalnya tebakan Dino yang bilang bahwa Yeri amnesia itu benar, wajar saja kalau Yeri tidak ingat gue dan semua orang dan kenangan yang pernah ada di kehidupannya. Tetapi, rasanya enggak mungkin deh amnesia mengubah kepribadian seseorang."
"Mengubah kepribadian seseorang dengan memanfaatkan hilangnya ingatan orang itu akan sangat sulit. Apalagi dalam waktu yang cukup singkat, satu tahun. Kepribadian yang ada pada Yeri sudah melekat. Itu menjadi identitas Yeri. Kalau pun Yeri hilang ingatan, seharusnya dia tetap ceria, ramah, dan baik seperti dulu," ujar Mark lirih.
"Kim Yerim yang membenci fisika, kimia, dan semua antek-anteknya berbanding terbalik dengan Lee Yerim yang malah menguasai betul hal itu. Kim Yerim yang hiperaktif, Lee Yerim yang super pasif. Mereka mungkin mirip, tetapi mereka seperti dua orang yang benar-benar berbeda."
Mark mulai gelisah. Ia merasa dipermainkan. Saat ia sudah mulai merelakan Yeri, petunjuk-petunjuk kecil seolah bermunculan dan menuntunnya menuju kebenaran. Namun, setelah ia mengikuti semua petunjuk itu, ia malah terjebak dalam spekulasi yang tak berujung. Kabur, semuanya abu-abu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obliviscor | Mark-Yeri
Fanfiction"Kenapa kamu selalu mengikuti saya?!" "Ini karena gaya gravitasi. Gue jadi selalu tertarik ke arah lo." "Pernyataan yang bodoh. Gaya gravitasi antara saya dan kamu itu kecil. Kalau saja massa badanmu 60 N dan massa badanku 48 N, kalau dikalikan den...