Bab 3 [Titip pacar]

746 163 112
                                    

Bimasena

Terkadang menyukai sebuah lagu itu bukan hanya soal melodi dan liriknya yang bagus. Tapi, sebuah lagu itu dapat mewakili perasaan yang tidak dapat disampaikan oleh lisan.
(Renra 09-juli-2020)

Pukul dua puluh lewat tiga menit. Aku masih berkutat dengan kuas yang kutorehkan pada kanvas. Studio malam ini sudah sepi, rekanku Bening dan Ashwyn sudah pulang dari tadi sebelum maghrib. Dan, aku? Aku masih di sini, dengan perasaan entahlah akupun sulit menjelaskannya bagaimana.

Aku dengar ponselku berdering lagi, ini sudah yang ke empat kalinya. Aku tadinya tidak berniat menerima panggilan itu, tapi akhirnya aku menyerah, aku meraih benda pipih berwarna hitam itu, lalu menggeser tombol hijau.

"Mau sampai kapan?"

Belum mulutku terbuka, seseorang di seberang sana sudah menanyaiku lebih dulu dengan nada geram. Kalau sudah begini aku tau yang sedang terjadi.

"Kenapa?"

"Kalian kenapa lagi sih?"

"Loh? Tanya sama dianya dong, Tuan Basudewa."

"Bimasena!!"

Aku tergelak mendengar seruan nyaring dari temanku Dewa.

"Titip mbak pacar ya. Senanya masih di studio. Sebentar lagi pulang, kalau nangisnya udah selesai Sena jemput." Kataku jelas membuat Dewa di ujung sana kesal.

"Sinting kamu, Sen! Yaudah cepetan. Aku ada janji sama Yesa jam sembilan."

Panggilan itu langsung terputus. Kulirik jam tanganku, mau tak mau aku menyudahi kegiatanku. Kubereskan barang-barangku, lalu keluar dan mengunci studio.

Mobilku terparkir tepat di depan studio. Aku melirik kanan-kiriku memang sudah sepi. Buru-buru ku nyalakan mobilku dan meninggalkan pelataran studio. Aku harus menjemput dulu Shanin setelah itu aku harus ke stasiun radio untuk siaran.

Ngomong-ngomong soal gadis cerewet itu, aku dengar ia sedang menangis dan mengadu pada Dewa. Dewa ini temanku, dan sahabat Shanin sejak kecil. Jadi wajar kalau Shanin lebih nyaman bercerita pada Dewa soal apa yang sedang terjadi antara aku dan dia.

Aku salah. Lagi-lagi aku diamkan Shanin ketimbang menanyakan apa yang terjadi kemarin.

Lagi-lagi aku egois.


Tidak memerlukan waktu banyak dan jalan Jogja tidak terlalu ramai sehingga aku sampai di tempat Dewa dan Shanin dengan waktu sebentar. Segera aku keluar dari mobil dan menghampiri Dewa dan Shanin.

"Udah nangisnya?" tanyaku ketika sampai di depan mereka berdua. Aku dengar Dewa mendengus seraya geleng-geleng kepala. Sedangkan Shanin mendelik padaku. Sudah tidak menangis, tapi mata dan hidungnya terlihat memerah.

"Kamu nelpon dia?"

Aku mengernyit ketika Shanin melayangkan pertanyaan pada Dewa. Jelas Shanin tidak tau kalau Dewa menelponku berkali-kali.

"Kenapa?" tanyaku. Nada bicaraku normal saja tidak ada intonasi marah atau kesal.

"Aku pulang sama Dewa," balas Shanin.

N I S K A L A || Huang Renjun ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang