Empat

11 3 0
                                    

Kenzo dan Aleta sama-sama diam, mereka tidak saling berbicara lagi. Aleta masih dengan pemikiran yang semrawutnya.

Tepat hari ini Kenzo kembali ke Indonesia. Hari ini pun Aleta harus bisa bertahan tanpa orang-orang yang dikenal dekat contohnya ia harus bertahan mengenal lebih dalam lagi tentang Inggris bersama Clarissa.

“Aku titip Aleta, ya. Kalau ada apa-apa langsung hubungi aku,” ucap Kenzo, Clarissa hanya mengangguk. Ia paham apa yang harus dilakukan setelah Kenzo pulang ke Indonesia.

“Maaf aku tidak bisa menemani kamu selama di sini. Semoga kamu mendapatkan apa yang ingin kamu ketahui. Sehat terus, ya, Al.” Kenzo tersenyum sembari mengusap kepala Aleta dengan begitu hati-hati. Aleta hanya mengangguk.

Sesuai yang telah direncanakan, Aleta dan Clarissa pun langsung meluncur ke universitas yang diincar Aleta. Selama di perjalanan keduanya tidak saling menukar cerita atau basa basi apa pun.

Clarissa yang sibuk dengan benda pipih yang dan Aleta yang sibuk menelaah sekitar Inggris dengan seulas senyuman.

Tak berselang lama, mereka pun sampai. Bangunan yang kini di hadapannya tampak nyata. Kini Aleta tidak hanya mimpi lagi bisa menginjakkan kaki di sini.

Bangunan yang menjulang tinggi kokoh dengan orang-orang yang sangat asing. Aleta hanya membuntuti Clarissa ke mana pun ia berjalan. Perlahan Clarissa mengenalkan beberapa tempat yang dianggapnya bagus dan penting.

“Ah, ya. Aku harus selesaikan esai, kamu mau ikut atau gimana?” Clarissa yang mengeluarkan beberapa berkas tugasnya.

“Lama?”

“Gak tentu, ada beberapa yang harus direvisi lalu print deh. Atau mau jalan-jalan pake sepeda? Kemarin aku meninggalkan sepeda di parkiran, kamu bisa pake buat jalan-jalan, gimana?” Aleta masih diam, tapi ide yang Clarissa berikan cukup menarik. Berjalan-jalan dengan sepeda mengelilingi Oxford bukan hal yang tidak menyenangkan.

“Oke, aku pinjam sepedanya. Kamu bisa anter aku ke parkiran?”

“Dengan senang hati.”

Clarissa menunjukkan satu tempat saat perjalanan menuju parkiran. Namanya, Saint Hida's Collage jadi di sini disediakan tempat untuk print out tugas. Yang berhubungan dengan tugas, mahasiswa bisa mengerjakannya di tempat ini.

Aleta hanya bisa mengangguk saat beberapa informasi yang Clarissa sampaikan dengan detail.

“Itu sepedanya.” Aleta langsung mengambil sepeda yang Clarissa maksudkan.

“Selamat bersenang-senang. Oh, ya, kamu simpan nomor aku, ya. Nanti kalau sudah selesai hubung itu saja.”

“Baiklah.” Clarissa menyebutkan beberapa nomornya dan Aleta pun dengan sigap menyimpan nomor yang dianggap penting.

Aleta melajukan sepedanya itu, sesekali matanya terpejam menikmati setiap udara yang ia rasakan. Udara yang sangat berbeda dengan Indonesia. Di sini Aleta harus membalut diri dengan syal dan memakai jaket supaya tidak kedinginan.

Inggris memang sesuai ekspektasi.
Setelah lima belas menit mengelilingi area bebas bersepeda di Oxford. Aleta pun istirahat, Aleta mulai memperhatikan lalu lalang orang-orang dengan beberapa hal yang mereka ceritakan.

“Al.” Suara yang sangat familier. Aleta berusaha menoleh, matanya menyipit. Ada pria yang lari ke arahnya dengan melambai-lambaikan tangan. Siapa?

“Al ... Aleta.” Suara itu semakin jelas dan pemilik suara pun semakin terlihat. Dia pria yang selama ini ia cari, pria yang masih teramat Aleta cintai.

Detakan jantung Aleta kini tak beraturan. Bukan karena lelah bersepeda, tapi karena pertemuan yang sebelumnya tidak pernah ia bayangkan. Pertemuan dengan pria yang ia cintai di sini.

“Al, ini benar kamu, kan?” pria itu meyakinkan sekali lagi. Aleta masih tidak bisa mencerna kejadian ini.
Aleta sibuk menatap mata yang sangat ia rindukan. Mata yang penuh dengan kenangan dan kehangatan.

“Al? Atau aku salah orang.” Nadanya seperti memendam kekecewaan.

“Daniel?” Ucapan itu membuat pria yang sejak tadi menunggu jawaban tersenyum lebar. Ternyata Daniel tidak salah orang. Gadis yang di hadapannya ialah gadis yang sangat ia rindukan pula.

Entah keberanian dari mana, Aleta memeluk erat Daniel. Ia seperti menumpahkan seluruh kerinduannya. Daniel pun membalas pelukan erat itu. Mereka seperti sepasang kekasih yang lama dipisahkan lalu dipertemukan kembali di waktu yang tak pernah terpikirkan.

“Apa kabar? Kenapa tidak bilang mau ke sini? Kamu ke sini sama siapa? Lalu sedang apa?” Deretan pertanyaan Daniel membuat Aleta geli sendiri. Kenapa ia memborong pertanyaan sebanyak itu.

“Satu-satu, dong, aku jadi bingung mau jawab apa.” Aleta tertawa lepas. Sudah lama ia tidak merasakan hal seperti ini.

“Oke, baiklah. Apa kabar?” Daniel membenarkan duduknya.

“Kabar baik dan selalu baik.” Aleta tersenyum lebar.

“Lalu sejak kapan di sini?” Daniel melanjutkan pertanyaannya.

“Sekitar tiga hari yang lalu.”

“Kenapa gak bilang mau ke sini?” Daniel masih punya stok pertanyaan lagi.

“Aku gak punya nomor kamu dan kita udah hilang komunikasi, kan?”
Daniel terdiam mendengar jawaban Aleta. Memang benar, mereka sudah tidak lagi berkomunikasi dan bahkan sudah sangat lama.

“Gak enak deh ngobrol di sini. Mending ke cafe coco biar enak mengobrolnya.” Aleta terdiam. Bagaimana sepedanya? Lalu mereka naik apa?

“Kaya orang bingung? Aku yang bawa sepeda, kamu duduk di depan, ya.” Daniel selalu siap siaga dan mengerti. Dia seperti tahu isi hati Aleta.

Aleta sedikit ragu. Tapi Daniel sudah menaiki sepedanya dan mau tidak mau Aleta pun harus segera naik. Aleta hanya bisa berharap semoga detakan jantungnya tidak kedengaran atau terasa oleh Daniel.

Tempatnya lumayan jauh. Selama mereka bersepeda Aleta terus mengatur perasaannya. Ada rasa yang sempat lenyap lalu dibangkitkan lagi. Aleta hanya bisa berharap semoga cepat sampai pada tujuannya.

Sekitar lima belas menit mereka pun sampai. Tempat ini sangat ramai mahasiswa. Bisa dikatakan cafe coco ini tempat tongkrongan mereka ketika suntuk atau bersantai dengan teman-temannya.

Saat melangkah ke dalam, Aleta disuguhkan dengan beberapa tawa di setiap sudut tempat duduk. Ia mereka tertawa mendengar beberapa cerita teman-temannya.

“Jangan bengong. Ayo duduk,” pinta Daniel. Aleta pun duduk berhadapan dengan Daniel sambil membaca beberapa menu yang tersimpan di meja pengunjung.

Vanilla latte?” Daniel masih mengingat minuman yang selalu dipesan Aleta di mana pun mereka pergi. Aleta hanya mengangguk.

Daniel pun memesan pesanannya.

“Apa kabar Radit dan keluarga?” Daniel memulai obrolan yang sempat terpotong tadi.

“Baik.”

“Sebentar, kok kamu ada di sini? Kuliah di sini?”

“Sedang menyesuaikan saja. Iya, kemarin aku daftar ke Oxford dan tinggal menunggu hasil saja. Harapannya semoga lulus, sih.” Daniel mengangguk, ia tahu kalau Aleta memang pemimpi yang baik dan semua mimpinya hampir selalu tercapai.

“Aku yakin kamu lulus, Al.” Daniel menggenggam tangan Aleta dengan lembut. Ia menatap manik mata Aleta yang begitu cantik.

“Al, aku rindu,” ucapnya. Aleta hanya tersipu mendengar ucapan tersebut.

“Aku juga rindu,” jawab Aleta dengan membalas tatapan Daniel.

Minuman mereka pun sampai. Aleta langsung menyerbunya. Meminum segelas vanilla latte dengan orang yang dicintai sensasinya berbeda. Hal sederhana bisa menjadi luar biasa.

AletaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang