Jalan

1.9K 309 52
                                    

Jakob lega dan duduk dalam mobil dengan tenang menyaksikan dari jauh the Beast yang tampak jinak di depan seorang gadis manis, setelah memastikan Ivan pergi.

Al memuaskan diri menatap sosok Gaby setelah menahan rindu beberapa lama, walaupun obyeknya tampak tidak terlalu antusias. Al bisa memahami perasaan wanita itu, dan kalaupun Gaby marah, ia juga terima.

"Jadi kamu berbohong selama ini," kata Gaby memecah kebisuan.

"Ya, betul, untuk masalah latar belakang diriku. Tapi perasaanku padamu bukan kebohongan."

"Hm."

"Aku memang anak keluarga Baruna, dan aku juga punya jaringan dengan orang-orang seperti mereka itu," ia mengarahkan pandangan pada mobil yang berisi Jakob dan teman-temannya.

Gaby menggelengkan kepala, bukan tidak mempercayai kata-kata Al, tapi menyayangkan keluguannya yang tak menyadari hal-hal itu. "Astaga..."

"Tolong jangan menyesali semua hal yang telah kita alami bersama..."

"Dan tunanganmu?" mendadak Gaby teringat kembali pada wanita cantik dan modis yang mendatanginya bersama ibu Al waktu itu. "Kasihan dia yang telah mengira kamu tinggalkan demi aku yang bukan siapa-siapa ini."

Giliran Al yang menggelengkan kepala. Oh, Gaby. Andai kamu tahu bagaimana Evita yang sesungguhnya. "Tidak usah mengasihani Evita."

"Al, kami sama-sama wanita. Aku tahu bagaimana perasaannya."

"Jangan menyamakan dirimu dengan dia. Dia tidak layak. Dia itu siluman ular betina yang hanya mengincar harta. Dan kamu harus tahu, aku tidak pernah mengakuinya sebagai tunangan. Itu semua kemauan Mama."

Gaby kembali menatap Al dengan intens. Waktu itu ia merasa mengenal pribadi laki-laki ini dengan baik, tapi ternyata ia salah. Ia salah dalam banyak hal.

"Gaby, aku akui aku bukan laki-laki baik seperti yang kamu impikan. Tapi aku berjanji akan jadi laki-laki baik untukmu, dan anak ini." Al memberanikan diri mengusap perut Gaby yang mulai membesar walau tak kentara.

Gaby harusnya menepis tangan Al, tapi ia tak kuasa melakukannya. Ia hanya bisa merapatkan bibir untuk menahan rasa yang bergejolak dalam dirinya. Ah, perasaan. Mengapa ia dengan mudah terbawa kembali desir rasa yang pernah ia rasakan dan berusaha ia hilangkan akhir-akhir ini?

"Gaby, aku ingin menceritakan yang sejujurnya tentang diriku, seluruhnya. Aku tidak ingin ada kebohongan atau salah paham lagi. Tapi itu perlu waktu. Tidak bisa di sini. Dan temanku, bos mereka, sedang menanti aku," kata Al dengan tingkat keseriusan tinggi. "Dan kalau kamu menolak, maaf, kali ini aku akan sedikit memaksa."

Gaby mengernyit. Bukan takut, hanya penasaran apa yang akan dilakukan Al jika ia menolak. Membiusnya? Menggendongnya masuk ke mobil? Atau...

"Aku akan duduk di sini sampai kamu mau ikut."

"Hah?" Gaby terkejut dan langsung tersenyum. "Receh sekali. Kupikir kamu akan nekat..."

Al ketularan senyum manis Gaby. "Karena dirimu."

Sekarang Gaby tak bisa lagi menolak perasaan itu meskipun setumpuk hal masih mengganjal di hati. Ia hanya meminta supaya rasa hangat yang menjalar dalam dirinya ini bisa bertahan setidaknya sampai anaknya lahir, sebagai penyemangat dan napas keduanya. Karena ia tidak yakin bisa terus bersama si empunya pemberi perasaan yang tetap saja punya jarak yang belum terukur akalnya. Tidak ada salahnya kan, bagi wanita hancur seperti dirinya, menyimpan kemewahan seperti rasa ini? Hanya rasa, ia tidak mengharap lebih dari itu.

"Lalu bagaimana?" tanya Gaby ragu.

Al menatap Gaby senang. "Ikut aku."

Gaby menarik napas dan menghembuskan pelan. "Ini terlalu mudah. Tapi, baiklah."

Gaby and the BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang