3. Mimpi?

969 144 34
                                    

Song: Somewhere Only We Know - Keane
.
.

180 Degrees
3. Mimpi?

.
.

Jam menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi hari. Seorang wanita dengan rambut pirang panjang yang dikuncir kuda hanya dapat menatap sedih tetangganya. Manik aquamarrine-nya mengekor gerak-gerik perempuan berambut hitam di hadapannya yang kondisinya sangat kacau.

Bahu yang nampak kecil itu naik turun bergetar hebat akibat menangis tersedu-sedu. Selembar kemeja pendek yang kusut dan celana jeans membalut tubuh fragile-nya. Sungguh malang. Bahkan sampai sekarang pun suami tetangganya itu belum menampakkan batang hidungnya. Di saat-saat krusial Sakura, dia tak ada.

Yamanaka Ino mengulurkan tangannya, mengusap-usap lembut bahu perempuan itu, "Sudah, sudah...." Berharap sentuhan tangan dan ucapan lirihnya mampu meleburkan rasa sedih Sakura.

Untungnya keadaan Sakura sudah lebih baik dari setengah jam yang lalu saat tiba-tiba dia mengetuk pintu flat Ino. Perempuan itu nampak banyak menangis karena wajah dan hidungnya memerah. Matanya pun juga sudah naik, bengkak dengan kantung mata tebal.

Tak bisa disalahkan. Kejadian yang menimpa Sakura begitu ... menyedihkan. Tiap untaian kata yang diucapkan Sakura begitu memilukan saat sampai ke telinga Ino. Ingin rasanya Ino benar-benar meninju wajah Uzumaki Naruto. Ingin juga rasanya Ino menghampiri Uchiha sialan itu dan memenggal kepalanya.

"Sakit, Ino," Sakura berucap lirih, tangannya dikepalkan dan dipukul-pukul ke dadanya, "aku bahkan tak punya muka untuk bertemu dengan Naruto-kun."

Ino menghela napas, "Persetan dengan suamimu, Jidat! Dia bahkan belum pulang sampai sekarang!" Perempuan itu meletakkan kedua tangannya ke bahu Sakura, "Lupakan Naruto."

Waktu mereka saling kenal mungkin memang terbilang baru sebentar. Namun, tetangganya ini orang yang baik dan Ino merasa cocok dengannya. Sering sekali mereka bertukar cerita seperti ini, rasanya seperti sudah lama mengenal Sakura. Ia berkata demikian karena sayang. Ino sudah mendengar setiap cerita Sakura, dari awal menikah sampai kelakuan suaminya yang mendadak aneh.

Sakura membelalakkan matanya, ia menepis kedua tangan Ino yang berada di atas bahunya, "K-kau pasti sudah gila. Kau tertular si Sialan itu, 'kan?"

Wanita bersurai blonde itu menggelengkan kepalanya pelan, entah untuk ke berapa kalinya ia memandang iba Sakura, "Tidak. Kau yang sudah gila, Sakura."

Lantunan kalimat yang diucapkan Ino terdengar sakit. Kau tahu, seperti duri kecil yang memasuki pori-porimu, kecil tapi berdampak lumayan. Sakura tertawa miris tapi sinis, "Begitukah?"

"Percayalah padaku, Sakura. Untuk apa mempertahankannya kalau hanya membuatmu tersiksa? Bukankah selama ini kau menginginkan kebahagiaan?"

Pelan-pelan Sakura berusaha menyerap ucapan Ino. Dia memang mginginkan kebahagiaan. Kalau sumber dari segala kebahagiaannya pergi meninggalkannya ... lalu apa yang akan ia incar? Dia bahkan tidak memiliki tujuan—karena satu-satunya alasan Sakura untuk berlaku sejauh ini malah semakin meragukan.

Kabur dari rumah, melakukan kawin lari, dan sekarang telah ditiduri oleh seorang anonymous. Bagus. Sekarang ia menjalani hidup layaknya hewan. Dalam hati Sakura tetap meyakinkan dirinya bahwa Naruto adalah yang terbaik. Bahwa Naruto adalah kebahagiannya. Bahwa pilihannya tidak salah.

Dia tak boleh cengeng, tak boleh lemah. Mungkin kesalahan terbesarnya adalah bertindak lebih dulu tanpa memikirkan segala konsekuensi tapi ... Tuhan, tolong. Tolong buatlah kesalahan terbesarnya ini sebagai kesalahan terindah yang pernah ia lakukan. Dia hanya ingin hidup bahagia bersama dengan pria berkulit tan yang berstatus sebagai suaminya itu. Dia sudah terlalu muak diperlakukan sebagai boneka keluarga Haruno.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 17, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

180 DegreesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang