Satu bulan telah berlalu. Kita tak saling bertemu. Meskipun begitu, kita tetap berkirim pesan. Berkirim pesan layaknya berkirim surat pada pos. Keterbatasanmu aku maklum. Bahkan aku sudah mengatakan jauh sebelum kau pergi.
Dulu, saat pekan awal kepergianmu. Kita dak pernah berkirim pesan. Ya, aku memang sengaja tak melakukannya. Aku takut mengganggumu. Membuat tak fokus.
Pekan awal itu adalah masa sulit yang harus aku lalui. Aku sudah menceritakan itu pada part sebelumnya. Ya, aku rindu. Bahkan saking aku merindumu. Bulir bening menetes dari ujung pelupuk mata. Ia mengalir cukup deras. Namun apalah yang hendak dilakukan, aku hanya bisa menatapi foto-foto yang pernah kau kirim. Ah, ... lemah sekali aku.
Aku sadar apa yang aku lakukan ini salah. Mengapa aku bersedih? Kepergianmu bukan untuk bersenang-senang. Kau sedang melakukan usaha mulia. Usaha dakwah. Aku berusaha menguatkan diri. Aku selalu menyemangati diriku.
"Hey, ayolah! Bukannya ini yang aku mau? Mengapa kau lemah! Jangan bodoh! Kau bisa melewatinya!"
Kalimat itu selalu mengisi hatiku, ketika kerinduan datang.
***
Sudah satu bulan berlalu. Kini aku mulai terbiasa. Aku tak selemah pekan awal itu. Aku menjadi terbiasa. Terbiasa tanpa perhatianmu. Terbiasa tanpa whatsApp darimu. Setidaknya, ikhtilat yang dilakukan hilang. Ini sebenarnya mauku. Mungkin aku terlalu munafik. Tapi entahlah, batinku berperang tiap kali kau mengirimku pesan.
Akhir-akhir ini, kau sering aktif melalu media sosialmu. Kau menggunggah beberapa foto kegiatanmu di sana. Menyukai postingan yang aku kirim, bahkan mengirimiku pesan. Meski waktu onlinemu terbatas, kau masih sempat mengirimkannya. Aku yang mendapat pesan itu, senang bukan kepalang.
Aku membalas peaanmu dengan senyuman sepanjang jari ini menulis pesan balasan. Aku tak berharap kau bisa membalasnya secepat kilat seperti sebelumnya. Untuk saat ini, di balas saja itu sudah luar biasa.
Malam ini, kau mengirimku pesan lagi.
"Mbak, Aku rindu. Aku rindu dengan Mbak!"
Aku yang membaca pesan darimu, langsung terpaku. Aku tak menyangka kau mengatakan itu. Aku tau, kau benar-benar rindu. Itu bukanlah gombalan semata.
Jujur, aku ingin sekali membalasmu dengan kata yang sama. Namun, aku pikir itu beresiko. Kau nanti tak fokus. Aku hanya akan mengacaukan pikiranmu saja.
"Sama. Sebenarnya aku juga rindu. Biarkan kita tabung dulu rindu ini. Hanya tinggal 3 bulan lagi. Kalau Allah menghendaki, kita akan berjumpa kembali."
Kira-kira begitu. Tapi aku memilih tak mengatakannya.
Untuk kamu yang jauh di sana. Tetaplah berjuang. Lanjutkan dakwahmu. Fokuslah pada targetmu. Tinggal 3 bulan lagi. Itu wakti yang singkat. Percayalah. Akan ada waktu dimana kita akan bertemu kembali. Aku juga merindukanmu. Cerita ini, adalah wujud kerinduanku. Aku hanya memilih menuangkannya dalam bentuk tulisan, daripada mengatakannya langsung. Aku terlalu gengsi untuk itu.
Dan tunggulah aku di sana memecahkan celengan rindu ..
KAMU SEDANG MEMBACA
120 Hari Merindu
PoesíaIni merupakan karya ketigaku yang bergenre berbeda dari sebelumnya. Jika sebelumnya, berbentuk cerpen kehidupan sehari-hari maka pada karya ini merupakan sajak-sajak rindu. Buku ini akan di tulis secara continue selama 120 hari. Akan di ceritakan j...