Part 1

25.7K 1.3K 64
                                    

Akhir tahun ke-empat dan pintu gerbang untuk lulus masih belum terlihat. Menjadi M.A alias Mahasiswi Abadi−bukan Magister Akuntansi−adalah cita-cita jangka pendekku. Berapa biaya pendidikan yang sudah keluar bukan urusanku. Kapan lulus pun, belum masuk dalam daftar keinginan. Ini caraku protes. Ini caraku bersuara.

Apa yang kulakukan ini masih tak seberapa. Bahkan belum ada seujung kuku dari perbuatannya. Aku tak acuh dengan pendapat orang lain. Mereka selalu memihaknya. Membelanya. Dan akhirnya menyuruhku untuk mengerti. Tidak satu pun yang memintanya untuk melihat dari sudut pandangku. Tak seorang pun yang berani bilang padanya, agar mau mengerti perasaanku.

Batas antara benar dan salah, rasanya sudah lama lenyap. Jika harus menyebutkan kapan waktunya, mungkin sekitar empat tahun yang lalu. Tepatnya sejak perempuan itu memindahkanku ke tempat ini. Wisma Harapan atau WH.

Harusnya tempat ini ganti nama begitu aku terdaftar jadi penghuni. Wisma Tanpa Harapan, rasanya lebih cocok untuk menamai rumah kos ini. Kehadiranku seolah menegaskan harapan itu memang tidak ada. Miris.

Rumah ini tidak buruk. Paling bagus malahan dari share house atau rumah kontrakan yang ada di sekitar kampus. Katanya, pemilik yayasan−tempat kampusku bernaung−tidak memperbolehkan ada penginapan di sekitar sini, kecuali asrama. Niatnya sih baik, untuk meminimalisir tempat-tempat yang berpotensi disalahgunakan. Tapi semuanya berubah. Terutama sejak asrama jadi terlalu sumpek untuk ditempati. Satu kamar yang berukuran 3x3m dihuni empat orang. Belum lagi antrean untuk ke kamar mandi.

Seiring dengan banyaknya mahasiswa yang mendaftar, pelarangan itu diubah. Boleh ada penginapan khusus mahasiswa, tapi dalam bentuk rumah kontrakan. Setiap rumah wajib menyediakan empat sampai sepuluh kamar, dengan sederet peraturan ketat. Termasuk memisahkan kontrakan untuk laki-laki dan perempuan.

WH adalah kontrakan nomor wahid. Selain lokasinya yang strategis, fasilitas yang dimiliki pun terbilang paling lengkap. Jika malas mencuci dan menyetrika baju, tinggal kasih ke penatu. Urusan perut bisa katering. Soal beres-beres apalagi, tinggal suruh, ada Asisten Rumah Tangga (ART) yang siap 24 jam. Dengan memindahkanku ke sangkar emas ini adalah kesalahan terbesarnya. Dia membangkitkan monster dalam diriku yang selama ini terkekang. Secara tidak langsung tentunya.

Aku berhasil membohongi perempuan tua itu untuk ke sekian kali. Tak ada pertanyaan apa-apa. Entah dia lelah atau aku yang makin lihai berdusta, aku tak peduli. Yang penting, apa yang kuinginkan sudah di tangan.

Senyumku mengembang saat melihat pesan singkat di layar ponsel. Terutama pada angka yang dikreditkan ke rekeningku.

PARTY!” jeritku yang disambut tawa berderai-derai, khas milik Siska−teman serumahku.

“Gila lo, Dar! Belum ada satu semester, tapi udah ngibulin nyokap lo tiga kali,” serunya. Cewek itu mengambil tangan kananku dengan kedua tangannya, menunduk, dan mencium dengan takjim. “Panutanqu,” imbuhnya. Tawa kembali meledak. “Gue telepon Boy, ya! Booking tempat.” Siska melipir dengan ponsel menempel di telinga.

Selain Siska, ada Tiwi dan Astri yang menghuni WH. Rumah ini ada enam kamar, tapi penghuninya hanya kami berempat. Dua kamar lainnya dibayar oleh Tiwi. Khusus untuk menyimpan barang-barangnya, atau kamar cadangan untuk tamunya.

Secara kepribadian dan tetek bengek antara aku dan penghuni lainnya berbeda. Sangat jauh berbeda. Jika aku senang menyendiri, Siska harus dikerumuni. Aku cukup makan dengan satu macam sayur dan satu lauk, Astri wajib empat sehat lima sempurna dalam setiap menunya. Mandi sehari sekali lumrah buatku, apalagi kalau tak ada kuliah, tapi tidak untuk Tiwi. Dalam sehari dia bisa mandi tiga sampai empat kali. Mungkin dia keturunan dugong, yang harus kena air tiap saat.

Aku masih bingung menentukan baju yang akan dipakai untuk acara nanti sore saat ponselku bunyi. Nama Putri−adikku, bertengger di layar. Kuembuskan napas kasar dari hidung dan mulut. Aku tahu kenapa dia menelepon. Malas rasanya berdebat sama anak sok tua itu.

Akhirnya kugeser juga ikon hijau. “Kenapa?” tanyaku tanpa basa-basi.

“Gue baik, Kak. Mama juga baik,” katanya penuh sindiran. Pedas seperti biasa.

“Terus kenapa telepon?”

“Elo kenapa sih, Kak? Nggak kasihan sama Mama? Mau sampai kapan elo kayak gini, Kak?” intonasi suara Putri naik-turun. Dan yang terakhir terkesan frustasi. Aku tak mau menjawab. Anak itu pasti sudah bisa menebak jawabannya sendiri. “Liburan nanti elo pulang, kan?”

“Lihat nanti. Takut ada ....”

“Elo nggak akan ambil semester pendek, Kak,” sela Putri, “lo itu cuman ngindarin Mama. Emang elo nggak kangen sama Mama?”

“Udahlah, Put! Gue capek. Itu mulu yang dibahas. Mama nggak bakal kenapa-kenapa kalau gue nggak pulang. Kan ada elo. Anak kesayangannya. Percuma gue pulang juga, kalau perjodohan itu mulu yang dibahas. Kalau Mama emang mau ada pernikahan, kenapa enggak Mama saja yang nikah lagi. Toh Papa juga udah lama nggak adanya.”

“KAK!” bentak Putri. Aku cukup kaget mendengarnya. “Elo bener-bener kelewatan. Elo berubah! Gue nggak kenal sama elo, Kak.”
Aku diam, padahal banyak kata-kata yang berdesakan ingin keluar dari kepala. Aku bungkam, meski ingin menghardiknya balik.
“Jangan sampe elo nyesel belakangan, Kak.”

“Kalau duluan namanya pendaftaran.”

“Terserah.”

Sambungan terputus. Bodohnya, ponsel itu masih kutempelkan di telinga. Aku baru melanjutkan memilih baju, begitu Siska berdiri di ambang pintu.

“Tadi Putri?” tembaknya. Aku mengangguk. “Udah lupain! Bentar lagi kita hepi-hepi. Tiwi sama Astri nanti nyusul.” Lagi-lagi aku mengangguk. “Denger ya, Dar! Masa muda itu cuman sekali. Kita manfaatin sebaik-baiknya. Mending puas-puasin ....”

“Bandelnya sekarang, daripada nanti,” selaku. “Itu, kan, yang mau elo bilang?” kali ini Siska yang mengangguk. “Udah katam gue sama moto hidup lo.”

Siska membusungkan dadanya yang sudah busung dengan bangga. “Anda sudah belajar banyak, Saudari Andara Nur Fatih. Saya nyatakan Anda lulus dengan predikat summa cum laude.”

Kami tertawa. Cewek dengan otak terabsurd itu bisa mengembalikan mood-ku yang nyaris berantakan.

=================================

Yuhuuuuu, I'm back.
.
Kangen nggak sama aku?
Aku kangen lho sama kalian. Uhuuuuk.
Sebagai permulaan, aku publish ceritanya Dara si Pemberontak Bermatabat di sini. Kalau mau langsung baca sampai tamat, meluncur ke GWP yaaa.
.
GWP belum ada apsnya, jadi kalau mau baca lewat browser. Tapi tenang aza, akan kuanuin di sini.
.
Kasian kaaaan, akun WP-ku lumutan gak disentuh-sentuh.
.
As usual, jangan lupa tinggalin jejak yaaaa. Jempol tangan aja, jangan kaki. Kegedean soalnya.

HOUSEMATE [Pindah Ke Cabaca]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang