Warning!!
Please, be wise saat baca part ini.
=================================
“Kalau bandel jangan nanggung!” kalimat itu sering dilontarkan Tiwi setiap kali aku menolak ajakannya.
Walau semua yang kulakukan saat ini tidak bisa dibenarkan, aku tetap mengukuhkan diri sebagai pemberontak bermartabat. Aku memilih setiap keonaran yang akan dilakukan. Otakku masih cukup berfungsi untuk tidak merusak diri dan menyesal di kemudian hari. Kebebasan yang kuinginkan sudah di tangan. Aku tahu semuanya hanya sementara, jadi akan kunikmati sebisa dan selama mungkin.
Aku tahu setiap rencana tidak selalu berakhir sesuai harapan. Seperti sekarang ini. Berada di dalam ruangan ruang kedap suara yang penuh asap rokok, tidak pernah masuk dalam run down pesta impian. Semula aku membayangkan akan menyanyi sampai telinga tuli atau tertawa sampai gila dengan tiga temanku, tapi kenyataannya berbeda.
Di ruangan ini bukan hanya ada aku dan housemates-ku, namun ada empat orang lainnya. Satu-satunya cowok yang kukenali hanya Boy, mantan pacar Siska. Mereka tidak pernah menyatakan balikan, tapi ke mana pun Siska pergi, Boy selaku ikut.
“Napa sih, Dar? Tadi happy, kok sekarang bete?” Siska menghampiriku dengan rokok yang masih menyala, terselip di antara telunjuk dan jari tengahnya.
Mataku nyalang. “Masih perlu gue sebutin alasannya?”
Siska beringsut mendekati tempat dudukku. “Iya, gue salah. Gue nggak bilang kalau ada anggota tambahan. Tapi elo tenang aja, semuanya yang bayar gebetan barunya Tiwi, kok.”
“Gue nggak peduli soal siapa yang bayar. Itu minuman maksudnya apa? Kalau elo pada mau teller, di kosan bisa, kan! Kenapa harus di sini?” Aku terpaksa menaikkan volume suara.
“Ada obrolan seru apa nih, Babe?” tanya Boy yang langsung menjatuhkan dirinya bersebelahan dengan Siska.
Tak berselang lama, cowok gondrong yang datang bersama Boy, mendekat. Dia menyodorkan botol kurus berwarna hijau padaku. Aku menggeleng. Dia menaruhnya di meja. “Mild atau mint?” tawarnya. Lagi-lagi aku menggeleng, lalu menatap tajam ke Siska.
“Dia nggak suka begituan.” Siska buka suara. “Dara nggak minum dan nggak ngerokok.”
“Serius?” Dari mimik mukanya, si Gondrong betulan kaget. “Penghuni WH ada yang nggak ngerokok?” Dia tertawa. Tawa yang mengejek. Cowok itu menarik bibirnya dan menggelengkan kepalanya pelan. “Keajaiban dunia.”
Senyumnya lenyap saat pandangan kami berserobok.
“Gue balik!” Aku bangkit dan berjalan menuju pintu.
Siska mengejar setelah mengomeli cowok tadi. “Dia cuman mau PDKT sama lo, Dar. Dia nggak tahu apa-apa.”
Apa pun alasannya, mood-ku sudah berantakan.
“Jangan ngambekan dong, Dar! Kayak bocah. Nikmatin dulu aja napa! Selain gratisan, lumayan buat refreshing sebelum UAS nanti.” Seperti biasa Astri pun ikut merayu agar aku tetap di sini. Aku tak terkejut mendengarnya. Biasanya aku mau menuruti permintaan mereka, tapi tidak kali ini.
Aku sendiri tidak begitu mengerti, kenapa bisa semarah itu tadi. Mungkin masih terbawa perasaan kesal akibat telepon dari Putri. Jarak tempat karaoke dengan WH tidak terlampau jauh, jadi kuputuskan berlari saja untuk pulang. Biar tubuhku lelah dan akhirnya bisa tidur cepat.
Ada gerombolan cewek dan cowok di tikungan jalan yang menuju WH. Sepertinya mahasiswa di kampus yang sama denganku. Bukan itu yang kupedulikan, tapi apa yang mereka bicarakan.
“WH itu bukan kepanjangan dari Wisma Harapan, tapi Weird House,” ucap seorang cewek. “Gue sih dibayarin juga ogah buat tinggal di situ.”
“Itu karena elo di bawah standar. Penghuni WH kece-kece, gak kayak lo.” Suara cowok menyahut.
“Mendingan gue-lah. Biar kata standar, tapi otak gue di atas rata-rata. Emangnya cewek-cewek di WH, MA semua.”
Mereka tertawa lepas.
“Hus! Tar ada yang dengar mampus kita. Kayak nggak tahu aja gimana barbarnya cewek-cewek itu.”
Dengan terus mengobrol seperti itu tanpa merasa terganggu ketika aku lewat, artinya mereka tidak mengenaliku.
Tadinya mau langsung tidur begitu sampai kamar, tapi urung. Tubuh lengket dan bau asap rokok sangat mengganggu. Kulempar semua pakaian yang melekat ke keranjang. Setelah mendapatkan suhu air yang kuinginkan, aku duduk di bawah pancuran sambil memeluk lutut.
Harusnya hari ini aku senang-senang, menikmati uang ‘tambahan’ dari Mama. Nyatanya aku malah berakhir di sini. Kata-kata Putri, si Gondrong, dan orang-orang tadi, terus berputar di kepalaku. Dan membawaku kembali mengingat alasan aku betah ada di sini.
Tujuanku sama dengan para penghuni WH lainnya, yaitu ingin menikmati masa muda yang katanya sebentar−dengan bahagia. Selain itu tidak ada orang yang sok peduli dengan urusan orang lain. Akhir semester ini, genap tiga tahun aku jadi penghuni WH.
“Mau sampai kapan elo kayak gini, Kak?” Pertanyaan Putri melintas begitu saja.
Perang sedang berkecamuk dalam diriku saat ini. Antara si Pemberontak dan si Nurani. Meski lemah dan nyaris mati, nurani masih bertahan di sudut tergelap.
“Elo itu cuman baper aja. Nanti juga baik lagi,” kata si Pemberontak.
“Nggak! Elo udah nggak nyaman. Tandanya elo harus berubah,” timpal nurani.
“Telat!”
“Nggak ada kata terlambat untuk berubah.”
Suara-suara tersebut saling sahut. Saling bantah. Hanya itu.
=================================
Hai..hai..hai...
Jarang-jarangkan aku update jam segini. Lagi gabut. Hahahaha.
.
Demen deh aku sama Dara. Meski bandel tetep punya prinsip. Pemberontak Bermartabat. Hadeeeeeeh, martabak iya enak.
.
Me : Dara. Dara. Mbok ya kasian sama Emak ente. Nyari duit gak gampang. Ish..ish..ish..
.
Dara : Emak gue juga gak kasian. Seenaknya mau jodoh-jodohin orang. Emangnya masih zaman?
.
Me : Sekarepmulaaaaaah. (Terus ngambek dan baper).
.
.
.
Eh..eh..eh.. jangan lupa klik bintangnya yaaaa. Share ke temanmu yang masuk klan pemberontak juga gak papa, biar si Dara ada temennya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOUSEMATE [Pindah Ke Cabaca]
ChickLitNamaku Dara. Cita-citaku jadi MA. bukan Magister Akuntansi atau Mahkamah Agung, tapi Mahasiswa Abadi. Semua itu karena Mama. Dia yang memaksaku menikah begitu lulus kuliah. Mana mungkin aku setuju, apalagi cowok yang dijodohkan itu lelaki cupu. Eeuu...