Hari pertama UAS, dan aku terlambat. Dengan napas yang tersisa−meski senin-kamis, akhirnya aku bisa sampai di ruangan yang terletak di lantai empat. Tanpa naik lift. Catat itu! Tanpa lift.
Karena senioritas (baca: nomor induk yang paling uzur), makanya aku duduk di kursi pertama baris terdepan. Makhluk prasejarah satu-satunya yang terdampar bersama puluhan orang yang baru jadi mahasiswa semester kedua. I’m not a hate Monday person, but the day hates me. Buktinya, selalu ada kejadian menyebalkan setiap Senin. Seriously.
Pertama, mata kuliah yang diujikan adalah Bahasa Indonesia. Pelajaran yang paling tak kusuka sejak kenal sekolah. Kenapa setiap jenjang pendidikan, Bahasa Indonesia itu selalu ada? Toh selama ini sudah jadi bahasa ibu kebanyakan orang, terutama yang tinggal di ibukota dan kota penyangganya. Dan aku paling kesal saat diminta membuat cerita atau mencari topik utama dalam sebuah wacana.
Kedua, kursi yang kududuki saat ini sepertinya sudah harus masuk museum. Benda ini terus berderit setiap kali aku bergerak. Parahnya, aku tipe orang yang tidak bisa duduk diam saat mengerjakan sesuatu. Selain tangan, biasanya aku menggoyang-goyangkan kaki. Masih tersisa lima belas menit dari batas waktu yang diberikan. Aku sudah menyelesaikan semua soal, begitu pun dengan tiga cewek koplak yang duduk tepat di belakang kursiku. Aku bangkit dan menyerahkan lembar jawaban. Mereka menyusul sembari cekikikan.
Ketiga, ujian kedua baru akan dimulai tiga jam lagi, yang artinya jam kritis bin nanggung bagiku. Mau balik ke kosan, nanti bakalan sulit melawan hasrat untuk rebahan. Kalau bertahan di kampus, aku harus menyelipkan diri di mana? Masalahnya, teman-temanku beda jam semuanya.
Akhirnya kuputuskan untuk menyendiri di balkon yang ada di lantai empat. Tepatnya di belakang ruang siaran radio kampus. Tempat favoritku, jika sedang sendirian. Paling tidak di sana sepi. Hanya sedikit orang yang hilir mudik, kecuali mereka yang bolos atau yang sedang pacaran.
Ternyata daftar kesialanku hari ini masih bertambah. Kesialan nomor empat, lagi asyik-asyiknya streaming film, kakiku terinjak, dan pelakunya cuma bilang maaf sambil lalu. Ternyata si Trio Roda Bajaj. Yang paling depan alias orang yang menginjak kakiku alias si Rambut Sosis yang bedaknya semeter, jalan seenak jidat. Sudah macam ini kampus milik moyangnya.
Ada dorongan untuk bikin perhitungan dengannya, tapi keinginan untuk abai jauh lebih besar. Kulanjutkan menonton.
*
Tepat sebelum azan asar aku sudah sampai kosan. Di ruang tengah Siska, Tiwi, dan Astri sedang berkumpul. Semula aku ingin langsung masuk kamar, tapi mengingat seminggu belakangan ini kami jarang mengobrol, jadi aku bergabung sama mereka. Suasana langsung awkward. Keseruan obrolan mereka tadi berhenti. Di tambah Tiwi yang masuk kamar tanpa permisi.
Siska dan Astri masih asyik mengunyak keripik kentang, meski tak bersuara. Untuk mencairkan suasana, kuceritakan kejadian nahas hari ini. Siska hanya manggut-manggut, tanpa tambahan ekspresi. Sedangkan Astri, dia....
“Itu sih derita lo!” katanya singkat. Mukanya datar. Tak menyiratkan rasa humor.
Kuhela napas panjang. “Gue duluan.”
Hening. Tidak ada yang menyahut.
*
Sampai UAS berakhir, tak ada satu pun dari mereka yang memulai bicara duluan padaku. Bahkan untuk menyapa pun selalu aku yang mengawali. Ada yang salah, tapi apa dan kenapanya aku tak tahu. Untung Putri menelepon dan memintaku pulang. Intonasi suaranya yang beda dari biasa, berhasil membuatku bilang ‘iya’.
Hari itu juga aku langsung berkemas. Aku pamitan ke Siska, karena hanya ada dia di rumah. Meski enggan, aku tetap titip salam untuk Tiwi dan Astri. Tak banyak barang yang kubawa, hanya laptop dan beberapa komik yang belum sempat kubaca.
Jarak rumah dan kampus tidak begitu jauh, hanya butuh dua jam perjalanan−jika lancar. Berhubung aku mau menghindar dari Mama, jadi aku berdalih akan sangat merepotkan dan melelahkan, jika aku harus pergi-pulang setiap hari. Bisa-bisa aku tua di jalan.
Di dalam kepalaku ada banyak skenario untuk membantah setiap ucapan Mama, jika dia masih mengungkit soal perjodohan konyol itu. Please, dong! Ini zaman apa memangnya? Apa iya masih musim jodoh-jodohin anak?
Setelah turun dari bus, aku cukup berjalan kaki beberapa ratus meter untuk sampai rumah. Dari ujung jalan, Putri tampak mondar-mandir di depan pagar. Dia melihatku, lalu berlari kecil menghampiri.
“Lebay banget kangennya,” ledekku begitu jarak kami menipis.
Putri terlihat mengatur napas. “Elo jangan ngajakin Mama ribut. Oke!” Baru mau buka mulut, dia mengangkat tangannya. “Mama jatuh kemarin lusa. Kepalanya kebentur lantai kamar mandi....”
“Kok elo nggak ngabarin gue, Put? Terus keadaan Mama gimana? Udah diperiksa belum kepalanya?” tanyaku panik.
“Mama yang larang gue. Katanya elo lagi ujian dan Mama nggak mau gangguin lo.”
Aku berlari dan langsung menghambur ke kamar Mama. Skenario yang tadi kususun menguap begitu saja, melihat perempuan paruh baya itu terbaring lemah di ranjangnya. Mataku memanas. Kepalaku berdenyut-denyut. Dan dadaku sesak.
Perlahan kudekati Mama. Aku berlutut di sisi tempat tidur, memerhatikan garis-garis wajahnya yang kian ceruk. Mukanya lebih tirus dari yang terakhir kuingat. Tanpa terasa air mataku menetes di pipi Mama, yang membuatnya terjaga. Dia sempat terkejut meski hanya sesaat, lalu berganti dengan senyum hangat.
Kuambil tangan kanannya dan kucium. “Maafin Dara, Ma. Maafin Dara.” Hanya kalimat itu yang mampu keluar dari bibirku. Lirih. Nyaris berbisik tanpa suara. Terdengar gumaman yang samar, lalu kepalaku diusap lembut. “Dara janji, Ma! Semester besok, Dara akan serius kuliah. Kasih Dara waktu setahun untuk lulus.” Kutatap lurus ke mata Mama yang sayu sembari mengatur napas. “Dara juga mau nikah sama Bibi,” ucapku pelan. Menundukkan kepala dalam-dalam.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
HOUSEMATE [Pindah Ke Cabaca]
ChickLitNamaku Dara. Cita-citaku jadi MA. bukan Magister Akuntansi atau Mahkamah Agung, tapi Mahasiswa Abadi. Semua itu karena Mama. Dia yang memaksaku menikah begitu lulus kuliah. Mana mungkin aku setuju, apalagi cowok yang dijodohkan itu lelaki cupu. Eeuu...