*
Hai! Aku balik lagi dengan cerita yang baru, Akhirnya cerita ini terealisasikan juga.
Aku nerapin rated 15 tahun ke atas karena mungkin selama ceritanya berjalan bakalan ada beberapa kata yang agak gimana, tapi aku juga ga bakalan buka-bukaan banget karena bukan itu fokus utamanya.Semoga kalian bijak ya dalam membacanya, karena aku ga mau kalau salah sasaran:(
Semoga kalian suka!
*
Menyedihkan memang hidup menjadi Averline, tumbuh dewasa di panti asuhan dan tak punya satu pun keluarga yang dapat menjadi tempat bersandar, membuat mentalnya ditempa kuat.
Berkuliah di kampus swasta dengan mengandalkan beasiswa cukup membantu hidupnya, semenjak memutuskan keluar panti saat berumur delapan belas tahun. Ave harus bertahan hidup sendiri apapun caranya.
Bekerja paruh waktu di mini market, pengantar makanan siap saji, sampai menjadi pelayan resto telah ia lakukan. Tapi tetap saja hidup ditengah ibu kota bagaikan pertarungan. Siap yang lebih kuat, dia yang bertahan hidup.
Pekerjaan apapun rasanya telah Ave lakukan tapi bahkan membayar rumah atap saja ia harus menunggak tiga bulan.
"Ditekuk aja itu muka." Interupsi wanita yang tiba-tiba duduk disampingnya, "makan sana, pesen pesen gue yang traktir." Lanjutnya.
Ave tak menjawab, hanya menatap datar wanita di hadapannya yang semakin hari riasan wajahnya semakin tebal saja.
"Gak usah nolak. Gue tau tampang tampang begini dompetnya cuma isi sarang laba-laba doang."
Ave menutup wajahnya dengan kedua tangannya yang bertumpu pada meja kantin, "gue gak tau harus kerja apa lagi Clar. Bahkan setiap hari gue tidur cuma 2 jam sebelum kelas di mulai gara gara kerja mulu."
Dengan nada bijak Clara berbicara, "Hidup di ibu kota memang seperti ini nak, kalau tak kuat silahkan pulang kampung saja."
"Gak. Gue udah cinta banget sama kota. Kalo di kampung, gue nengok kanan sawah, gue nengok kiri kebun apa gak ditumbuhin rumput mata gue lama lama?"
"Ada sih satu cara yang bisa bikin Lo bertahan hidup."
Ave mendekatkan tubuhnya, penasaran dengan apa yang Clara ucapkan.
Clara hanya menaik turunkan kedua halisnya tanpa berkata apapun, dan itu sukses membuat kepala Ave menggeleng cepat, "GAK! gamau gue, udah lo aja sana jangan ngajak gue."
Clara mengedikan bahunya, "terserah, padahal om gue punya temen yang ekhem tajir."
Hampir seluruh pekerjaan sudah tersentuh Ave sepertinya, tapi untuk pekerjaan yang dimaksud Clara... bahkan Ave saja tak tahu cara kerjanya!
Dering ponsel Clara berbunyi cukup keras, dan seutas senyum muncul di wajahnya membuat kedua pipi yang ia pakaikan blush on semakin merah saja.
Ave tahu betul kalau yang menelepon itu adalah om nya Clara tapi Ave tak tahu kalau Clara akan semerona itu ketika mendapatkan panggilan telepon dari orang tersebut.
💄💄💄
Tengah malam tepat Ave baru sampai rumahnya, setelah seharian menghabiskan waktunya untuk belajar di kampus dan bekerja di resto hari ini. Untung saja tidak ada tugas mata kuliah yang harus Ave kerjakan dan pula besok akhir pekan, jadi ia bisa tidur sedikit lebih lama dari biasanya.
Jika sendi-sendi Ave bisa berbicara, sepertinya mereka akan menangis meraung-raung minta dipijat. Hari ini terasa lebih lelah dari biasanya, tenaganya terkuras habis dan batinnya pun serupa. Ave mendapat beberapa omelan dari manager resto tempat ia bekerja. Ia di tuntut bekerja lebih gesit sedang para pelanggan dan karyawan tak seimbang jumlahnya sukses membuat Ave tak henti-hentinya mengoceh.
"Dasar nuntut kerja gue lebih cepet huh! dasar bapak tua yang gak nikah-nikah. Kalau gak mau pelanggan nunggu lama ya tambah karyawan lah, ini karyawan cuma ada lima, dikurangin tukang masak dua. Gue cuma punya tangan dua, gue bukan gurita yang punya banyak tangan kali."
Setelah mengeluarkan kata-kata umpatan yang ditujukan pada managernya, tiba-tiba Ave teringat ucapan Clara siang tadi. Sugar Baby adalah kata pertama dalam daftar hitam pekerjaan yang bisa dilakukan Ave. Tapi jika melihat testimoni dari Clara, mobil mewah, apartemen mewah, uang kampus lancar, barang-barang bermerk, dan perawatan kecantikan di klinik ternama membuat Ave sepertinya akan berpikir dua kali tentang itu.
"AH ENGGAK LAH. GAMAU GUE!" Teriak Ave setelah sadar dengan apa yang ia pikirkan.
17.25
DUG DUG DUG!
Suara ketukan pintu yang terdengar kasar menganggu acara nonton film Ave kali ini.
Ave berjalan gontai ke arah pintu, dan seketika matanya terbuka sempurna nyaris melotot melihat sang pemilik rumah atap sedang berada di hadapannya sekarang.
Uang gue bahkan belum cukup terkumpul.
"Oh ibu, silahkan masuk." Ucap Ave mempersilahkan masuk.
Setelah mempersilahkan duduk nyonya Meriam, Ave berjalan ke arah dapur dan membuatkan minum seadanya untuk nyonya Meriam.
Ave menaruh cangkir teh di meja, lalu ia duduk tepat di samping Bu Meriam, "Silahkan diminum, maaf hanya teh hangat."
"Langsung saja, maaf Ave pagi-pagi begini mengganggu. Hanya saja ini sudah lewat tiga bulan kamu menunggak pembayaran rumah, dan itu sudah melanggar perjanjian awal sejak pertama kali kamu datang kesini."
Fix di usir gue.
"Jadi dengan berat hati, saya harus mengeluarkan kamu dari sini, karena besok penghuni baru akan mulai membawa barang-barang nya kesini. Maafkan saya."
"Gak apa-apa Bu, toh ini memang kesalahan saya."
Ave gak tau harus pergi kemana lagi, hari hampir malam dan awan pun terlihat mendung. Uang simpanan Ave pun Gak cukup untuk sewa kontrakan. Dalam situasi seperti ini Ave benar-benar merasa terbuang, kehidupannya terasa tak ada gunanya lagi. Tapi Ave yakin ia kuat, dia akan melakukan berbagai cara untuk bisa bertahan hidup, apapun caranya!
Sekali lagi, APAPUN CARANYA!
Ave duduk di halte bus, sudah mulai gerimis dan Ave masih kebingungan. Jarinya mengetik beberapa huruf di ponsel, selanjutnya menempelkan ponselnya ke telinga. "Halo Clar? Lo lagi dimana?"
"Bisa ketemu sekarang? Ada yang pengen gue omongin."

KAMU SEDANG MEMBACA
Resilience | Johnny
Fanfic[ON HOLD] Peliknya hidup di tengah kota besar membuat Ave bisa melakukan apa saja untuk bertahan hidup. Termasuk menjadi simpanan lelaki beristri?? [September 2020] ⚠️15