"Walau hati tak akan pernah dapat melupakan dirimu. dan tiap tetes air mata yang jatuh kuatkan rinduku. pada indah bayangmu, canda tawamu, Pada indahnya duka dalam kenangan kita"
duka - last child
"bintang adalah masa lalu" pria itu kini bediri disampingku. padahal baru saja aku ingin menggerutu jika dia terlambat walau satu menit saja, Tapi sepertinya dia tetap akan pada kebiasaannya, yaitu tepat waktu .
"kenapa masa lalu?"
"karena bintang berada sangat jauh dari bumi clay, jaraknya hampir tak tergapai, Dan lihat"
Tunjuknya pada bintang-bintang dilangit, serta merta membuatku mengikuti arah tunjuknya itu
"cahaya bintang itu ga mungkin langsung terlihat oleh kita. Butuh waktu yang panjang agar cahaya itu sampai keatmosfer bumi"
"begitukah?"
"ya begitu, bahkan cahaya bintang yang saat ini kita lihat adalah cahaya bintang yang sudah musnah meledakkan dirinya sendiri,atau malah meledak karena batas waktu hidupnya yang memang sudah berakhir"
"maksud kamu?" aku yang lantas tak mengerti memalingkan wajah dari kemerlap bintang dan menatap wajahnya.
Dia tetap sama dan akan selalu sama walau waktu berlalu lamanya
Seperkian detik, seperkian menit, dan terhitung sudah tiga puluh lima tahun lamanya aku mengenal dia sejak kita masih remaja. Lebih tepatnya sejak kita sma.
"kenalin gue romeo, dan gue tebak lo pasti julietnya kan?" dia tetap seperti dulu.
Caranya tertawa, berbicara dan bahkan mengajakku berkenalan masih terekam jelas lalu berputar kembali sebagai mimpi indah ditidurku pada setiap malamnya
Lalu? Mengapa aku merasa kesepian?
"tak ada yang abadi didunia ini clay, begitupun bintang yang kita lihat dilangit saat ini, Ya walau bintang itu sudah tidak ada setidak cahayanya masih bisa kita kagumi" dia menatapku lama.
Tatapan yang dalam, dan lagi-lagi kuakui bahwa tatapannya yang setajam elangpun tak pernah berubah walau dimakan waktu seperkian lamanya.
Telapak tangannya yang besar mengelus puncak kepalaku dengan lembut.
ditempat ini aku kembali jatuh kepada pesonanya, tempat dimana aku dan dia bertemu sekitar dua puluh lima tahun yang lalu.
Ya aku dan dia berada dibukit belakang sekolah yang juga kini menjadi tempat tinggalku.
Berada dipekarang rumah dengan menatap bintang bertebaran dilangit bersama seseorang yang kita cintai memang menyenangkan bukan? Tapi mengapa air mata kesedihan yang kini kudapatkan?
"kenapa kamu menangis clay?" dia menyadari air mata bodoh itu dan menghapusnya dari pipiku secara perlahan
Sedangkan aku hanya menggeleng menjawab pertanyaannya.
Tuhan, bolehkan aku egois saat ini?
"jangan sedih clay, cahaya bintang malam ini begitu indah, sayang jika kita melewatkannya" dia tersenyum, dan senyumnya membuatku kembali meneteskan air mata kesedihan.
"tapi bukannya kamu bilang kalo cahaya bintang yang kita lihat saat ini kemungkinan bintangnya sudah musnah?" aku menuntut kejelasan dan dia kembali tersenyum.
"clay, bintang itu mungkin sudah musnah tapi masih ada cahaya yang dia pancarkan, walau cahaya itu hanya bisa kita lihat dan kita kagumi. Setidaknya ada hal yang berharga untuk mengingat bintang tersebut"
"seperti kenangan?"
"ya, seperti kenangan"
Hening
Aku dan dia kembali menikmati pemandagan langit malam ini, sepoian angin membuat hatiku terasa amat bahagia, walau aku tau kenyataan mungkin tak sebahagia yang kurasakan kini.
"ssudah tiga puluh tahun ya clay" dia kembali bersuara
Menatapnya yang sedang menatap langit,seakan tak ingin aku melihat matanya yang mungkin menyimpan sebuah kebenaran walau kebenaran itu sudah aku ketahui sejak dulu
"ya benar, sudah tiga puluh tahun" aku kembali menatap langit agar setidaknya dia tidak melihat duka yang kupendam selama dua puluh tahun belakangan ini.
"selamat hari penikahan kita clay" dia menggengggam tanganku erat seakan akan menguatkanku untuk menjalani semuanya
Sedangkan aku hanya mengangguk
"aku tepatin janji akukan?" tanyanya masih menggenggam tangakku
Bukan aku tak ingin menatapnya, tapi aku hanya takut bahwab kenyataan ini memang telah terjadi .
Aku bodoh! Padahal aku sadar bahwa kenyataan ini sudah terjadi sejak dua puluh dua tahun yang lalu.
"janji apa?" bukan aku lupa, aku hanya ingin lebih lama bersamanya. Tidak bisa kah tuhan? Walau dia sudah menepati janjinya aku ingin lebih lama merasakan kenyamanan yang selalu aku rindukan
"janji untuk mengucapkan selamat hari pernikahan kita disetiap tahunnya clay. kamu lupa?" ah iya janji itu , sebuah alasan penting mengapa aku dan dia bisa berdiri menatap langit saat ini. Dan janji itu juga yang membuat aku bisa bertemu dengannya walau hanya sekejap dalam hitungan jam dalam setahunnya.
"kalau gitu, aku pergi dulu ya clay" dia melepaskan genggamannya tapi sebelum melepaskan genggaman itu aku langsung memeluknya
"clay" panggilnya lembut membuatku menangis histeris
Dia menghela nafas, membiarkanku menangis dibahu gagahnya
"kita akan kembali bertemu clay, ditempat yang jauh lebih indah. Aku kesini juga cuma untuk menepati suatu hal yang udah aku janjiin kekamukan? "
Aku tak menjawab. Memeluknya semakin erat karena ka ingin kehilangannya terus menerus
Mengerti akan kesedihanku selama dua puluh tahun lamanya, dia membalas pelukanku
Erat, sangat erat.
"maafin aku yang harus pergi tanpa ngajak kamu. Tapi ini takdir clay, kita ga bisa melawan takdir" perkataanya malah membuat tangisku semakin menjadi
"kamu ga boleh nangis clay" dia melepaskan pelukanku dan menghapus air mataku perlahan
"kamu harus kuat. oke? Karena kalo ga ada aku, ga ada yang menghapus air mata kamu nanti" raganya sedikit demi sedikit menghilang dari pengelihatanku
Aku berusaha meraih raga itu, namun nihil. Karena sebenarnya keberadaannya kini menentang hukum alam dan tak seharusnya terjadi.
Aku yang harusnya berterima kasih kepada tuhan Karena setidaknya bisa bertemu dengan dia, malah selalu menyalahkan tuhan disetiap malamnya dalam doaku karena begitu jahat merebut separuh kebahagiaanku tanpa aku diberitahu terlebih dulu.
Dia tersenyum, setetes air mata jatuh dipipinya.
"sampai jumpa tahun depan clay, aku mencintaimu. Sangat mencintaimu" ketika raganya benar-benar menghilang, aku meneteskan tetes terakhir air mataku
"aku juga bram, aku juga"