Bab 2

178 35 58
                                    

Sama seperti kebanyakan emak-emak seusianya, Bu Kumbang sedang asyik menonton serial istri-istri yang terzolimi ketika anaknya, Sedap Malam, pulang.

"Assalamualaikum," celetuk Bu Kumbang.

Anaknya yang hampir masuk ke dalam kamar terpaksa balik badan. Wajahnya kusut seperti keset di toko kaset.

"Assalamualaikum," balasnya.

"Waalaikumsalam, cari siapa ya, Dek?"

Lam mendengkus. Bahunya melorot. Sambil sempoyongan ia meraih tangan ibunya lalu menciumnya. Ibunya tidak terlalu peduli. Matanya masih fokus ke televisi.

"Berhentilah menonton sinetron seperti itu, Mak. Tidak baik untuk akal sehatmu."

"Berhentilah mengguruiku dan buatkan aku susu coklat."

Jika ada lawan yang tidak pernah bisa dikalahkan Lam dalam perdebatan, maka ibunya sendiri itulah orangnya. Lam yang pernah menjuarai lomba cerdas cermat agama se-kelurahan harus mengakui keunggulan ibunya dalam bersilat lidah meskipun wanita itu hanya lulusan sekolah dasar.

"Dikocok bukan diaduk," pungkas ibunya.

Tentu Lam sudah menduga ibunya akan berkata demikian. Namun, tetap saja lelucon itu selalu berhasil membuatnya tersenyum.

Setibanya di dapur, Lam tertegun ketika mendapati kotak susu yang telah ringan.

"Tuhan, berikan aku banyak penumpang besok," ujarnya pelan setelah mengintip ke dalam kemasan. Beruntung Lam berhasil mengais sisa-sisa yang ada dan menyulapnya menjadi satu porsi minuman sesuai takaran.

"Silakan, Nyonya, susu kocoknya sudah siap. Jika tidak ada yang Anda butuhkan lagi, hamba pamit undur diri."

Bu Kumbang mengibaskan tangannya seperti sedang mengusir kucing. Lam membungkukkan badan dengan hormat seraya menyilangkan kedua kakinya. Ia sengaja berlama-lama dalam posisi itu hingga sebuah tendangan menyepak pinggulnya.

"Anak setan!"

Lam tertegun. Ia membaca ayat kursi dengan lantang. Bu Kumbang tertantang. Dilancarkannya jurus tendangan tanpa bayangan sambil terbang. Lam pun terjengkang jauh ke belakang. Kebetulan ia memang hendak membersihkan badan.

Di dalam kamar mandi, Lam tidak langsung menanggalkan pakaian. Ia memandangi tubuhnya di dalam cermin tua yang telah menguning. Disibakkan rambutnya. Lalu, perlahan-lahan ia menariknya ke belakang. Dirabanya satu per satu ornamen di wajahnya. Alisnya, matanya, hidung, lesung pipi, dan berakhir di bibir. Sepotong kenangan berkelebat. Membuatnya tersenyum. Deretan giginya pun mulai menampakkan diri. Semakin lebar dan terbuka. Saat itu juga Lam menyadari sesuatu. Dicongkelnya sisa-sisa jagung yang terselip dengan jarinya lalu didorongnya masuk ke dalam kerongkongan.

"Mampus kau dikoyak-koyak cacing dalam perutku!"

Puas mengumpat, Lam pun melepaskan seluruh pakaiannya. Sepanjang hari ini ia merasa sedikit aneh. Ia tidak segerah biasanya. Padahal di luar sana, semesta sedang panas-panasnya. Awalnya, ia mengira itu terjadi karena suasana hatinya yang sedang baik. Ternyata alasan sebenarnya adalah karena ia lupa memakai beha.

"Demi Das Kapital, bagaimana aku bisa tidak menyadarinya. Pantas saja hari ini semua penumpangku berebut duduk di depan."

Lam menampar buah dadanya masing-masing tiga kali. Baginya itu merupakan hukuman yang setimpal karena mereka tidak tahu diri. Barulah setelah itu guyuran air dingin mengembalikan kewarasannya.

Sebenarnyalah Lam ingin segera masuk ke kamar dan tidur, tetapi suara batuk ibunya cukup mencemaskan. Ia khawatir tidurnya akan terganggu jika ibunya tidak segera diobati.

Ke BacutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang