December, 2014
Disinilah Chanyeol berada saat ini. Di dalam sebuah cafe, tepat di depan tempat dimana semuanya berawal. Dari balik dinding kaca cafe yang mulai berembun, Chanyeol bisa melihat taman bermain kecil di seberang jalan. Walaupun samar-samar Chanyeol masih ingat bagaimana dulu ia selalu berlari ke taman bermain itu setiap sore. Bermain bersama anak-anak kompleks lain. Termasuk seseorang yang saat ini sedang ia tunggu-tunggu kedatangannya.
“Yaaaa Park Chanyeol! Lama tidak bertemu,” sapa sebuah suara yang sudah sangat dikenalnya. Pemilik suara itu tidak lain dan tidak bukan adalah Kim Jongin yang baru saja melangkah masuk ke dalam cafe bersama istrinya, Cha Chohee. Keduanya baru saja menikah musim semi yang lalu dan saat ini sedang menantikan kelahiran anak pertama mereka.
“Kim Jongin-yo!” Chanyeol membalas sapaan Jongin dengan tidak kalah heboh. Untuk masalah ini memang tidak pernah ada kata dewasa dalam kamus Chanyeol dan Jongin.
“Sendirian saja, Park Chanyeol-ssi?” tanya Jongin dengan nada formal yang dibuat-buat.
Chanyeol tertawa, “Yahh.. seperti biasanya selalu menunggu sendirian, tidak seperti kalian yang sekarang sudah bertiga,” jawabnya, “Ayo duduk,”
Jongin dan Chohee segera duduk di bangku di seberang Chanyeol.
“Ah iya bagaimana hasil USGnya? Perempuan atau laki-laki?” tanya Chanyeol segera setelah mereka bertiga duduk.
“Laki-laki,” jawab Chohee tanpa bisa menyembunyikan senyum bahagianya, “Seperti harapan appanya,”
“Aku akan dapat teman main baru. Maaf kalau nanti aku melupakanmu, Chanyeol-ah,” kata Jongin dengan wajah tidak kalah bahagia.
“Wah, wah, wah... tidak bisa dibiarkan. Pokoknya Chanyeol samchun juga harus ikut main,” kata Chanyeol, “Sudah memilih nama?”
“Hmm.. ada beberapa pilihan sih... Baekhyun, Daehyun, Sehun, tapi kurasa kami pilih Baekhyun,” jawab Chohee.
“Eh, yeobo, coba hubungi yang lain, kapan mereka akan datang,” kata Kai sambil melihat jam tangannya, “Kau juga, Chanyeol-ah,”
Chanyeol hanya tersenyum tipis, “Tidak perlu,” katanya sambil kembali melihat ke taman di seberang jalan dan kembali menunggu kedatangan orang yang paling ia nanti-nantikan.
“Ia sudah bilang akan datang,”
December, 1996
Seorang gadis kecil berkucir dua menangis di tepi bak pasir di taman bermain kompleks. Lututnya berdarah dan tidak ada satupun orang di taman bermain yang bisa membantunya. Saat itu sudah mulai gelap. Matahari sudah mulai tenggelam. Gadis itu menangis semakin keras karena hari mulai malam.
“Adik kecil kenapa menangis?” tanya seorang anak laki-laki bertubuh gendut yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya.
Gadis kecil itu diam sejenak karena memperhatikan anak laki-laki yang ada di hadapannya namun kemudian kembali menangis keras-keras. Anak laki-laki itu segera mendekati si gadis kecil dan memeluknya sambil menepuk-nepuk punggungnya.
“Kau mau pulang ke rumah?” tanya anak laki-laki itu.
Gadis itu mengangguk, “Ne, tapi...tapi... kakiku sakit dan aku tidak bisa berjalan ke rumah,” setelah menjawab pertanyaan anak laki-laki itu si gadis kecil kembali menangis.
Anak laki-laki itu berpikir sejenak hingga akhirnya, “Kalau begitu naiklah ke punggungku,” katanya.
Gadis kecil itu menatap anak laki-laki yang membungkuk di hadapannya dengan mata yang masih berkaca-kaca. Dengan agak ragu-ragu ia naik ke punggung pria itu.