"Bagaimana kabarmu disana, Haechan?"
Haechan mengulum bibirnya—memendam jutaan perasaan yang terasa membuncah di dadanya. Sudah lama sekali sejak seseorang terakhir kali menanyakan kabarnya dan mungkin Haechan menjadi sensitif dengan hal itu.
"Keadaan disini baik-baik saja. Aku memang sedikit kesulitan untuk beradaptasi, tapi karena Mark sempat membuatkan catatan yang berguna semuanya jadi tidak sesulit itu. Ibu sendiri bagaimana? Haejoon dan Haein?"
"Kami baik, Haechan. Kau tidak perlu khawatir." Suara ibunya yang terdengar lembut membuat hati Haechan tenang. Ah, betapa dia merindukan keluarganya "Satu-satunya yang harus kau khawatirkan adalah dirimu sendiri." Lanjut ibunya.
"Aku?.." Suara Haechan terdengar mengambang di udara. Dia kemudian tertawa paksa untuk menghilangkan rasa canggung. "Apa yang ibu bicarakan? Aku sudah bilang kalau keadaan disini baik-baik saja."
"Ibu tidak bicara tentang keadaan disana, Haechan. Ibu bicara tentangmu. Apa kau baik-baik saja?"
Selama ini Haechan merasa kalau dia sudah menjadi aktor yang baik dengan selalu berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja walaupun pada kenyataannya dia merasa kalau kesempatannya untuk bahagia sudah lenyap untuk selama-lamanya. Tapi mungkin karena mereka adalah ibu dan anak, beberapa hal memang akan tetap bisa diketahui tak perduli seberapa keras Haechan berusaha untuk menyembunyikannya.
"...Ibu, aku tidak apa-apa..." Dia menegak salivanya dengan susah payah untuk sekali lagi mengeluarkan kebohongan itu dari mulutnya. "Aku bahagia kalau kalian bahagia." Ulangnya lagi.
"Haechan... Maaf..." Suara ibunya pecah juga pada akhirnya. Mungkin karena ikut merasa sakit akan ketidakadilan yang dirasakan sang buah hati. "Maafkan ibu..."
"Bukan salah ibu..." Haechan mencoba untuk tertawa tapi tubuhnya mengkhianatinya dengan membuatnya terdengar seperti sedang tercekik.
Menyesakkan.
Semuanya benar-benar menyesakkan.
•••
Haechan menyelesaikan hidangan dan menutup acara makan malamnya dengan menyesap segelas wine yang ada di hadapannya. Matanya kemudian beralih untuk menatap kearah samping dimana jendela besar menunjukkan kerlap kerlip kota yang selalu terlihat sibuk itu.
Sampai dua tahun yang lalu dia tak pernah sekalipun membayangkan kalau dia akan merasakan kehidupan seperti ini. Pakaian bermerek dari ujung kepala sampai ujung kaki, mengenyam pendidikan di universitas terbaik yang ada di luar negeri, tinggal di rumah yang lebih terlihat seperti kastil, mempunyai kartu dengan limit yang tak terbatas, lalu sejuta kemewahan lainnya yang dulu hanya bisa dia lihat dari televisi.
Bukankah semua itu terdengar sempurna?
Tapi kenapa... dia sama sekali tidak merasa bahagia dengan kehidupannya yang sekarang?
Agustus, pikirnya. Haechan kembali melihat kearah luar sambil menopang dagu. Agustus adalah bulan dimana anak seangkatannya di SNU merayakan hari kelulusan.
Haechan sekali lagi mengguncang gelas wine-nya. Ah, betapa dia iri dengan Hwang Hyunjin.
•••
Dua tahun setelahnya, ketika dia sendiri baru lulus dari universitas dan mengikuti makan malam yang kakeknya buat, ayahnya datang sambil membawa tiga orang asing untuk ikut masuk mengikuti dia.
Mata Haechan meneliti sepasang suami istri dan satu orang perempuan seusianya yang dia perkirakan sebagai anak dari sepasang suami istri itu.
Dia memang tidak mengatakan apapun, tapi hati kecilnya merasa kalau akan ada sesuatu yang besar akan terjadi setelah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seven - Haechan ✔️
Fiksi PenggemarSeven stages of heartbreak: First, confusion. Second, denial. Third, sadness. Fourth, jealousy. Fifth, anger. Sixth, regret. And last, madness. [#20Dfanfiksichallenge] Start: 5/9/20 Ended: 24/9/20 ©️Jeffhyun97 -2020-