3. Everly Deen Hawkins

4K 560 2
                                    

Everly Deen Hawkins

Tahu. Aku tahu pria itu sengaja mengikutiku untuk menuntutku, tapi situasiku saat ini sangat tidak bisa diajak fokus pada hal lain, selain mengenai masalah yang sudah mencekikku sedari awal.

Ayah belum sadarkan diri, sementara ibu masih mengurus hak keluarga kami pada pabrik yang telah ayah kelola dengan seluruh hidupnya selama ini.

Menghindar. Aku berhasil menjauhinya dengan berbelok ke lorong lain yang sebenarnya, aku tidak tahu akan berakhir di mana.

Huft, untunglah. Setelah berjalan hingga ke ujung lorong, ternyata ini berakhir di dekat taman rumah sakit.

Indah, sejuk, dan penuh hawa menenangkan. Padahal aku berada dalam jarak sedikit jauh, namun sudah bisa merasakan kedamaiannya.

Sayang sekali aku tidak sempat menikmati semua ini, karena urusanku untuk memenangkan Deen Seafood belum berakhir.

Dorris memberiku kesempatan dan waktu hanya satu minggu. Dasar gila! Dari mana uang setengah milyar bisa kudapatkan dalam sepekan? Deen Seafood mengalami penurunan pengunjung dalam beberapa bulan terakhir.

Aku pun tidak lagi memiliki simpanan uang atau barang berharga lain, sebab sudah merenovasi beberapa kerusakan pada restoran dan menambah fasilitas lain untuk menarik minat pengunjung.

Semasa kami bersama, bahkan di penghujung hidupnya, Joe sama sekali tidak memberitahuku, kalau dia terlibat utang piutang dengan Dorris Wilmer. Total nominalnya tidak disebutkan secara pasti, sebelum aku melunasi setengah milyarnya.

Sepertinya, jumlah keseluruhan utang suamiku cukup banyak. Aku yakin karena harga bangunan Deen Seafood bisa mencapai milyaran.

Joe, kenapa kau merahasiakan hal sepenting ini dariku? Apa belum cukup kepergianmu yang begitu mendadak nyaris membuatku hancur dalam sekejap?

"Kau berutang maaf padaku, Nona."

Spontan saja aku terkejut bukan main, saat menyadari kehadirannya di hadapanku yang bagai hantu. Kapan dia muncul?

"Maaf, apa sebelumnya kita saling kenal?" Otakku terasa buntu. Lidahku mengambil alih untuk mengucapkan kebohongan.

Aku jelas mengenalnya. Terlambat kusadari bahwa dia bukanlah salah satu dari anak buah Dorris Wilmer. Aku gila! Tentu saja! Aku dalam keadaan putus asa dan bingung menghadapi Dorris yang sulit diajak bicara. Berada di situasi yang bisa kalian bayangkan sendiri seperti apa. Tadi itu refleks kakiku menendang alat kelaminnya tanpa basa-basi.

Sekarang apa? Dia menuntut maaf dariku?

Senyumnya terlihat dingin, tidak tulus, samar dan menakutkan. Karena saat ini dia berdiri di keremangan cahaya lampu, aku berpikir dia mungkin memiliki niat buruk padaku. Wajar saja. Tadi aku sudah sangat berlaku kurang ajar padanya.

"Apa perlu kubenturkan kepalamu agar kau mengingat siapa aku?" Dia tersenyum saat menanyakannya. Benar-benar tersenyum. Sungguh, sangat menakutkan.

"Aku memilih cara lain yang lebih aman untuk mengingatmu. Tolong katakan saja, di mana kita pernah bertemu?" Gawat! Pintar sekali aku berbohong. Apa kekacauan yang terjadi dalam hidupku membuatku jadi seperti ini?

"Mendekatlah," perintahnya pelan. "Biar kuberitahu."

Haruskah aku menurutinya? Kulihat sekelilingku. Sepi. Cuma ada beberapa orang di taman dalam jarak puluhan meter di sisi kananku, duduk di kursi roda dan didorong oleh pendamping mereka.

Mereka tidak melihat kami, mungkin. Di sekitar lorong juga hanya ada beberapa orang yang sesekali lewat. Mereka datang menjenguk, bukan pasien.

Saat aku berhenti meneliti keadaan, di situlah baru kusadari kalau dia sudah mendekat ke hadapanku, meski tadinya dia yang memerintahku.

𝐁𝐞𝐧𝐞𝐝𝐢𝐭𝐜𝐡 𝐇𝐚𝐫𝐥𝐨𝐰Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang