Sebuah Pengakuan

23 2 0
                                    

Memang salahku.

Pernah berpura-pura membencimu dengan harapan agar bisa meninggalkanmu dengan mudah. Memaksamu untuk turut membenciku, agar kau tak banyak tingkah menahan langkahku. Hingga setelah sekian purnama, kau sudah tiada lagi di kehidupanku. Kini malah aku yang merasa kehilangan kehadiranmu.

Memang salahku.

Aku patut mendapatkan balasan seperti ini. Kau menyebutnya sebagai apa? Karma? Oh, mungkin benar. Sebab kini sudah tiada kabar tentangmu, sedangkan aku terpuruk ketika waktu seperti ini tiba.

Bolehkah aku menghubungimu kembali?

Hanya untuk bertanya perihal “apa yang sudah kau dapat?” dan “apa yang harus kulakukan?”. Agar aku mendapat kepastian serta lebih bijak menyikapi perasaan ini. Tentu saja tak mungkin kulanjutkan, jika di sampingmu sudah ada seseorang yang kau anggap sebagai penggantiku.

Ah, aku terlalu pengecut.

Rasa ragu berbalut ketakutan yang menyurutkan semangatku. Sepertinya lebih baik untuk tak kuutarakan saja. Tetapi sungguh sama saja, ini tak mudah. Sebab pada sisi yang lain, kupikir, kau harus tahu bahwa aku rindu kebersamaan kita dahulu.

Sepenuh hati menyadari, tiada sedikit pun terpikir sebuah jalan sebagai solusi. Setiap keinginan memiliki rintangnya masing-masing. Ingin yang sulit diwujudkan, harap yang mungkin tak bisa dipahami bahkan oleh logika yang jernih sekalipun.

Kumohon untuk tak salah mengartikan, aku menulis panjang lebar seperti ini bukan berarti ingin bersama kembali. Aku hanya ingin kita memperbaiki apa yang pantas diperbaiki, seperti kabar yang pernah lenyap sekian lama bisa diperbaiki dengan kembali berbincang diselingi lelucon-lelucon lama.

Kita mampu baik-baik saja dengan perasaan yang biasa-biasa saja.

Saling memaafkan kesalahan tanpa lagi harus mengungkit-ungkit segala perasaan yang sudah selesai sejak lama. Mengubah kebodohan menjadi pelajaran, menyimpan setangkup penyesalan pada satu harapan: kembali bertemu dan membiaskan rindu.

Kemudian berjalan kembali menyusuri langit sore, ditemani sejuk angin yang mengalun dan memutarkan kembali kenangan tentang hal yang pernah kita lewati dahulu. Kita bahagia di sore itu, dan burung-burung di udara bertepuk tangan meriah.

Tidakkah kau rindu hal-hal seperti itu?

Tentang hal-hal konyol yang mengundang tawa riang dari sejuk udara malam. Yang lantas kegelapannya memisahkan kita, kemudian pagi kembali mempertemukan kita dengan perasaan yang masih dan akan tetap sama.

Ya, biarkan sedikit kukenang. Ingatan tentangmu yang akhir-akhir ini muncul, mungkin lebih baik untuk kutuliskan. Karena mengutarakan tak semudah merasakan.

Dari jauh, kutuliskan banyak kata untuk mengutarakan besarnya rasa rindu yang kerap hadir akhir-akhir ini. Tak ada yang lebih baik, selain sebuah harapan, semoga kau tahu dan bisa menghargai apa yang kurasakan saat ini.

________________________________
© Uu Padilah (2020)

DIALOGIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang