awal sekaligus akhir

12 0 0
                                    

Hei. Selamat pagi, selamat siang dan selamat malam. Tergantung langit mana yang menemanimu saat kau mulai membaca. Segala selamat ku persembahkan, tak terkecuali selemat tinggal. Ya, selamat tinggal sahabatku. Tapi Sebelum sang waktu benar-benar merampas bayangmu di dekapanku, bacalah sepucuk surat ini; yang kutuliskan untukmu seorang diri.

Sahabat. Aku sangat kesepian, sendirian dan terbelenggu di gelapnya malam. Tak banyak yang dapat ku lakukan di bawah angkasa yang gelap gulita ini. Tolong aku. Sudikah kau menolongku? Perihal pertolongan seperti apa, aku akan memberitahu jawabannya; pandanglah aku sebagai seorang wanita, bukan hanya sebatas teman biasa.

Apa yang kau pikirkan? Begitu sulitkah permintaanku itu? Nampaknya begitu.

Baiklah. Aku tak akan memaksa. Tapi tahukah engkau satu masa yang paling membuatku merasa kesepian? Jawabannya adalah malam. Saat bola panas raksasa benar-benar hilang digantikan oleh rembulan yang separuh tubuhnya tertutupi awan. Saat itulah aku tak bisa beranjak. Saat itulah kesepian memeluk tubuhku dengan erat. Malam seakan memaku diriku dengan bumi, tak membiarkan diriku berpaling walau hanya satu senti. Dan persis saat kepalaku mengadah, menatap langit gelap gulita, wajahmu terlukis indah disana dihiasi taburan bintang yang menyilaukan mata.

Tak lama setelah itu, wajahmu perlahan memudar digantikan dengan reka adegan saat kita bersama. Kau ingat ketika kita bernyanyi sepanjang malam, tak peduli suaraku seburuk apa, bernyanyi bersamamu tak pernah membuat diriku malu. Kau benar, adegan saat kau memetik gitar dan aku yang menggoyangkan badan menjiwai setiap lirik yang kita nyanyikan tergambar sempurna di angkasa sana. Seolah aku sedang menyaksikan sebuah film layar lebar. Satu tetes air mata jatuh. Betapa indahnya kebersamaan kita, kataku dalam hati.

Aku mengusap air mata yang kian membanjiri pipi, tapi saat kepalaku mengadah ke angkasa untuk kedua kali, adegan itu hilang, lenyap dalam sekejap saja. Mataku memejam lama, memikirkan kebersamaan kita yang begitu banyak. Namun dari sekian kebersamaan, Tuhan memutarkan adegan saat itu, saat aku mulai menyadari debaran pertama dengan kamu sebagai alasannya. Entah kau ingat atau tidak, tapi bagiku kenangan lama ini tak akan pernah bisa aku lupakan.

Saat itu, ditengah hutan antah berantah yang tak satupun orang melintas dijalanya, aku takut, sangat ketakutan. Menoleh ke kanan-kiri semuanya hanya menampakan pepohan saja. Suasana semakin mencekam ketika mentari benar-benar menghilang. Kini, hanya cahaya lampu motor yang terlihat disepanjang jalan menakutkan ini. Kau bertanya halus saat menyadari aku bungkam sedari tadi. "Kau takut?" Tanyamu yang langsung kujawab "tidak" bohongku saat itu.

Kita semakin memasuki hutan, bangunan benar-benar tak terlihat dimana-mana. Ketakutanku memuncak ketika suara-suara binatang malam mulai terdengar. Tanganku yang memegangi secuil jaketmu mulai terasa dingin, kaku. Aku tak tahu harus dengan cara apa menghilangkan rasa takut ini.

"Boleh ku masukan tanganku ke saku jaketmu?" Itu adalah pertanyaan bodoh yang aku ucapkan saat itu. Sungguh, aku tersenyum ngeri membayangkan raut wajahmu mendengar pertanyaan bodohku itu. Sampai kau tak menjawab, hanya mengangguk pertanda 'iya. Ketika tanganku tenggelam di saku jaketmu, aku menyadari satu hal; tanganku semakin dingin, ini bukan efek dari cuaca, ada yang tidak beres jauh di dalam lubuk hati sana.

Dan ketika jalanan menakutkan ini tak kunjung menemukan titik akhir, saat itu pula aku malah berharap jalanan ini benar- benar tiada akhir. Aku ingin terus seperti ini, mendengarkan setiap ceritamu, bertanya satu dua hal serta menikmati setiap hembusan angin yang membuatku tersipu malu. Saat itu, aku merasa menjadi orang yang paling bahagia di dunia. Satu pertanyaan muncul; apa aku mencintaimu?

Dan pertanyaan itu kian mendesak sebuah jawaban ketika kita menepikan diri sejenak di sebuah jalan sempit yang menyuguhkan pemandangan indah di bawah sana. Senja. Ya, senja tersaji dihadapan kita seolah ia turut berbahagia akan kebersamaan kita. Kita berdiri bersisian, menikmati udara yang semakin menusuk tulang. Hembusan angin membuat rambutmu bergoyang, namun tidak membuat senyummu pudar.

"Indah ya" katamu saat itu. Aku mengangguk setuju.

Senja kian menghilang, namun ada sesuatu yang baru saja muncul. Rasa yang tak pernah ada sebelumnya. Apa aku mencintaimu? Pertanyaan itu terlontar kembali dari lubuk hatiku

Sahabat, adegan kita tak lagi terlihat karena air mata yang berkumpul di kelopak mata. Aku menangis sembari tertawa. Adegan itu memang tak seromantis cerita novel-novel cinta. Namun bagiku, adegan itu sangat luar biasa hingga aku tak bisa lupa dan teringat setiap rinci kejadiannya.

Tawaku tak berangsur lama, sebuah adegan yang tak ku harapakan tiba-tiba berputar. Aku tak bisa beranjak, langit gelap gulita seakan memaksa untuk menetap. Dengan terpaksa, aku terus menatap langit, melihat adegan aku, kamu dan dia. Ketika kita berpapasan di sebuah jalan raya Yogyakarta. Senyumku terukir indah saat menyadari kamu ada di hadapanku. Saat aku berlari kecil hendak menghampirimu, langkahku terhenti ketika kekasihmu menghampirmu lebih dulu. Kakiku berat untuk melanjutkan langkah, namun senyummu berhasil menarik tubuhku sampai kini berada di belakangmu. Tak hanya di belakangmu, tapi juga di belakang dia, kekasihmu itu.

Saat kita hendak menyebrang, kau mengulurkan tangan. Dan tanpa perlu bertanya, aku tahu untuk siap tangan itu. Kau memegang tangannya dengan erat, menariknya agar mengikutimu sembari kau memastikan agar setiap kendaraan membiarkan kalian lewat. Aku terpaku, menatap tanganku sendiri dengan hampa. Kau berbalik, menyuruhku mengikutimu. Tapi tidak, aku tak bisa lakukan itu. Aku tetap terdiam hingga bayangmu dan dia menghilang. Ini sangat menyakitkan.

Sahabat, setelah melihat adegan itu aku berlari masuk kedalam kamar, mengunci pintu dari dalam. Kenapa malam begitu kejam? Kenapa ia membuatku mengingat suatu hal yang selalu ingin aku lupakan? Tubuhku bergetar menahan isakan. Namun ketika aku mencoba untuk lupa, bayanganmu dan dia semakin nyata. Dalam tangisku pun tawa kalian masih saja tersisa. Suara lembut manjanya yang dibalas oleh rayuan dan tawamu. Ah! Semua itu membuatku semakin tersedu.

Seringkali aku bertanya 'kenapa harus padamu aku menjatuhkan rasa? Kenapa harus kamu yang membuatku merasa istimewa? Kenapa harus kamu yang menciptakan cinta sekaligus duka? Kenapa harus kamu, sahabatku? Kenapa?'

Setelah menyadari perasaan ini, aku mulai takut akan pertemanan kita. Takut akan semua nantinya kau begini- nantinya kau begitu. Dari semua ketakutan itu, aku lebih takut jika kau perlahan menjauhiku karena ada orang lain yang lebih bertahta dalam hatimu. Maka, aku mengalah. Setiap kali kau tertawa, aku menahan agar detak jantung yang berdebar ini tak terdengar siapa-siapa dan dalam setiap tatap aku berusaha mengungkapkan rasa walau tak sekalipun kau memahaminya.

Kau mungkin bertanya "kenapa baru sekarang?" Jawabannya sederhana; aku benar-benar siap untuk segala kemungkinan. Kemungkinan kau membenciku, kemungkinan kau menjauhiku dan segala kemungkinan lain yang akan muncul seiring waktu.

Terimakasih dan maaf. Terimakasih selalu berbuat baik padaku. Dan maaf, seringkali ku salah artikan kebaikan itu.

Detik demi detik yang kau habiskan untuk membaca semoga tak berarti apa-apa. Lupakan segera setelah kau mengetahui semuanya. Ini hanya sebuah 'pengakuan' aku tak akan meminta balasan.

Semoga bahagia.
Sungguh, maafkan aku.

Maafkan AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang