PROLOG

110 5 12
                                    


"Sekar gambuh ping catur,

Kang cinatur polah kang kalantur,

Tanpa tutur katula-tula katali,

Kadaluwarsa kapatuh,

Kapatuh pan dadi awon."

Bait tembang macapat Gambuh yang dinyanyikan sang sinden malam itu seolah mengisyaratkan pesan bahwa ada yang tidak beres dengan kampung ini. Pesan yang mendalam tentang perilaku "kebablasan" dan telah menjadi kebiasaan yang berujung pada penderitaan serta memakan korban.

***

Malam ini adalah malam yang sangat dinantikan oleh warga kampung kami. Besok pagi akan diadakan "Nyadranan" sebagai bentuk syukur masyarakat atas rezeki yang diberikan oleh Tuhan Yang Mahakuasa atas terpenuhinya semua kebutuhan air di kampung ini.

 Besok pagi akan diadakan "Nyadranan" sebagai bentuk syukur masyarakat atas rezeki yang diberikan oleh Tuhan Yang Mahakuasa atas terpenuhinya semua kebutuhan air di kampung ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


(Nyadranan sumber: google)

Seperti biasa pendopo rumah Ayah sebagai Kepala Desa akan disulap menjadi panggung sederhana. Seperangkat gamelan tertata rapi di salah satu sudutnya. Acara Pesindhén selalu dinanti sebagai hiburan masyarakat kampung ini, maklum desa kami jauh dari keramaian kota. Biasanya acara itu diadakan, setelah makan bersama seluruh penduduk desa, di halaman rumah kami.

Namun, terasa ada yang beda dengan sinden yang akan membawakan deretan tembang yang sudah dinanti penduduk kampung malam ini. Ada tiga orang cantik duduk di belakang deretan wiyaga—para penabuh gamelan, padahal biasanya hanya dua.

"Ayah, itu siapa yang sedang bersiap nembang?" tanyaku sambil menggandeng tangan Ayah yang sibuk memandang ke sana-sini, untuk memeriksa kesiapan acara malam ini.

"Oh, Mbak Laras ya, Yah?" lanjutku terperangah melihat perempuan ayu berbalut kebaya hijau.

"Iya, manglingi ya? Benar itu Mbak Laras," jawab Ayah sambil tersenyum dan mengusap rambutku.

"Itu sopo, Wi? Ayu tenan." Sebuah suara serak yang sangat kukenal, mengagetkan aku dan Ayah. Pakde Danu—kakak kandung Ayah yang tinggal di kampung sebelah, tiba-tiba sudah berdiri di samping Ayah, sambil menunjuk ke arah Mbak Laras yang sudah mulai nembang

"Laras, Mas. Njenengan dah tiba toh, ayo monggo ke dalam ngunjuk dulu!" Ayah mengajak Pakde Danu sambil menjabat tangannya.

"Sik, tho. Aku mau menikmati suara indah dari wajah baru ini." Pakde Danu mengabaikan ajakan Ayah, sambil matanya tidak lepas menatap ke arah Mbak Laras.

Ayah hanya tersenyum menanggapi tingkah kakaknya itu. Seketika itu, aku merasa tidak suka. Melihat Pakde Danu yang menatap aneh kepada Mbak Laras, membuatku serasa ingin marah.

"Mas Danu nginep kan, ya?" tanya Ibu sambil menghidangkan secangkir teh hangat, sesaat setelah Pakde Danu duduk di ruang tamu.

"Iya, ya. Sekalian besok menghadiri Nyadranan kampung kami," sahut Ayah menimpali.

"Emm, iya." Pakde Danu menjawab sekilas sambil menyeruput teh hangat yang disajikan Ibu bersama setoples alen-alen, makanan khas kampung ini.

"Laras itu sopo, Wi?" Pakde Danu masih belum bisa beralih dari topik itu.

"Oh, dia itu salah satu mahasiswi yang sedang KKN di kampung ini. Kenapa? Ojo macem-macem lah, Mas. Inget anak-anak."

"Loh Mas Danu sudah ketemu Nak Laras, kapan? Di mana?" Ibu menimpali sambil ikut nimbrung duduk di samping Ayah.

"Tadi, Mas Danu pirso pas Laras nembang di panggung." sahut Ayah.

"Iyo, tadi yang pakai kebaya ijo itu, ayu tenan je." Senyum sinis tersungging dari bibirnya.

"Dua minggu lagi, hajatan Larungan di kampungku. Aku bisa nyewa Laras, Wi?" Sebuah pertanyaan dengan nada memaksa dia ajukan kepada Ayah, dan seperti biasa Ayah sulit untuk menolaknya.

 Aku bisa nyewa Laras, Wi?" Sebuah pertanyaan dengan nada memaksa dia ajukan kepada Ayah, dan seperti biasa Ayah sulit untuk menolaknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Larungan sumber: google)

Lalu Pakde Danu malam itu jadi menginap di rumahku. Entah kenapa ada perasaan tidak tenang yangmenghampiriku, saat aku berada di dekat Pakde Danu.

Pagi harinya sebelum acara Nyadranan berlangsung, Pakde Danu terlihat di paviliun sedang bercakap-cakap dengan Mbak Laras. Pemandangan itu, entah kenapa sangat mengusik pikiranku.

"Dhiko, sini!" Pakde Danu menyadari kehadiranku.

Spontan aku menggerakkan kaki, mengingkari logikaku yang berontak ingin menjauh dari Pakde Danu, tetapi entah mengapa hati nuraniku mengontrol seluruh tubuhku. Seolah-olah ada kekuatan kuat yang berbisik, dan memberiku titah bahwa aku harus melindungi perempuan itu, Larasati.

Aku tidak pernah menyadari bahwa kegundahanku hari itu, adalah sebuah firasat yang sampai kepada seorang anak berumur lima tahun, yang kelak membuatku—Andhiko Wicaksono berurusan kembali dengan masa lalu yang membawa petaka kelam dalam kehidupan kami.

Catatan:

Sekar gambuh ping catur,
(Tembang gambuh keempat)
Kang cinatur polah kang kalantur,
(Yang dibicarakan tentang perilaku yang kebablasan)
Tanpa tutur katula-tula katali,
(Tanpa nasihat terjerat penderitaan)
Kadaluwarsa kapatuh,
(Terlanjur menjadi kebiasaan)
Kapatuh pan dadi awon.
(Kebiasaan bisa berakibat buruk)

- manglingi = membuat pangling

- sopo = siapa

- ayu tenan = sangat cantik

- njenengan= sebutan kamu dalam Bahasa Jawa halus

- monggo= silakan

- ngunjuk= minum

- pirso= melihat


The CallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang