BAB III: KARANG REJO DESA LELUHUR

11 0 0
                                    

Semilir angin berembus dari laut lepas. Dua ekor camar terlihat terbang di langit cerah yang tampak biru tanpa awan. Gemerisik ombak menggesek pasir putih di pantai, membawa alunan kisah tersendiri. Semua terasa nyaman dan damai di kampung ini, membuat siapa pun betah dan ingin tinggal berlama-lama di sini.

Karang Rejo adalah sebuah desa asri pada sebuah teluk di pesisir pantai selatan. Memiliki wilayah yang sangat luas, terbagi menjadi tiga wilayah besar, yaitu wilayah pinggir, tengahan, dan wilayah selatan.

Wilayah pinggir merupakan merupakan dataran tinggi, berupa perbukitan dan pegunungan, wilayah tengahan adalah dataran rendah berupa lembah-lembah sebagai pusat hunian masyarakat. Di tengahan sinilah seluruh aktivitas kehidupan sosial kemasyarakatan dan pemerintahan berjalan. Sedangkan wilayah selatan adalah daerah yang diukur dari garis lepas pantai hingga tengah laut selatan yang diyakini sebagai wilayah kekuasaan Kanjeng Ratu.

Dua puluh tiga rumah penduduk berbaris rapi mengikuti lengkungan bibir pantai selatan ini. Sementara di ujung jalan kampung yang membelok agak naik ke arah bukit pebukitan, berdirilah sebuah rumah khas peninggalan zaman penjajahan. Rumah kayu jati dengan daun pintu dan jendela yang tinggi itu adalah rumah Ndoro Sastro Direjo sesepuh dan pempimpin di kampung wilayah tengahan ini.

"Sugeng enjang, permisi Ndoro," sapa beberapa ibu-ibu yang hendak ke pemandian umum.

"Yo, monggo-monggo," sahut sosok gagah bertopi bulat putih khas Belanda itu.

Dia memarkir sepeda ontelnya tak jauh dari tempatnya berdiri. Pria setengah baya itu terlihat sedang menikmati embusan angin pantai, sambil menatap lepas ke arah tanjung sebelah timur, bukit yang menjorok ke pantai itu tampak sangat indah sebagai siluet gelap saat mentari perlahan muncul.

"Sugeng enjang, Ndoro." Dua orang laki-laki turun dari sepedanya untuk memberi salam kepada Ndoro Sastro Direjo, sesepuh desa ini.

Masyarakat di wilayah tengahan ini bermata pencarian sebagai nelayan. Mereka hidup cukup, berkat hasil laut selatan yang melimpah. Di bawah kepemimpinan Ndoro Sastro Direjo, keturunan ketujuh dari seorang Tumenggung jaman kerajaan Mataram, kehidupan di desa ini terasa aman dan nyaman. Selayaknya perkampungan nelayan, kesibukan mereka berbeda dengan desa lainnya. Riak keramaian akan terjadi pada dua waktu tertentu, yaitu kala senja menjelang, saat para pria di kampung ini akan bersiap melaut. Suasana pantai akan ramai dengan para nelayan yang bersiap, lalu akan senyap kembali saat semua kapal sudah berangkat melaut.

"Oh, Mas Giman, Kang Tejo. Sudah mau berangkat ke kantor, tho?"

"Njih, Ndoro."

"Yo wes, monggo, nanti saya nyusul. Mau mampir ke pasar ikan dulu."

Kemudian dua orang itu berlalu ke arah kantor desa, sedangkan Ndoro Sastro Direjo mengendarai sepedanya ke arah sebaliknya, pasar ikan.

Saat sang fajar mulai menyapa bibir pantai dan sejuknya malam berganti dengan hangatnya pagi hari, pantai akan berubah menjadi ramai kembali. Para istri menyambut kepulangan sang pencari rezeki. Wajah-wajah lelah yang baru turun dari perahu, akan disambut oleh senyum lega keluarga. Bersama segelas teh hangat dan singkong rebus, sebagai temannya mereka berbagi senyum hangat penuh rasa syukur akan hasil tangkapan dari laut malam itu.

Kemudian kesibukan akan bergeser ke pasar lelang ikan, di mana para ibu sudah berjajar menunggu hasil tangkapan yang akan mereka beli untuk dimasak. Tak jarang para tengkulak dari kota juga ikut ramai bersaing lelang demi mendapatkan ikan dengan harga rendah dan akan mendatangkan keuntungan, bila membawa ikan-ikan itu ke kota. Riuh rendah suara para pembeli sedang menawar dan penjual yang bertahan dengan harga yang mereka tawarkan, ditingkah debur ombak yang tak kalah ramainya.

"Bagaimana, ada berita apa, Yu?" Sambil menikmati segelas teh hangat di warung Yu Rum, Ndoro Sastro Direjo akan mengumpulkan informasi tentang warganya.

"Ndak banyak, Ndoro. Cuma kabarnya hari ini ada tengkulak baru yang datang dari kota," sahut Yu Rum.

"Masih aman, kan? Harga ikan gimana?" lanjutnya sambil menikmati ketan goreng hangat.

"Aman, Ndoro. Harga masih stabil, selama pasokan ikan melimpah."

"Warga, aman?"

"Eh anu, kemarin ada renternir yang mau dikeroyok warga, gara-gara berbuat kasar sama Juminten."

"Sopo kui? kok saya baru mendengar." Dia menghentikan aktivitasnya demi mendengarkan laporan Yu Rum dengan seksama.

"Juminten itu anak Lik Di, rumahnya di sebelah langgar Ndoro, dia baru pulang dari kota."

Dari jauh terdengar deruman motor vespa yang berhenti di depan warung Yu Rum.

"Bapak, aku sama Mas Danu mau berangkat sekolah," ucap anak lelaki yang berseragam SMP.

"Yo, Le. Sing rajin yo," sahut Ndoro Sastro Direjo sambil mengangsurkan tangannya.

"Pak, berangkat, ya. Ayo, Wi buruan!" Danu menyerobot tangan bapaknya dan menciumnya sambil berlalu.

"Wah, mereka berdua beda karakter, nggih, Ndoro." Yu Rum setengah berguman sambil menggelengkan kepala, sesaat setelah bayangan kedua anak Ndoro Sastro Direjo hilang di belokan jalan.

"Iyo, Yu. Sangat berbeda. Yo wes aku pamit dulu, ." Ndoro Sastro Direjo bangkit dari bangku panjang tempat duduknya, sambil mengambil topi bulat putih sebagai ciri khasnya.

Kemudian lelaki yang sangat disegani di Karang Rejo ini mendorong sepedanya melewati kerumunan warga di pelelangan ikan. Sengaja sepeda itu tidak dia naiki agar bisa menyapa para warga yang sedang beraktifitas di pelelangan ikan. Tak henti-hentinya dia menyahuti salam dan sapa dari warganya dengan senyuman ramahnya.

Kemudian semua rutinitas itu akan kembali normal setelah jam sepuluh pagi. Keramaian yang semula membahana akan segera menyepi setelah semua transaksi yang terjadi di pasar ikan itu selesai. Para penjual dan pembeli telah kembali ke rumah masing-masing. Mobil para tengkulak pun satu per satu telah meninggalkan parkir pasar ikan. Tinggallah para ibu yang sibuk menjaga ikan asin yang dijemur sepanjang jalanan desa yang membentang sepanjang bibir pantai. Suasana menjadi sunyi kembali.

Desa Karang Rejo tepat berada di bibir Pantai Selatan dan memang menghadap pantai, seakan-akan pantai dan laut lepas adalah tetangga bagi mereka. Penduduknya pun merasa aman dan tenteram hidup menggantungkan berkah dari lautan. Demikianlah selama turun-menurun mereka lalui dalam tenang, bersama berbagai macam tradisi yang diwarisi dari leluhur. Ritual-ritual mistis yang menghubungkan mereka dangan Kanjeng Ratu penguasa Pantai Selatan yang dipercaya melindungi dan memberikan limpahan rejeki kepada desa ini.

Kepercayaan kejawaen yang diyakini seluruh warga secara turun-temurun, membuat ikatan maya itu menjadi semakin erat adanya. Ada berbagai hal yang harus dipenuhi sebagai syarat pengabdian yang terkadang memakan korban tanpa mereka sadari. Hanya beberapa orang tua yang memiliki ikatan khusus dengan kehidupan gaiblah yang mengerti apa sesungguhnya yang terjadi di desa ini dari waktu ke waktu.



Catatan :

Sugeng enjang: Selamat pagi

monggo-monggo: mari-mari

Njih/ nggih: ya

Yo wes, monggo: ya, sudah silakan

Sopo kui: siapa itu

Yo, Le: Ya, Nak

matursuwun, yo: terima kasih, ya

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The CallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang