BAB II: DIALOG DENGAN AYAH

33 1 0
                                    


Andhiko memperlambat laju mobilnya saat mendekati rest area KM-47, perlahan dia menepi ke jalur sebelah kiri. Sebuah jam digital besar di atas pompa bensin menunjukkan pukul 23.36, pantas saja matanya sudah mulai terasa berat. Handphone yang dikantonginya bergetar saat dia memberikan uang kepada petugas pompa bensin yang telah selesai mengisi penuh tangki SUV-nya.

Sebuah pesan baru dari bundanya. Seketika Dhiko menekan tombol panggil di layar ponselnya, sesaat setelah memarkirkan mobilnya di depan musala di rest area ini.

"Assalamualaikum, Bund ...."

"Ya, Le. Kamu di mana?" Bunda masih saja memanggil Dhiko dengan panggilan kesayangan, Le.

"Masih di rest area Bund, Ayah gimana?"

"Ayahmu rapopo, Jangan terlalu kepikiran, ya." Bunda berusaha menyembunyikan sesuatu, "sing ati-ati nyetire yo, Le," lanjutnya dengan nada sesak terdengar menahan tangis.

Selepas mengerjakan salat, Andhiko mengarahkan mobilnya ke bagian barat rest area ini. Dia melewati sebuah drive thru, penyedia kopi kemasan yang sangat ternama. Segelas kopi hangat berukuran large dia terima dari customer service yang ramah. "Ini akan menjadi teman andalanku," pikirnya. Sebab masih butuh satu jam perjalanan lagi dari sini.

Meninggalan rest area, Dhiko mulai menaikkan kecepatan mobilnya. Jalur tol ini terasa semakin sepi. Andhiko coba menyalakan audio player, kali ini Dhiko mendengarkan FM radio, hanya demi mencari teman perjalanan. Sebuah lagu lama kesukaan Ayah dan Bunda diputar manis dari salah satu chanel. Tanpa terasa Andhiko terhanyut dalam suasana, dia teringat lagu itu sering diputar di rumahnya saat dia masih kecil.

Jalanan terasa menanjak memasuki Km 90. Mendadak gerimis datang, "Ah, musim hujan sudah mulai tiba, rupanya." Andhiko membatin sambil menatap lekat keluar. Beberapa lampu jalan mati, dia pun menurunkan laju mobilnya. Dan tiba-tiba,

"Tutur bener puniku,

Sayektine apantes tiniru,

Nadyan metu saking wong sudra papeki,

Lamun becik nggone muruk,

Iku pantes sira anggo."

Suara lagu dari radio FM berubah seketika, membuat Andhiko terlonjak kaget di tempat duduknya. Ada perasaan aneh menjalar ke tengkuknya, merinding seolah-olah ada hembusan angin dingin menerpanya. Surat An-Nas dirapalkan dalam hatinya. Entah mengapa Andhiko justru surat ke-114 itu yang selalu bisa membuat hatinya kembali tenang.

Lima menit yang terasa sangat lama, seiring perasaan de-javu ke masa kecilnya membuat Andhiko hampir saja kehilangan kendali setir mobilnya. Beruntung panggilan video dari Nindya, adiknya membuatnya sadar seketika.

"Assalamualaikum, Mas, dah sampai mana?"

"Walaikumsalam, opo, Nduk?" Perasaan Dhiko tenang melihat kelucuan wajah adiknya yang terlihat menahan kantuk, "Ini, lima menit lagi keluar tol," lanjutnya.

"Emm, Bunda bilang, Mas Dhiko langsung ke rumah saja, malam ini."

"Trus, Ayah siapa yang jagain?" Dhiko menyahut.

"Ada Om Lukito dan Rendi, Mas," jawab Nindya sambil menguap, "Bunda juga ada di rumah kok," lanjutnya.

"Yo wes, Mas langsung ke rumah, ya." Andhiko menutup sambungan panggilan video dengan adiknya.

***

"Mas, tadi Mbak Nissa WA ke aku, nanyain Mas Dhiko dah sampai belum." Nindya meletakkan segelas teh hangat di meja.

The CallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang