Bab 2

32 9 1
                                    

Cahaya lampu yang menyilaukan melukai mataku yang terpejam. Aku memaksa kelopak mataku untuk terbuka. Yang kulihat pertama kali adalah sebuah lampu besar mewah tergantung di langit-langit dengan cahaya yang menyilaukan. Aku mencoba untuk duduk dengan sisa tenaga yang kumiliki. Kepalaku terasa sakit dan sekujur tubuhku terasa sangat lemas dan juga perih.

Aku lantas menyentuh dadaku, di mana tempat jantungku sedang berdetak layaknya manusia hidup. "Aku masih... hidup?" Seingatku malam itu seharusnya aku mati tertabrak, bagaimana mungkin aku masih bisa hidup sekarang.

Kemudian aku menatap sekeliling dengan bingung. "Di mana aku?" Sebuah kamar dengan dekorasi mewah mengelilingi diriku. Aku tidak mengenal ruangan ini sama sekali. Bergegas beranjak dari tempat tidur lalu berlari kecil menuju jendela untuk mencari jawaban.

Mataku melotot sempurna, perasaanku kacau saat sinar bulan menerangi malam saat itu. Bibir, tenggorokan, bahkan pikiranku tandus saat melihatnya.

Bangunan klasik dengan pencahayaan remang lampu, juga lukisan dan dekorasi yang ada di kamar ini. Tidak salah lagi, aku berada di Zaman Eropa abad ke sembilan belas.

Suara pintu terdengar. Aku merespon cepat dan menangkap seorang laki-laki dengan pakaian ala Ksatria di buku dongeng sedang menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Yang Mulia Putri Felysia." Kata laki-laki itu.

Aku tertegun. Mataku menatap gugup kepadanya.

Mengapa dia memanggilku dengan sebutan mewah seperti itu?

Kulihat jika dia berjalan menuju ke arahku. Refleks aku mengambil langkah mundur, namun balkon jendela menghalangi jalan.

"Sepertinya anda sudah sadar." Dia berkata lagi.

"Jangan mendekat!" Seruku. Aku menatapnya curiga. Tetapi laki-laki itu tidak mendengarkan. "Kubilang jangan mendekat!"

Dia meraih tangan kananku yang bebas dan menciumnya dengan lembut. Mengembalikan memori lama yang sempat terlupakan dan akhirnya aku sadar siapa laki-laki ini.

"Apakah kau..." Aku berucap ragu.

"Bagaimana perasaan anda, Tuan Putri?" Dia menunjukkan senyum tipisnya. "Apakah tidur anda nyenyak?"

"Di mana ini?" Aku bertanya. "Katakan yang sebenarnya, seharusnya aku sudah mati, kan?" Namun laki-laki ini tidak menjawab pertanyaanku melainkan terus menunjukkan senyumnya.

Aku merasa canggung. Mungkin menjawab pertanyaan bukanlah hobinya.

"Ah, tolong maafkan saya, Yang Mulia." Dia membungkuk sopan kepadaku. "Izinkan saya untuk menjelaskan."

"Ya, anda memang mengalami kecelakaan. Dan sekarang Tuan Putri Felysia sedang berada di perbatasan antara kehidupan dan kematian." Laki-laki itu menjelaskan.

Aku tidak bisa terus mengedipkan mataku dengan benar. Masalahnya adalah aku terkejut mendengar kenyataan yang baru saja dikatakan laki-laki itu. "Tunggu, apa?" Atmosfer disekitar sini menjadi tipis.

"Maksudmu aku sedang koma?"

"Begitulah," dia berjalan menuju pintu. "Tempat ini ada karena jiwa manusia masih tersesat oleh keinginannya. Dan tempat ini hanya ditunjukan untuk orang yang belum pasti akan kehidupannya dan kematiannya."

Rasanya lututku mulai melemas. Aku jatuh duduk di tempat kemudian menatap lantai dengan kosong. "A-apa aku akan mati?"

"Jangan khawatir, saya sudah menarik jiwa anda keluar dari tubuh anda. Saya bisa memasukkan kembali jiwa anda ke dalam tubuh anda."

"Tetapi tidak sekarang," lanjutnya.

Aku menatap laki-laki itu penuh harap. "Sungguh?" Laki-laki itu hanya tersenyum menatapku.

Dia membantuku untuk kembali berdir. Kakiku bergetar karena lemas, dan dia menahanku tubuhku dengan sabar.

"Hei, apakah anda malaikat pencabut nyawa?" Suaraku mencicit.

Kulihat jika dia menatapku terkejut. Dia terdiam untuk waktu cukup lama, sampai aku tidak sabar untuk menunggu, akhirnya ia membuka mulut. "Anda bisa menganggapku seperti itu."

Saat kakiku sudah tidak bergetar lagi dan mampu untuk menopang tubuhku sendirian, ia melepaskanku dan mempersilakan seorang perempuan dengan pakaian pelayan yang sangat cantik.

Pelayan itu membungkuk sopan dan memperkenalkan dirinya dengan nama 'Mary'.

"Kalau begitu saya pamit untuk undur diri, Tuan Putri." Laki-laki itu berbalik dan pergi meninggalkan aku dengan pelayan cantik itu.

"Tuan putri, izinkan pelayan ini mempersiapkan anda untuk acara makan malam." Suaranya terdengar merdu seolah sedang menyanyikan lullaby.

Aku menatapnya canggung. Bahkan ketika aku ingin mati, aku masih memiliki seorang pelayan cantik yang akan melayaniku. Aku menunduk sedikit. "Mohon bantuannya."

•••

"Semua orang sedang menunggu anda, Tuan Putri. Makan malam serta perjamuan karena Tuan Putri Felysia telah kembali."

Aku tertegun terhadap kata-katanya. Apa maksudnya dengan "semua orang" . Berapa banyak orang yang telah menungguku untuk kembali? Tunggu, sebelum itu, apa maksud dari "Tuan Putri Felysia telah kembali" ? Bukannya memang dari awal aku tidak pernah menginjakan kaki di dunia perbatasan ini?

Setelah itu Mary membantuku untuk berdandan. Dengan kaca perunggu sebagai media membantuku untuk melihat wajahku yang tampak berbeda. Bibirku tidak lagi pucat seperti sebelumnya, rona merah sudah menghiasi pipi yang berisi itu, dan untuk gaya rambut di sesuaikan dengan zaman ini.

Aku sedikit terkesan. Pasalnya diriku yang dulu mungkin tidak akan secantik sekarang ini.

"Itu... aku?" Aku berkata takjub saat melihat rambutku ditata dengan gaya elegan.

"Tentu saja, Tuan Putri. Apakah anda menyukainya?" Mary menata rambutku dengan hati-hati.

Aku mengangguk kecil. "Ya, terima kasih, Mary." Mary menolongku untuk berdiri dan masih meluruskan lekukan lusuh gaun biru yang kupakai ini. Aku memperhatikan setiap garis, gaun ini memang mirip dengan Zaman Eropa abad sembilan belas, terlihat kuno tetapi masih terkesan mewah dan juga elegan. Aku tidak terlalu mengerti dengan alam perbatasan ini. Kemungkinan mereka menyukai budaya Eropa.

Mary menuntunku menuju ruang makan. Setiap lorong diberi pilar besar yang berdiri dengan kokoh untuk menjaga agar bangunan dapat berdiri dengan jangka waktu yang lama. Kemudian Mary membukakan sebuah pintu besar untukku dan mempersilakan diriku untuk masuk seorang diri.

Kulihat jika sekitar delapan orang sudah duduk di sana sambil mengobrol santai, kadang mereka akan tertawa lantang, dan bersulang dengan cairan ungu yang akan tumpah kemana-mana.

Seorang pria sepertinya menyadari keberadaan diriku. Dia segera beranjak dan membungkuk sopan kepadaku. "Yang Mulia, Putri Felysia, selamat datang." Ketika dia berbicara seperti itu, maka semua pandangan kini teralihkan dan segera menatapku dengan tatapan penuh arti.

Aku mengangguk canggung dan dipersilakan untuk duduk.

Makanan di sini terasa sangat enak. Aku bahkan sempat ketagihan dan akhirnya mulai menahan diri karena malu. Seorang pria yang tidak ku kenal tiba-tiba berdiri, sepertinya dia telah mempersiapkan pidatonya.

"Yang Mulia, Putri Felysia, terima kasih sudah hadir di perjamuan malam ini!" Dia mengambil gelas miliknya yang sudah dipenuhi oleh cairan berwarna ungu. "Mari kita bersulang untuk kepulangan Putri Felysia dan berdoa agar sang Putri diberikan umur panjang."

Semua orang yang berada di ruangan itu tiba-tiba mengangkat gelas mereka tinggi-tinggi, kemudian menatapku heran karena tidak ikut mengangkat gelas. Aku merasa canggung, tetapi aku tak mungkin meminum cairan ungu itu. Aku bahkan tak tahu apa sebenarnya cairan ungu itu. Tetapi terus di lihat seperti ini malah membuatku semakin merasa tidak nyaman. Kemudian aku ikut mengangkat gelasku tinggi-tinggi dengan ragu dan berkata "bersulang" sampai tiga kali.

"Hidup Putri Felysia!" Semua orang bersorak hore, layaknya telah memenangkan sebuah hadiah yang besar.

Aku tak mengerti dengan pembicaraan mereka. Mereka berbicara seolah aku adalah Putri asli dari dunia perbatasan ini.

Sweet DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang