Bab 2

10 2 0
                                    

"Menemukanmu merupakan kebahagiaan. Maka, teruslah hadir meski hanya melalui mimpi."


"Kau yakin, Queen?" tanya seorang laki-laki berbaju merah emas dengan mahkota menempel di kepalanya.

"Tentu, Yang Mulia. Kita terlalu gegabah." Sang istri duduk, menghela napas.

Berita menghilangnya Putri Machiavell begitu hangat diperbincangkan. Para bibir peraup keuntungan itu seolah mendongengkan kesulitan Skyvarna dalam menangani orang yang membawa kabur Liliana Tabitha.

"Menurutmu siapa yang melakukan ini?" Elleinder tampak mengerutkan kening bukan karena protes rakyat yang dipenuhi kata bagaimana dan mengapa. Rasa puas Raja Skyvarna itu menghilang dalam sekejap, sejak tercetus bahwa Ana bukanlah dalang pemberontakan sesungguhnya dari bibir Evellyn.

"Kita harus mengkaji ulang, Yang Mulia. Jika tidak, korban lain akan berjatuhan." Ratu Skyvarna menyilangkan kaki dan mengetuk-ngetuk kening.

Bahkan, ini baru tiga hari.

"Bagaimana kalau itu Viscount sendiri? Maksudku ... bisa jadi ia mencoba memutarbalikkan fakta." Tangan lelaki bermata hitam itu menunjuk ke muka cantik di hadapannya.

Itu terlalu sulit. Bagaimana bisa seorang ayah mengorbankan putrinya demi kepentingan pribadi? Padahal, Ana juga pernah berteriak membenci Elleinder dan akan menghancurkan Skyvarna. Lalu mengapa ia hanyalah kambing hitam? Beribu pertanyaan terus bersliweran di kepala Raja dan Ratu. Mereka memilah dan memilih dokumen asli kasus tersebut.

Evellyn Windsor tidak berkata tanpa bukti. Grissham memata-matai keadaan Machiavell. Dan dari sanalah mereka memergoki sekelompok kecil pemberontak yang merencanakan hal buruk pada kerajaan.

Istri Raja itu tak ingin lagi berbuat sembrono. Ia perlu menilik akar penyebabnya.

"Haruskah kita menyusupkan orang lain ke sana?" cetus Elleinder tiba-tiba.

Evellyn menatap dalam-dalam mimik muka sang suami. Menunggu matahari terbenam di balik kecemasan, keduanya wajib memutuskan siapa yang semestinya menyelinap.

"Ide bagus. Namun, cukup berisiko." Ratu Windsor itu berbicara pada dirinya sendiri. Umpan siap dilempar. Kecuali, rencananya jelas memerlukan persetujuan seorang Henry Bardolf.

Dan di sini-lah Ana palsu-Samantha Oswald berada.

"Anda sudah sampai, My Lady."

Gadis yang duduk di dalam kereta mendongak keluar. Melihat celah gelap dan sempit menuju arah hutan. Ini terlampau gila, batin Sam. Ia lelah dan terpuruk akibat perkataan Henry tujuh menit yang lalu.

"Segalanya hanyalah simpatik. Jangan sangkut pautkan diriku dengan rencanamu." Lelaki satu ayah beda ibu dengan sang raja itu, menepis kebahagiaan di mata Samantha. "Pergilah menuju Machiavell. Selesaikan misimu dengan baik."

Ingin sekali Sam melontarkan serentet umpatan. Sayangnya, perasaan miliknya berbaur dengan Ana. Ia berusaha menyeimbangkan.

"Sampaikan salam terima kasihku untuk Yang Mulia Ratu." Sehabis berkata demikian, gadis beraroma lavender itu berlarian kecil menembus dinginnya hutan. Peluhnya membanjir deras. Tak diindahkan setiap koyakan yang mendarat di gaun dan tubuhnya. Untunglah, ini bukan musim dingin.

Mengenakan gaun lusuh penuh aroma karat, sungguh membuat perut Sam terasa diaduk-aduk. "Henry, Sialan! Hiks ... aku ingin pulang," gumamnya dalam tangis.

Tak ada yang mendengar ataupun memedulikan. Hidup di masa lalu membuatnya trauma. Ia rindu kenyamanan rumah Oswald. Kasur tinggi yang menawarkan kelembutan seusai bekerja dan ribuan barang siap pakai yang akan datang hanya dengan satu tombol.

Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang