1. Hukum Shalat Dhuha

415 18 0
                                    

1. Hukum Shalat Dhuha

     Shalat Dhuha hukumnya sunnah muakkadah (sangat ditekankan). Hal ini karena Nabi ﷺ melakukannya dan memberikan petunjuk dan bimbingan kepada para Sahabatnya untuk melakukannya. Beliau juga mewasiatkan shalat ini, sedangkan wasiat kepada seseorang sama kedudukannya dengan wasiat kepada seluruh umatnya, karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa wasiat itu khusus bagi seseorang tersebut saja. Wasiat ini terdapat dalam hadits Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu, ia berkata, "Kekasihku ﷺ berwasiat kepadaku tiga hal. [Aku tidak akan meninggalkannya sampai mati]: Pertama, puasa tiga hari pada setiap bulan (ayyaamul bidh). Kedua, dua raka'at Dhuha. Ketiga, witir sebelum tidur."

     Juga berdasarkan hadits Abud Darda' radhiyallaahu 'anhu, ia berkata, "Kekasihku ﷺ berwasiat kepadaku dengan tiga hal yang tidak akan aku tinggalkan sepanjang hidup: Pertama, puasa tiga hari dari setiap bulan. Kedua, shalat Dhuha. Ketiga, tidak tidur sebelum melakukan witir terlebih dahulu."

     Aku mendengar al-Imam 'Abdul 'Aziz bin 'Abdillah bin Baaz rahimahullaah berkata, "Kedua hadits ini shahih, dan menjadi dalil yang tegak, yang menunjukkan disyari'atkannya shalat Dhuha. Juga menjadi dalil bahwa hukumnya sunnah mu-akkadah. Hal ini karena wasiat kepada seseorang sama dengan wasiat kepada seluruh ummat, tidak dikhususkan bagi seseorang saja. Demikian pula apabila Nabi Muhammad ﷺ memerintahkan atau melarang sesuatu. Jadi hukumnya berlaku umum, kecuali apabila ada kekhususan, semisal beliau ﷺ bersabda: "Ini khusus untukmu." Dan memang Nabi ﷺ terkadang tidak melakukannya, namun hal ini tidak menggugurkan kesunnahannya. Terkadang Nabi ﷺ melakukan sesuatu untuk menunjukkan kesunnahannya dan terkadang Nabi ﷺ meninggalkan sesuatu itu untuk menunjukkan bahwa hal itu tidak wajib, melainkan hanya sunnah.

     Setelah menyebutkan hadits-hadits tentang shalat Dhuha, Imam an-Nawawi rahimahullaah menegaskan bahwa shalat sunnah Dhuha hukumnya sunnah mu-akkadah (sangat ditekankan). Ia berkata, "Hadits-hadits ini seluruhnya disepakati, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahli tahqiq."

     KESIMPULANNYA:
     Shalat sunnah Dhuha hukumnya sunnah mu-akkadah (sangat ditekankan).

     Yang benar adalah: Menjadikan shalat Dhuha sebagai kebiasaan yang dirutinkan adalah sunnah mu-akkadah. ¹

     Mengapa sunnah mu-akkadah? Karena ada wasiat Nabi ﷺ untuk mengerjakannya, dan karena Nabi ﷺ menjelaskan keutamaannya, dan Nabi pun melakukannya, sebagaimana hadits 'Aisyah radhiyallaahu 'anha ketika ia ditanya tentang jumlah raka'at shalat Dhuha yang dilakukan Nabi ﷺ. Ia berkata, "Empat raka'at. Lalu dia menambahnya sebagaimana dikehendaki Allah." Dalam riwayat lain, "(beliau menambah) sekehendaknya." ²

|•|•|•|

¹ Ada beberapa hadits yang datang dari 'Aisyah radhiyallaahu 'anha.
Pertama: Bahwa 'Aisyah radhiyallaahu 'anha berkata, "Aku tidak melihat Nabi ﷺ shalat sunnah Dhuha sama sekali. Akan tetapi aku melaksanakannya, padahal Beliau menyukainya. Beliau ﷺ lakukan demikian karena khawatir orang-orang melaksanakannya, lalu difardhukan kepada mereka." [Al-Bukhari (no. 1228) dan Muslim (no. 718)].
Kedua: Hadits 'Aisyah radhiyallaahu 'anha ketika ia ditanya, "Apakah Nabi ﷺ melaksanakan Dhuha?" Ia menjawab, "Tidak, kecuali beliau melakukannya ketika (datang) dari berpergian." [HR. Muslim (no. 717)].
Ketiga: Hadits 'Aisyah radhiyallaahu 'anha bahwa ia berkata, "Empat raka'at. Dan beliau menambahnya sebagaimana yang dikehendaki Allah Ta'ala."

Dalam tiga hadits di atas seakan-akan ada pertentangan antara penetapan bahwa Nabi ﷺ shalat Dhuha dengan pernyataan bahwa Nabi tidak melakukannya. Padahal tidak ada pertentangan, karena 'Aisyah radhiyallaahu 'anha tidak melihat Nabi ﷺ shalat Dhuha itu dalam waktu-waktu yang lain.

Adapun ketika Nabi ﷺ datang dari berpergian, maka 'Aisyah radhiyallaahu 'anha melihat beliau shalat Dhuha. Lalu 'Aisyah radhiyallaahu 'anha mengabarkan bahwa beliau melaksanakannya. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatannya itu disandarkan kepada apa yang sampai kepadanya dari Nabi berupa dorongan untuk melaksanakan shalat Dhuha. Juga disandarkan kepada perbuatan Nabi ﷺ yang dilihat oleh 'Aisyah radhiyallaahu 'anha (diwaktu-waktu tertentu).

Maka kesimpulannya: Kalimat-kalimat tersebut tidak bertentangan. Lihat Subulus salaam karya ash-Shan'ani (III/60).

Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authaar (II/256), "Benang merahnya adalah: 'Aisyah radhiyallaahu 'anha mengabarkan apa yang ia ketahui dan sampai kepadanya. Sedangkan para Sahabat lainnya (selain 'Aisyah) menyampaikan pula tentang rutinitas Nabi ﷺ dalam melaksanakan Dhuha dan tentang persyari'atannya yang mu-akkad (ditekankan untuk dilaksanakan). Orang yang mengetahui (dalam hal ini para Sahabat selain 'Aisyah) adalah hujjah dari orang yang tidak mengetahui (yakni 'Aisyah). Terutama bahwa waktu pelaksanaan Dhuha adalah bukan waktu-waktu di mana seseorang biasa bersama-sama dengan istrinya."

Saya mendengar al-Imam 'Abdul 'Aziz bin 'Abdillah bin Baaz rahimahullaah ketika menerangkan dalam kitab Buluughul Maraam (no. 415-417), "Untuk menggabungkan berbagai riwayat-riwayat itu dapat dikatakan: 'Pada mulanya 'Aisyah radhiyallaahu 'anha menetapkan bahwa Rasulullah ﷺ shalat Dhuha, kemudian ia lupa. Atau pada awalnya ia menyatakan bahwa Nabi ﷺ tidak shalat Dhuha, kemudian ia ingat bahwa Nabi ﷺ shalat Dhuha. Dan hujjah dari 'Aisyah radhiyallaahu 'anha tetapkan (bahwa Rasulullah shalat Dhuha), harus didahulukan dari hujjah 'Aisyah yang menafikan (bahwa Rasulullah ﷺ tidak shalat Dhuha). Demikian pula dengan adanya hujjah yang lain dari pada Sahabat (selain 'Aisyah) yang menetapkan bahwa Nabi ﷺ shalat Dhuha, maka penetapan ini harus didahulukan daripada penafiyan dari 'Aisyah."

² HR. Muslim, kitab Shalaatul Musaafiriin, bab Istihhaabu Shalaatidh Dhuha (no. 719).

 719)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Shalat DhuhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang