Pelajaran berlangsung membosankan. Sebuah objek membuat jemariku tertarik untuk berkarya, menggambar setiap lekukan wajahnya yang sangat sempurna.
Dalam hatiku terus bertanya, kemana saja aku selama ini? Dia berada di dekatku selama ini, namun aku baru menyadarinya. Dan, kenapa aku harus menyukainya sekarang?
Hidung tinggi yang menjulang itu, aku menggambarnya dengan hati-hati. Berusaha agar sangat mirip dengan sosoknya yang sangat tampan.
Untuk saat ini, biarkan kamu mengamati objek milikmu sendiri. Tapi, akan aku pastikan suatu saat nanti, hanya akulah objek satu-satunya yang tidak bisa membuatmu berpaling.
"Hey, Min Sora" bisikan Han membuatku menoleh kebelakang.
"Apa?" jawabku dengan bisikan yang sama.
"Cek ponselmu"
Tanpa pikir panjang, akupun membuka ponsel dan mendapatkan notif dari nomor yang sama. Nomor pria gila, yang telanjang dada di depan banyak orang.
Keningku berkerut membaca pesan teks yang Felix kirimkan.
Selang beberapa menit akhirnya aku berada di Rooftop sekolah. Aku sungguh tidak mengerti apa yang ia lakukan disini, dan mau-maunya aku diperintah seperti ini.
Tapi yang membuatku terkejut adalah, aku menemukannya dalam kondisi wajah yang sudah babak belur.
"Hey, apa yang terjadi? Kenapa wajahmu.. Ah tunggu, akan kuambilkan kotak P3K terlebih dahulu."
Setelah berlari kecil, akhirnya aku kembali dengan kotak P3K.
"Kau ini selalu merepotkanku."
Tanganku mulai bergerak mengambil kapas dan cairan alkohol. Menuangkannya sedikit kedalam kapas, lalu mengoleskan ke sudut bibirnya yang mengeluarkan darah.
"Dahimu juga berdarah, apakah seseorang memukulnya dengan keras?"
"Ah, plesternya mungkin habis. Untung aku selalu membawa plester motif ini"
Mengambilnya dari kantongku, dan mulai merekatkan pada dahinya.
"Kenapa kau tidak hilang ingatan saja?" ujarku kesal.
"Yak, akhh.. "
"Jangan bergerak, nanti tulangmu retak."
Aku membereskan semuanya kepada tempatnya.
"Nah, sudah beres" ucapku bangga.
Suasana menjadi hening, Felix hanya diam menikmati angin disekitar. Tanpa berterimakasih padaku, sungguh sifat yang sangat buruk.
Aku menatapnya dalam diam, entah kenapa aku merasa iba padanya. Aku tidak tahu bagaimana latar belakangnya disana, yang ku tahu, dia hanyalah Felix yang menjengkelkan dan sangat angkuh.
"Jika ada masalah, cerita lah"
"Kau mungkin menjengkelkan, tapi aku bukan tipe teman yang tidak mementingkan kondisi temannya."
"Oh? Apakah aku baru saja mengatakan bahwa kau temanku? Oh, tidak. Aku tidak pernah menginginkan walau sekedar mengenal siapa dirimu." cerocosku panjang lebar.
"Aku harap selamanya kau tidak akan menjadi temanku." bibirnya bergumam kecil tanpa menatapku. Namun itu terdengar jelas oleh indra pendengaran ku.
"Baiklah, mari kita berpura-pura tidak saling mengenal setelah ini." potongku dengan sedikit penekanan.
"Melainkan lebih dari itu, mungkinkah disebutnya dengan kekasih?" ia menoleh, menatapku dengan senyuman kecil dan pandangan yang sangat sulit diartikan.