Asing tapi memancing,
Dia siapa? Bisa-bisanya membuat saya bahagia.
-Biana Adzani"Gue bilang juga ayo, Dev! Lo lama banget sih." Bia mengomel di ambang pintu, melihat Devan yang daritadi hanya bolak-balik.
"Ngegas mulu, cewe tuh lemah lembut." Jawab Devan yang akhirnya keluar melewati Bia yang masih berdiri di ambang pintu. "Udah ayo! Ngapain masih di situ?"
"Sabar dong!"
"Tadi kan lo yang bilang suruh cepetan, cewe dasar!" Bia memutar bola matanya malas.
Cuaca sore ini sudah cukup gelap, sepertinya akan turun hujan sebentar lagi. Tapi, karena sudah ada janji dengan teman lamanya Bia tetap harus menyempatkan datang ke tempat itu. Walaupun rasanya Bia ingin segera merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Baru saja duduk di kursi, teman-temannya sudah berkicau saja seperti burung di pagi hari. Ingin beli ini itu, pesan ini itu, tapi mereka tidak mau pergi. Akhirnya Bia lagi korbannya.
Katanya supaya Bia cepat dapet jodoh, jadi sosok penyabar dan nurut. Bia hanya berdecak pelan kalau teman-temannya sudah ceramah dari timur ke barat, tidak ada satupun yang mendukungnya sampai sekarang. Katanya, Bia itu terlalu menyeramkan untuk seorang laki-laki.
Padahal, kenyataannya Bia adalah fakgirl yang bersembunyi dibalik kesibukannya. Bia itu sibuk, kuliah, bela diri, menulis, organisasi, ada saja perkumpulan yang mengharuskan kehadirannya. Dan di tempat itu lah, satu persatu Bia punya sosok yang lebih.
Menurut Bia bukan tidak setia, hanya saja Bia perlu pundak saat lelah. Sebab tidak mungkin baginya meminta kehadiran satu orang pada setiap kegiatannya yang padat. Lagi pula, Bia jomblo. Jadi, tidak ada larangan.
"Bi, lo masih sama abang-abang loreng?" Tanya Devan di tengah-tengah perjalanan mereka.
"Kepo banget lo, Dev!"
"Gue nanya, kata Ka Dena lo sama abang-abang loreng." Dari nada bicara Devan, terdengar sekali meledek. Padahal nyatanya dia pasti sudah tahu kalau Bia sudah tidak lagi bersama sosok yang dipertanyakan itu.
"Pasti Ka Dena juga bilang kalau gue udah enggak sama dia."
"Iya."
"Itu lo tau, Devan! Ngapain nanya ke gue." Bukan Bia kalau tidak berisik dan tidak ngegas.
"Iya biar denger langsung, Bi. Lagian lo kenapa udahan?"
Bia berdecak pelan. "Siapa yang jadian sih lagian juga? Terus lo apa lagi sih nanyain dia? Udah tutup buku gue. Jangan bikin gue keinget lagi."
Devan tertawa keras sambil mengendarai motor, bagi Devan sosok Bia itu sebenarnya asik dan terbuka. Bia juga manis menurut Devan, hanya saja Devan dan Bia bukan masing-masing yang merasa ingin melengkapi. Devan hanya temen satu SMA-nya saja, jadi tidak ada yang lebih.
Fyi, Bia itu memang pernah menjalin semacam komitmen dengan salah satu laki-laki berseragam loreng. Hanya saja, ada rintangan dan hal yang tidak bisa Bia terima saat itu. Jadi, Bia memutuskan memblokir semua kontaknya dan melupakannya pelan-pelan.
Bia turun dari motor, lalu ia meninggalkan Devan yang sedang memarkirkan motornya. Bia berjalan mendekati warung kecil yang berada di pojokan itu, lalu menunggu gilirannya untuk memesan.
"Pesan apa, Neng?" Gilirannya saat itu, Bia hanya memberikan secarik kertas pada si Ibu. "Ini, Bu."
"Oke, ditunggu ya."
Bia tersenyum sambil mengangguk sebagai balasannya. Lalu, ia memundurkan langkahnya dan duduk di samping Devan. Seperti biasa, Devan akan banyak berbicara sedangkan Bia sudah kesal karena Devan membahas hal yang sama terus-menerus. Bia memilih mengambil ponselnya yang berada di dalam saku, lalu iseng membuka aplikasi instagramnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berawal Dari Instagram
Подростковая литература"Jadi, di mana letak kebenaran tentang perempuan selalu benar?" Seumur hidupnya Biana tidak mempercayai cinta yang berawal dari dunia maya. Hingga akhirnya, hari itu berhasil meruntuhkan pendirian Biana. Kedatangan sosok Aryana diam-diam mampu mendo...