BAGIAN 1

431 17 0
                                    

Hari belum terlalu senja ketika dua orang penunggang kuda mulai memasuki halaman luas sebuah bangunan kokoh terbuat dari kayu hutan. Daerah sekitar tempat ini agak gersang. Sedikit sekali pepohonan yang tumbuh, membuat matahari yang sudah berwarna jingga dengan leluasa menciptakan bayangan panjang.
Pada bagian sebelah kiri bangunan itu, terlihat bangunan lain yang bertingkat dua. Atapnya dari ijuk. Sedangkan bangunan utamanya langsung berhubungan dengan pintu depan.
"Berhenti...!"
Mendadak terdengar bentakan seseorang. Lalu dari atas atap melayang dua sosok tubuh wajahnya ditutupi kain hitam. Mereka langsung menghunuskan sebilah golok ke arah kedua penunggang kuda itu.
"Hieee...!"
Karena terkejut, kedua hewan itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Untung saja penunggangnya cepat menguasai keadaan. Sehingga dalam waktu singkat mereka berhasil menenangkan kuda-kuda itu.
"Siapa kalian?! Dan apa maksud kalian datang ke tempat ini?!" bentak salah seorang dari dua orang bertopeng.
"Kami utusan Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum! Dan kedatangan kami untuk bertemu dengan Gendoruwo Samber Nyawa!" sahut salah satu penunggang kuda.
"Mana tanda pengenal kalian?"
"Ini!" salah seorang mengeluarkan lencana kerajaan. Langsung ditunjukkannya pada kedua orang bertopeng itu.
"Hm, baiklah. Silakan masuk. Ketua kami telah menunggu kedatangan kalian!" kata seorang bertopeng seraya mempersilakan kedua penunggang kuda itu masuk kedalam bangunan.
Setelah berkata demikian, kedua manusia bertopeng itu mencelat ke tempat semula. Sebentar saja, mereka telah menghilang dibelakang bangunan. Kedua penunggang kuda itu memperhatikan sekilas. Mereka menghela napas dan saling berpandangan, kemudian dia menggebah kudanya memasuki halaman bangunan itu.
Mereka turun dari punggung kuda dan menambatkannya disebuah pohon yang tidak jauh dari situ. Suasana sepi, membuat mereka curiga dan merasa tak enak. Tidak seorang pun terlihat di tempat ini. Segalanya hening. Dan bangunan yang kumuh serta berkesan reot itu menambah suasana di tempat ini menjadi menyeramkan.
Krieeet...!
Terdengar derit pintu terbuka, ketika kedua orang itu membuka pintu bangunan ini, mereka segera melongok ke dalam. Ruangan itu tampak sepi.
"Sampurasun...." ucap salah seorang.
"Silakan masuk. Ketua telah menunggu kalian!"
Terdengar sebuah suara menyahuti, membuat keduanya memandang sekilas. Dan tahu-tahu mereka melihat seorang laki-laki tegap bertelanjang dada serta memakai ikat kepala lebar warna hitam, muncul begitu saja bagai sebuah bayangan.
"Eh, jalan mana yang kami lalui...?" tanya seorang yang bertubuh agak kecil.
"Hm, masuk sajalah. Di situ kalian akan menemui sebuah terowongan. Kemudian masuk dan turuni anak tangga tanpa ragu-ragu. Di sana, akan ada yang menyambut kalian!" sahut orang itu menjelaskan.
Apa yang dilihat kedua orang utusan Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum dalam ruangan ini hanya suasana remang-remang yang diterangi cahaya matahari dari celah-celah didinding-dinding. Kini didalam ruangan terdapat tiga buah pintu yang berukuran berbeda.
Dengan diantar laki-laki tegap tadi, keduanya segera menuju pintu yang ditunjukkan. Dan mereka segera membukanya dengan mudah. Terlihat sebuah undakan anak tangga yang menuju ke bawah. Sebelum melaluinya, keduanya sempat melirik. Orang bertubuh tegap tadi ternyata telah lenyap dari tempatnya. Entah ke mana.
Kedua utusan Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum melangkah ragu. Baru saja dua anak tangga dilalui, pintu kecil itu menutup cepat. Mereka tersentak kaget. Salah seorang cepat memburu dan berusaha membuka. Namun baru disadari kalau ternyata bagian dalam daun pintu itu terbuat dari baja. Padahal yang mereka lihat dari luar hanya terbuat dari kayu lapuk.
"Terkunci dan keras sekali!" desis orang itu seraya memandang ke arah kawannya dengan wajah cemas.
Laki-laki yang satu lagi tercenung. Kemudian dia menghela napas dan mengajak untuk terus menyusuri anak tangga. Lebih dari dua puluh undakan telah dilalui sebelum tiba di bawah. Dan di sana telah menyambut seorang lelaki bertopeng hitam dan bertelanjang dada. Dia hanya mengenakan celana pangsi dengan sarung melilit pinggang.
"Mari ikuti aku! Ketua telah menunggu kedatangan kalian!" kata orang bertopeng hitam itu datar.
Kedua utusan Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum mengikuti orang bertopeng itu dengan langkah ragu seraya memperhatikan keadaan sekeliling. Yang terlihat hanya cahaya remang-remang dari obor yang terpancang di dinding lorong ini.
Ketika membelok ke kiri sepanjang lebih kurang sepuluh tombak, ketiganya memasuki sebuah ruangan yang cukup luas. Di situ banyak ditemukan orang bertelanjang dada dan bercelana pangsi dengan pinggang terlilit sebuah sarung bercorak kotak-kotak. Entah apa yang mereka lakukan. Namun sepertinya tak seorang pun yang mempedulikan kedua orang asing itu.
"Silakan masuk. Dan katakan, berita apa yang kau bawa...!"
Tiba tiba terdengar suara bernada kasar. Padahal saat itu mereka baru saja memasuki sebuah kamar. Bahkan belum lagi, melihat siapa yang berada di dalamnya.
Cahaya di dalam ruangan ini tampak suram dan pengap. Ada kepulan asap yang menggantung, memenuhi ruangan. Sehingga menambah sesaknya pernapasan. Beberapa orang berdiri sambil bersedekap. Dua diantaranya mengapit sebuah kursi yang berukuran lebar. Di situ duduk seorang laki-laki berusia setengah baya. Rambutnya yang lebat, dilepas begitu saja hingga berkesan awut-awutan. Wajahnya tidak terlihat jelas, diselimuti keremangan. Tapi seperti yang lain, dia pun bertelanjang dada. Celananya pangsi hitam dengan sebuah sarung kotak-kotak melilit pinggang. Tubuhnya terlihat tegap. Dan dalam kegelapan, sepasang matanya nyalang laksana mata seekor kucing di kegelapan.
"Lekas katakan maksud kalian!" sentak seseorang, ketika kedua utusan Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum masih diam terpaku.
"Eh, ya... Tapiapakah kami tengah berhadapan dengan Gendoruwo Samber Nyawa?" sahut seorang utusan meyakinkan dugaannya.
"Kalian tengah berhadapan dengannya!"
"Oh, iya.... Namaku, Pangkita. Dan ini, Selora. Kami membawa pesan dari Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum. Beliau membutuhkan bantuan untuk mewujudkan keinginannya," sahut utusan yang mengaku bernama Pangkita.
"Hm... imbalan apa yang bisa diberikan padaku?" tanya laki-laki yang duduk di hadapan kedua utusan ini.
"Apa yang Tuan inginkan akan dipenuhinya. Asal..."
"Hahaha...! Segala yang kuinginkan?!" potong laki-laki yang memang Gendoruwo Samber Nyawa.
"Be..., betul.... Tapi..."
"Aku mengerti! Tapi dia akan merasa berat mengabulkan apa yang kuinginkan," kata Gendoruwo Samber Nyawa tersenyum sinis.
"Asal hasilnya memuaskan, Kanjeng Gusti Ayu Rara Ningrum tidak memikirkannya!"
"Hm, begitu?"
"Iya! Begitulah pesan beliau!" sahut Pangkita cepat seraya mengangguk.
"Hm, baiklah. Aku akan penuhi keinginannya."
"Oh! Beliau pasti akan gembira mendengar berita ini!" seru Pangkita girang.
Wajah Pangkita tampak berseri. Demikian pula Selora. Sementara itu pandangan mereka mulai terbiasa oleh keremangan ini. Sehingga mereka mampu memperhatikan wajah wajah yang berdiri memenuhi ruangan. Mereka tampak kaku. Bahkan berkesan menggiriskan. Tak ada senyum sedikit pun, membiaskan jiwa penuh kebengisan. Dan meski keduanya berusaha bersikap ramah, tidak urung tetap saja merasa kecut.
"Eh! Kalau begitu, tidak ada lagi yang bisa kami bicarakan. Dan kami mohon pamit."
"Hahaha...! Kenapa buru-buru? Apakah kalian sudah begitu bosan di sini, sehingga harus cepat-cepat pergi?" tanya Gendoruwo Samber Nyawa.
"Kami harus cepat melaporkannya pada Kanjeng Gusti Ayu," sahut Pangkita.
"Rasanya tidak perlu. Sebab beliau akan mendapat pesan langsung dari kami."
"Oh! Kalau begitu, bagus sekali!"
"Hahaha...! Kami terbiasa bekerja dengan rapi. Begitu pula pekerjaan ini. Segalanya akan berjalan rapi dan lancar!"
"Kanjeng Gusti Ayu memang tidak salah pilih. Kalian adalah orang-orang hebat. Mudah-mudahan rencana beliau berjalan mulus."
"Hahaha...! Tentu saja. Di tanganku, segalanya akan berjalan mulus. Dan yang terpenting, tak ada seorang pun yang akan tahu hal ini. Tak ada seorang pun!"
Gendoruwo Samber Nyawa langsung mendekatkan wajahnya pada kedua utusan itu seraya menekankan kata-kata terakhirnya.
"Hehehe...! Tentu saja kami percaya," ujar Pangkita dan Selora terkekeh.
"Bagus! Kalau demikian, kalian pun mengerti. Lebih sedikit yang tahu soal ini, maka semakin baik. Maka kalian harus mengalah!"
"Eh! Apa..., apa maksud kata-katamu itu...?!"
Pangkita terkejut setengah mati. Baru disadari kalau kata-kata orang itu terdengar masih menduga-duga. Gendonjwo Samber Nyawa menyeringai lebar.
"Kalian terlalu banyak tahu tempat ini. Dan itu tidak baik bagi kami. Siapa pun orangnya, jika bukan anak buahku, tidak boleh mengetahuinya. Dia harus mati!"
Begitu habis kata-kata Gendoruwo Samber Nyawa habis, salah seorang yang berada di tempat itu langsung mencabut golok.
Wajah kedua utusan tampak pucat pasi bagai mayat. Bulu kuduk mereka meremang. Nyali mereka langsung terbang. Dan sebelum kedua utusan itu sempat menyadari apa yang akan terjadi, golok itu telah menebas kedua leher mereka.
"Ehhh...?!"
Srak! Cras!
"Hokh!"
Terdengar keluhan pendek tertahan yang diikuti cipratan darah segar! Kedua utusan itu ambruk. Dan seketika, lantai ruangan ini bersimbah darah!
"Buang dan berikan bangkai bangkai ini ke rawa!" perintah Gendonjwo Samber Nyawa.
Orang-orang bertelanjang dada itu langsung mengerjakan perintah. Sedang Gendoruwo Samber Nyawa sendiri bangkit, lalu berlalu dari ruangan ini. Dan berjalan ke sebuah pintu yang berada di sebelah kiri kursinya.

148. Pendekar Rajawali Sakti : Putri Randu WalangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang