O4.

5 0 0
                                    


—🌸—

"Wah, sudah kuduga Profesor Han akan dapat banyak coklat hari ini."

Aku ingat saat gadis muda itu tiba tiba saja datang ke kantorku. Tanpa diundang, bahkan tanpa salam sebelum meracau seenaknya seperti tadi. Terkadang aku berpikir apa gadis jaman sekarang memang tidak punya tata krama?

"Ambilah kalau mau." Jawabku setelah mendengus kesal, lalu atensiku kembali pada beberapa lembar tugas yang baru saja ku koreksi. Gadis itu mendekat, mengintip pada dua tas kertas berisikan coklat yang jelas tidak akan kumakan. Tak lama atensinya beralih padaku— aku jelas bisa melihatnya dari sudut mata.

"Sudah kubilang ambil saja kalau kau mau." Ujarku kembali. Tetapi ia tidak menjawab, masih betah menatapku dalam bisu. Lalu aku mengadahkan kepala, menatap netranya yang jelas sedang terlihat 'lembut'. "Lalu ada urusan apa kau kesini?"

"Bosan."

"Makanya carilah teman."

"Tidak ada yang asik."

"Kalau begitu pergilah menonton di bioskop."

"Temani aku." Lalu mulutku tak lagi bisa membalas. Kelu.

"Tidak mau?" Tanyanya, "Aku yang akan membayar tiketnya."

Netraku kembali beralih pada kertas didepanku, "Aku sibuk. Banyak tugas yang harus kuperiksa sebelum akhir pekan."

Gadis muda itu tidak menjawab, justru memilih beberapa coklat dari tas kertas lalu duduk di sofa ruangan. Mengusirnya pergi hanya akan membuatku berada dikantor lebih lama karena aku tahu sekeras kepala apa gadis muda itu, pasti akan memakan waktu yang lama untuk mengusirnya. Kembali atensi ku berpusat pada pekerjaan, menghiraukan Somi yang melahap coklat batangannya sembari tangan kirinya terus mengusap layar ponsel.

Tak terasa rembulan menggantikan matahari, dan lampu jalanan mulai menerangi lingkungan kampus. Aku tidak terlalu ingat berapa jam yang kuhabiskan mengoreksi tugas murahan mahasiswaku yang hampir satu kelas mendapatkan nilai C minus (aku tidak peduli jika mereka protes, toh memang mereka hanya menyalin dari internet dan merubahnya sedikit.)

Kuambil mantel coklat yang ditaruh asal di ruangan. Mantel coklat ini. Lalu batinku memutar rekaan singkat saat aku bertemu dengan Somi di Pub malam itu. Benar juga, sudah satu minggu sejak saat itu dan ia sama sekali belum bercerita tentang hari itu. Bohong jika rasa penasaran tidak menggerogoti sukmaku. Tetapi aku juga tidak punya hak untuk memaksanya bercerita tentang kehidupan yang mungkin ia tidak ingin orang asing sepertiku tahu.

"Somi ayo pulang—." Gadis itu tertidur. Sejak kapan? Jangan tanya aku. Apa dia menunggu terlalu lama?

Lalu aku mendekatinya. Menyelamatkan ponselnya yang hampir jatuh ke lantai. Menerka-nerka bagaimana gadis muda ini bisa tidur diatas sofa murahan yang bahkan tidak terasa empuk sama sekali itu. "Somi." Aku mencoba membangunkannya, namun gadis itu sama sekali tidak bergerak. Kemudian kuusap bahunya pelan dengan jemariku, menepuknya sedikit untuk membangunkannya— dan otak liarku mulai berimajinasi akan semarah apa gadis ini jika aku memukulnya dengan kasar. Membuatku tertawa tipis dengan imajinasiku sendiri. 

Tawa yang kupikir hanya setinggi satu desibel ternyata berhasil membangunkan Somi, "Lama sekali..."

Aku hanya tersenyum tipis, lihatlah mukanya yang baru saja bangun tidur ini!

"Ayo, kita makan malam sebelum aku mengantarmu pulang." Lagi, Somi menurut dengan ucapanku bahkan tanpa kembali mengomel atau berkata apapun. Apa karena dia baru saja bangun? Atau karena lapar? Melihat gadis muda itu menurut seperti ini membuatku memiringkan kepala. Namun aku tidak terlalu ambil pusing atau bahkan bertanya, telingaku sedang tidak ingin menerima celotehan Somi.

Kuajak ia berkeliling sedikit disekitar kampus, sekedar mencoba mengembalikan kesadarannya seutuhnya dulu sebelum kami memutuskan makan malam apa untuk hari ini. Mengajaknya bermain dengan kucing liar yang biasa kuberi makan saat aku lembur seperti sekarang. Lalu ia mulai mengomel tentang ibunya yang tidak memperbolehkannya memelihara kucing. Kata ibunya, Somi pasti tidak akan mau membereskan kotoran hewannya nanti dan berakhir ibunya lah yang merawat kucing itu (Bisa dibilang aku setuju dengan ibunya, namun aku memilih diam karena masih ingin hidup saat ini).

Kemudian ia tiba-tiba saja— dengan suara memekik, memintaku untuk makan steik Hari ini. Kutanya apakah ia punya uang, lalu ia menggelengkan kepala. "Traktir aku." Mencoba terlihat semanis mungkin untuk merayuku. Tetapi tidak sedikitpun aku tergoda dengan manik hitamnya yang berkilauan memantulkan lampu jalan itu. Tidak semudah itu nona muda.

"Kita makan hamburger saja." Dan ia merajuk karena ideku barusan. Berkata Bahwa ia tidak perlu menungguku hanya untuk makan sebuah hamburger. Ia mulai mengataiku dengan sebutan pria tua pelit atau apalah— ada beberapa kata modern yang tidak aku tahu makna terselubungnya. Ya, Han Somi yang lama telah kembali.

Sengaja kuajak ia pergi ke Itaewon daripada ke restoran cepat saja dengan burger tipis murahan mereka. Dan lihatlah dia— jelas aku masih bisa mengingatnya dengan sempurna, bagaimana wajahnya kembali berbinar saat pesanan hamburger kami datang. Kemudian matanya membelalak saat potongan daging tebal meleleh didalam mulutnya. Seakan lupa dengan semua ucapan kasarnya padaku di mobil beberapa waktu yang lalu.

Kemudian ia mulai bercerita akan hal sepele yang terjadi di kafe beberapa hari belakangan. Mengomel padaku karena aku jarang mengunjunginya di kafe seminggu belakangan ini, yang hanya bisa kuberi alasan: "Aku sibuk." Dan ia tidak kembali bertanya atau mencemooh alasan klise ku itu.

Lalu suaranya perlahan terasa samar di telingaku. Indraku memilih berpusat pada manik hitamnya dengan bingkai unik yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Menenggelamkan sukmaku didalam galaksi matanya, membuat sudut bibirku menyungging keatas dibawah kesadaranku.

Dan aku ingat betul dengan apa yang kuucapkan setelah itu padanya— yang jelas masih terasa menggelikan jika kuingat hingga sekarang:

"Senang melihatmu tersenyum seperti ini."

—🌸—

𝒘𝒊𝒄𝒌𝒆𝒅 𝒍𝒐𝒗𝒆Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang