2. Si Tampan Bulan Purnama

218 56 5
                                    

Diam-diam menyisip harapan dalam hati agar pertemuan kemarin bukan sebagai pertemuan pertama dan terakhir. Harus ada kelanjutannya.

Begitu juga yang menjadikan Yoongi terlihat bersemangat mengunjungi taman kampus sore ini. Dewi Fortuna memberi bubuk keberuntungan sebab Jimin ada di sana tengah melamun di salah satu bangku. Ia bergeming lama hanya untuk memperhatikan bagaimana figur pemuda itu dari samping. Masih tampan seperti kemarin.

Berbekal keberanian, Yoongi mendekatinya. Ekspresinya tampak bodoh saat menyapa. "Hai?"

Jimin menoleh kelewat lamban, tetapi senyumnya terbit sangat cepat. "Hai," balasnya ramah.  Ia menepuk tempat kosong di samping secara tidak langsung meminta Yoongi duduk. 

"Kau mahasiswa di sini juga?" Itu pertanyaan Yoongi setelah mendaratkan bokong. Wajahnya terlihat menuntut jawaban.

"Kelulusanku beberapa tahun yang lalu."

"Ah, begitu. Lalu ada urusan di sini?"

Jimin memberikan atensi sepenuhnya. "Ya, untuk bertemu denganmu."

Jawaban itu membuat Yoongi langsung memutus tatapan keduanya. Ia meneguk ludah, memilih memandangi tumpukan daun di tanah, dan mengira-ngira berapa jumlahnya.

"Sama halnya tujuanmu kemari, bukan?" Jimin tidak membiarkan Yoongi dengan keterkejutannya. "Ingin bertemu denganku juga?"

Iya, benar.

Sayangnya, Yoongi menelan kembali kalimat yang sempat berada di ujung lidahnya. Ia mendelik tidak terima. "Aku sering datang ke taman ini bahkan sebelum bertemu denganmu," ujarnya yakin karena memang tidak sepenuhnya salah.

Jimin menaikkan satu alisnya. Ia merubah posisi duduk agak miring. "Kurasa tempat ini tidak cocok untukmu. Banyak sekali yang berkeliaran dengan niat jahil. Maksudku, ya, kau tahu."

Paham apa maksud lawan bicaranya, Yoongi membalas malu-malu, "Kebanyakan dari mereka sudah kuanggap teman."

"Oh, ya?" Jimin menahan tawa. Sekilas ia menggeleng tak percaya, kentara sekali meremehkan. "Dari sekian banyak manusia di muka bumi, kenapa harus menjadikan mereka temanmu?" 

"Itu pertanyaan yang sering kutanyakan juga." 

Ada sejumput keraguan yang berhasil Jimin tangkap. Ia terdiam memperhatikan Yoongi yang mengalihkan pandangan, tidak berani menatap matanya. Sehingga ia memutuskan beranjak, membuat pemuda di sebelahnya mendongak.

"Kelasmu sudah selesai hari ini? Ayo, kuantar pulang."

Yoongi ikut berdiri sambil menggaruk tengkuknya. Gugup. "A-aku bisa pulang sendiri."

"Ya, memang. Tapi kalau aku mengantarmu, boleh?"

Secuil rasa asing yang telak menyambangi memberi kedut di bibir Yoongi. Menajamkan pendengaran pun tidak merubah apa yang telah Jimin tawarkan. Di sana juga, ia mengulum senyum sambil mengangguk, mengiakan ajakan dan memacu langkah bersamaan.

Sayangnya, salah satu hal yang paling Yoongi benci adalah menjadi pusat perhatian. Lihat saja saat ini, ketika ia mengangkat dagu beberapa orang terlihat berbisik-bisik seraya menatap ke arahnya. Yakin setengah mati dirinya yang menjadi topik pembicaraan, bahkan sepanjang kaki melangkah banyak pasang mata menyorot dengan berbagai ekspresi.

Ah, menyebalkan.

"Abaikan saja mereka."

Jimin mengernyit. "Maksudmu?"

"Lihat sekelilingmu."

Pemuda itu tetap tidak mengerti meski sudah melirik ke berbagai sudut. Ia malah mendekat untuk berbisik, "Kau primadona, ya? Mereka terlihat memandangimu."

Yoongi berdecak, alisnya menukik. "Bukan karena aku primadona, tapi karena ini pertama kalinya ada yang mau jalan berdampingan denganku."

"Kenapa tidak ada orang yang mau?"

Tungkai Yoongi berhenti bergerak. Menghentikan juga langkah pria di sampingnya. "Karena aku aneh. Dalam artian, interaksi yang tanpa sadar aku tunjukan saat bersama mereka yang tidak terlihat. Semua menganggapku gila, jelas-jelas sepenuhnya aku waras."

Lantas Jimin terdiam, dahinya masih berkerut samar. Ia memaksa seulas senyum setelahnya. "Kupikir maksud aneh itu kepalamu ditumbuhi tanduk, lidahmu menjulur sampai kaki, atau hidungmu ada dua belas dan semua lubangnya menghadap ke atas."

Serta-merta menjadikan Yoongi mendengkus geli. Kelakar yang dilempar cukup menggelitik baginya dan sedikit menghibur. Tak ingin membicarakan hal itu lebih lanjut, ia berdeham mengubah topik. "Flatku tidak jauh dari sini, setiap hari aku berjalan kaki."

Jimin mengangguk sebagai respons. "Bukankah itu bagus? Kau bisa menghemat pengeluaran."

"Benar." Penasaran akan suatu hal Yoongi mengajukan pertanyaan seraya menunggu lampu pejalan kaki menyala. "Kalau rumahmu, Jimin?"

"Kurang lebih satu jam dari sini."

Yoongi hendak bertanya kembali, tetapi diurungkan saat Sora, si gadis berseragam SMP berkacak pinggang dan menghadang jalannya.

"Beruntung aku bertemu denganmu di sini." Lengkungan bibirnya turun. "Aku ingin ceritakan sesuatu."

Yoongi berdecak keras. Terlihat jengkel. "Kau pikir aku diari berjalan?"

"Dengarkan aku dulu. Ini sedih seka—wah, siapa ini?" Remaja tersebut menatap Jimin terkejut. Baru tersadar Yoongi tidak sendirian.

"Lebih baik kau pergi. Aku sedang tidak ingin mendengar curhatanmu." Ucapan Yoongi tidak digubris. Jimin sukses mencuri perhatian si hantu. "Kau dengar aku tidak, sih?"

"Iya, iya," sahut Sora. Kini tatapannya tertuju kepada Yoongi dan Jimin secara bergantian. Terang-terangan ia memicing curiga.

Karena tidak menyingkir dari hadapannya, Yoongi melewati tubuh si gadis dengan menembusnya begitu saja. Baru beberapa langkah menjauh, ia menoleh cepat ke belakang. Mendapati acungan ibu jari serta kedipan seolah menggoda membuat Yoongi berpikir keras.

"Gadis tadi temanmu?" tanya Jimin.

Tanpa berniat membuka suara, Yoongi beri anggukan singkat. Tepat di depan gerbang besi yang terbuka lebar persis dekat jalan besar, ia berhenti. "Itu flat tempatku tinggal."

Jimin menatap bangunan tua di depannya. Raut mukanya berubah masam. "Bangunan itu ramai. Kau baik-baik saja?"

"Sejauh aku tinggal di sana, keadaanku masih sehat sampai saat ini." Tidak ada masalah karena yang ada di sana pun mengangkat Yoongi sebagai teman mereka. Begitu kenyataannya, agak miris memang. "Terima kasih sudah mengantarku." Sebagai salam perpisahan, ia membungkuk hampir sembilan puluh derajat dan sempat melambaikan tangan untuk berpamitan. Tanpa berniat melihat pemuda itu lagi, Yoongi menggerakkan kedua kaki terburu-buru agar cepat sampai ke kamarnya.

Embusan napasnya dihela berat. Menyemburkan kekehan yang samar-samar teredam deru kendaraan seolah mentertawakan dirinya sendiri. Sesaat Yoongi melupakan, apa tujuan Jimin ingin bertemu dengannya? Isi kepalanya sibuk memutar kembali beberapa menit yang lalu. Menyeret dentuman ganjil yang perlahan mulai tersadarkan. Mengenai bisikan Sora ketika ia berjalan melewatinya.

"Tampan sekali. Kutebak, dia meninggal saat bulan purnama, Yoon."  []

It's All In Your Head [MINYOON]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang