Langit terlalu cepat beranjak kelabu. Jingga mentari bahkan sudah tidak terlihat lagi. Temaram lampu jalanan sedikitnya membantu penerangan seekor kucing yang sibuk menjilati salah satu kakinya sebelum tersentak siaga karena insting.
Yoongi melangkah lesu. Bising laju kendaraan membuatnya terhindar dari lamunan. Sesekali ia sengaja menginjak keras kerikil-kerikil yang bertebaran di trotoar. Ia memilih berjalan kaki menuju flat kesayangan padahal jika ditempuh menggunakan bus akan lebih cepat sampai. Begitu melewati persimpangan, Yoongi berbelok memasuki gang kecil. Gelak tawa dan celotehan anak-anak yang berlarian ke arahnya sedikit mengalihkan perhatian. Hanya sebatas menembus tubuhnya dan melanjutkan kesenangan kemudian menghilang dalam sekejap setelah menerobos tembok besar di sisi jalan.
Kembali teralihkan saat tak sengaja melihat hewan kecil berbulu putih asyik berguling-guling di tanah seakan meminta perhatian Yoongi yang tengah memandangnya. Namun belum sempat ia berjongkok untuk menjangkaunya, kucing tersebut menggeram marah dengan posisi awas; ekornya terangkat kaku, bulu-bulu di tubuhnya mencuat seperti duri, lalu melesat cepat bersembunyi di semak-semak.
Yoongi berbalik. Irisnya bertemu sesosok yang berdiri tak jauh dari tempatnya. Mengingatkan lagi kejadian dua jam lalu; bentakan yang meninggalkan denging, denyut perih dari tamparan, juga sejumput kenyataan yang sulit dicerna nalar mengenai satu entitas hidup, hingga akhirnya Yoongi menyimpulkan sekeping memori di kepala berbekal terkaan yang ia harapkan salah.
"Itu kau, 'kan?"
Di saat pertanyaannya tidak disahuti jawaban, Yoongi tertawa sumbang. Jimin, pemuda itu hanya menatapnya dengan pedar pilu.
"Sialan," Yoongi mendesis tidak percaya. Kedua tangannya mengepal kuat. "Kau berani menunjukkan wajahmu setelah membuat keluargaku mati?"
Kecelakaan satu tahun yang lalu kasusnya pernah diusut ke pengadilan. Namun, para petinggi tidak menemukan bukti kuat. Semua menjadi tumpukan tanda tanya di saat keputusan akhir menetapkan jika kejadian tersebut karena kelalaian pengendara yang mana ayahnya sendiri. Lucu memang. Menjerit tidak terima dengan beberapa kejanggalan di depan mata tetap saja tidak merubah apa pun. Apik tersamarkan.
Jangan berbicara tentang keadilan untuk korban di dunia ini. Dari dulu saja hal itu sudah lama mati.
"Kau jelas tahu itu kecelakaan."
"Karena ulahmu!" Yoongi berteriak terlampau kesal. Memecah keheningan dengan emosi yang berhasil merangkak ke tingkat teratas.
Percikan rasa bersalah ada di pancaran mata Jimin. Sadar akan posisinya. "Benar. Salahku mengendarai mobil dalam kondisi mabuk. Aku sungguh menyesal. Maaf, maaf, Yoongi."
"Kau tahu apa yang kualami setelah kejadian itu? Hidupku lebur ketika pertama kalinya aku membuka mata. Kenyataan yang kuterima, perasaan mengerikan yang selalu datang setiap detik, ketakutan hingga kepalaku ingin pecah saat itu juga! Kau tahu bagaimana aku mengatasi semuanya sendirian?!" Yoongi melemparkan kebencian di dadanya, menyeret amarah dalam perkataan. Secara pasti, ia muak. Sepasang netranya digenangi air bersamaan dengan napas yang tercekat di tenggorokan.
Jimin terdiam lama, menyelami tatapan geram yang diarahkan padanya. Sekilas ia memutar kembali beberapa fakta sang ibu yang membungkam banyak pihak, memutarbalikkan bukti agar kecelakaan tersebut tidak menimbulkan skandal baru bagi perusahaan besar yang mereka miliki. Terlebih pada kenyataannya, kelalaian seorang Park Jimin menjadikannya tersangka utama dalam kecelakaan yang menewaskan empat orang.
Semua berpatok demi keuntungan pribadi. Jimin menyadari itu sebuah kesalahan. Meskipun begitu, ketidakterimaan masih menggumpal dan Jimin tetap merasa dirugikan.
"Yoongi, yang menderita bukan hanya kau, tapi aku juga. Kau lihat bagaimana ibuku menghadapi stresnya? Kau tahu adikku menjadi satu-satunya yang bisa diharapkan? Ayahku bahkan sudah tiada. Kita sama menderitanya."
Jika bisa mungkin Yoongi sudah berlari untuk menerjang dan merobek mulut pemuda yang baru saja menuturkan seolah-olah dirinya tersakiti padahal itu kesalahannya sendiri. "Kau pikir apa yang terjadi padaku sama halnya denganmu?" Air matanya tumpah ruah. Lelehan bening mengalir dari sudut-sudut kelopak. Kepalanya terasa mendidih. "Aku lebih banyak kehilangan! Orang tuaku, adik-adikku, bahkan kewarasanku sendiri! Kau merusak semua yang aku punya setelah kau membunuh mereka!"
"Aku menyesal. Aku benar-benar minta maaf, Yoongi. Hampir satu tahun aku hanya melihatmu dari kejauhan karena kutahu ini akan sulit." Jimin tampak putus asa. Ia memandang Yoongi penuh kekalutan. "Ribuan kali kucoba seandainya aku bisa bangun dari tidur panjang dan berlutut di kakimu dalam wujud manusia seutuhnya, akan kulakukan."
Seperti hantaman beton yang dilayangkan tepat di belakang kepala, Yoongi terhenyak dalam hitungan detik. "Ka-kau selama ini mengawasiku?"
"Tidak ada cara lain. Seperti yang kau lihat, aku terjebak di dunia yang ... tidak aku pahami hanya untuk memohon ampun." Jimin perlahan mendekat. Ia benar-benar putus asa. "Aku membutuhkan maaf darimu."
Yoongi merasakan pelipisnya berdenyut. Ia memalingkan wajahnya yang basah karena tangis lalu mengusapnya kasar. Sebisa mungkin menahan kendali atas emosinya sendiri. "Lantas setelahnya, apa kau bisa mengembalikan semua dalam keadaan utuh?"
"Yoongi ...."
"Matilah. Dengan begitu aku memaafkanmu."
Rasa pahit mencekik kerongkongan lebih dulu. Kedua tangan Yoongi mengepal kuat hingga buku jarinya memutih. Ia tidak tahan lagi, suaranya melirih. "Setelah apa yang kau lakukan, tidak mungkin aku membiarkanmu hidup dengan tenang. Kematianmu adalah satu-satunya yang setimpal."
Jimin dibuat membisu. Sekelebat sendu tampak di wajahnya. Jawaban Yoongi tidak pernah ia duga untuk benar-benar dilontarkan. Atas penyesalan yang semakin menggerogoti seharusnya ia memang tidak berharap banyak. Sembari menarik lengkungan di bibir, Jimin mengangguk. Banyak kata yang ingin ia sampaikan, tetapi sepertinya percuma. "Baiklah."
Pada ambang hidup dan matinya, Jimin memilih menyerah. Setimpal dengan apa yang ia tabur; menyeret perbuatan ibunya dan menyakiti banyak pihak. Detik selanjutnya di mana isak pedih dua wanita yang sangat ia kenali sekilas menyelinap ke telinga. Cukup menjadikannya dirambati pilu. Begitu tubuhnya perlahan mulai memudar, ia terburu-buru buka suara, "Maaf."
Sebagai pamit yang takkan kembali.
Sebagai harapan dari penyesalannya.
Yoongi melihat semuanya. Senyum terakhir yang dilemparkan kala presensi yang ia pandangi melebur perlahan, menjadikannya partikel-partikel teramat kecil dan berakhir disapu angin. Keheningan membuat Yoongi mengerjap lambat. Sepersekon kemudian, tubuhnya ambruk, bersimpuh di tanah seiring tangisnya pecah. Tersengal di ujung napas saat kepalanya mendadak kosong. Entah apa yang dirasakan, banyak perasaan asing dan sulit dijabarkan.
Jadi, siapa yang menjahati siapa?
Persetan.
Langkah kaki Yoongi berhenti di anak tangga kedua belas. Ia mendudukkan dirinya di sana, terlihat layu selagi bersandar di tembok lalu menarik napas dalam-dalam. Sehabis meraung di gang sepi, ia kelelahan; kelopak mata bengkak, wajah kemerahan, dan kerongkongan terasa kering.
Yoongi melirik ke setiap sudut jangkauan matanya, memperhatikan sekitar. Tidak ada siapa pun selain dirinya. Ia melihat jam yang melingkar di tangan baru menunjukkan pukul delapan dan menyadari malam belum sepenuhnya larut bahkan deru kendaraan masih ramai terdengar. Setelah menghabiskan waktu cukup lama di sana tanpa melakukan apa pun, Yoongi beranjak dengan tenaga yang tersisa. Ia menaiki beberapa undakan lagi untuk sampai ke depan pintu kamarnya.
Tanpa sadar ia meninggalkan belasan pasang mata dengan bentuk beraneka ragam yang kebingungan di setiap anak tangga. Saling berbisik riuh. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tidak dijawab. Jelas terabaikan sebab Yoongi tak lagi melihat mereka.
Selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's All In Your Head [MINYOON]✔
FanficEntah sebagai suatu keajaiban atau kesialan begitu terbangun di kamar rumah sakit dengan lilitan kasa di kepala, Yoongi mendapati ada yang salah dalam dirinya. Tatkala sosok tanpa wajah merangkak di tembok yang berhasil ditangkap penglihatannya, ia...