3. Tidak Sembunyi

198 47 3
                                    

Pada pertemuan ketiga, tidak jauh dari tempatnya berdiri, Yoongi menangkap sosok yang sama; senyuman lebar dan lambaian tangan seakan-akan menariknya untuk mendekat. Namun dalam sepersekon detik, ia mematung. Balasan senyum yang hendak dilemparkan langsung diurungkan. Di sana, pemuda itu terlalu bias. Jelas, ia sudah melewatkan sesuatu.

Lantas Yoongi memilih mengabaikan dan membuang muka. Isi kepalanya sibuk mencerna selagi mencoba fokus pada apa pun di atas langkahnya selain melirik pergerakan asing yang mendekat.

"Kupikir kau ada di taman," ujar Jimin sambil menyejajarkan dirinya.

"Kelas dibubarkan lebih cepat dan aku akan langsung pulang."

"Ah, itu lebih baik. Kau bisa istirahat panjang malam ini."

Hanya dibalas anggukan bahkan pertanyaan-pertanyaan Jimin yang terdengar seperti basa-basi busuk dijawab Yoongi seadanya. Ia harap pemuda itu pergi saja, bukannya malah mengikuti sampai ke depan flat.

Menemani pulang apanya? Tidak ada yang berniat menculikku di jalan. Lagi pula aku takkan laku kalau sengaja dijual.

Kendati demikian, baru beberapa langkah melewati gerbang utama, Yoongi berhenti sejenak. Ia memutar tubuhnya, menemukan presensi Jimin masih di sana yang tidak lagi mengintilnya setelah berpesan agar ia banyak beristirahat.

Yoongi memandanginya lekat-lekat. Ucapan selanjutnya berbanding terbalik dengan apa yang dipikirkan. "Kau ingin mampir sebentar?"

Yang ditanya memiringkan kepala kurang yakin. Tawaran Yoongi membuat ia berdengung sesaat sebelum akhirnya mengangguk.

Maka dari itu, keduanya menyita perhatian di kalangan hantu. Para manusia atau penghuni flat terlihat tidak memedulikan, mereka sekadar berlalu lalang dan mengabaikan Yoongi sebagai entitas yang nyata. Sesak. Sebagai pihak yang bisa merasakan, Yoongi mencoba acuh pada puluhan pasang mata menyorot ingin tahu. Ini pertama kalinya pemuda asing diizinkan masuk ke kamarnya dan tentu saja membuat yang lain penasaran. Salah satunya berujar iseng.

"Jangan berbuat mesum di kamar."

Sembari mendorong kenop pintu, Yoongi mendongak. Menatap pria tua yang merangkak di langit-langit sambil memegangi bola matanya, Yoongi membalas, "Satu-satunya yang mesum itu hanya kau."

Jimin tersenyum tipis, memperhatikan dalam diam interaksi Yoongi dan teman-temannya. Keadaan di luar masih terdengar ramai. Mereka sukses menjadi topik pembicaraan begitu keduanya memasuki sepetak ruang.

Sekejap Jimin langsung sibuk menyebarkan pandangan. Tidak ada yang istimewa dan persis kamar murah pada umumnya. Ia mencoba melongok ke jendela di samping ranjang hanya untuk mendapatkan atap-atap rumah yang saling berdempetan. Tatkala menoleh, ia disambut tatapan skeptis dari Yoongi. Pemuda itu duduk di ujung kasur, membiarkan sekian detik dirambati hening sebelum melempar sebaris pertanyaan.

"Bagaimana rasanya mati?"

Jimin hampir merutuki dirinya sendiri. Menatap Yoongi dengan ekspresi sulit, ia memaksa menaikkan sudut bibirnya. "Kau sudah tahu?"

"Ya," gumam Yoongi setelah beberapa saat. Sejujurnya ia masih kesulitan mencerna sebab Jimin tampak berbeda dari awal pertemuan. "Kau cukup ... menipu."

"Apa itu mengganggumu?"

"Seperti yang kubilang sebelumnya, aku berteman dengan ... ya, kalau kau salah satu dari mereka, aku tidak masalah."

Bohong. Kilat sendu itu nyata. Yoongi sempat berpikir bahwa Park Jimin sama seperti dirinya—manusia seutuhnya. Harapan di kepala yang membangun kumpulan ekspektasi, berakhir dihancurkan saat menyadari mereka berbeda.

"Pertanyaanku belum kau jawab," Yoongi mengulangi. Punggungnya bersandar di kepala ranjang, kedua kaki menekuk.

Jimin yang memosisikan duduk di kusen jendela terlihat mengedik. "Kupikir semua orang paham, apa pun yang berkaitan dengan mati rasanya pasti mengerikan."

Terdengar kurang yakin dan Yoongi kembali bertanya, "Apa kau pernah berharap untuk hidup kembali?"

"Tentu saja."

"Alasannya?"

"Banyak hal."

"Itu juga yang membuatmu masih berkeliaran?"

Alih-alih menjawab, Jimin terdiam cukup lama. Irisnya menatap kosong dan seolah tidak mendapat kalimat yang tepat, ia menyahut singkat, "Ya."

Jarum jam masih bergulir di porosnya. Membawa langit kelabu saat malam beranjak datang. Tidak banyak pembicaraan, suasana semakin dipadati sunyi meskipun isi kepala lebih dari kata ramai.

Yoongi meringkuk di atas ranjang seperti udang. Matanya tertutup rapat dengan kedua tangan terjepit antara kepala dan bantal. Jimin masih ada di sana, memperhatikan dalam diam saat ia jatuh tertidur. Tidak berniat mengganggu apalagi membangunkan. Satu tangan mencoba menyentuh sisi wajah si pemuda dan yang didapatkan hanya kekosongan. Namun, cukup membuat ia tersenyum pahit juga gumaman yang tanpa bisa dicegah.

"Apa boleh aku menemuimu seperti ini?"

Perlahan Yoongi membuka matanya. Mengawasi udara hampa yang sering ia lihat kemudian tercenung lama. Lampu kamarnya belum dinyalakan, samar-samar cahaya hanya berasal dari jendela yang terbuka lebar.

Yoongi tidak menemukan siapa pun selain dirinya sendiri di ruangan tersebut. Bahkan tidak menyadari kapan Jimin pergi padahal ia tidak sepenuhnya terlelap, ia masih bisa mendengar apa yang telinganya tangkap dan juga merasakan dingin di pipi. Lantas, kedua maniknya menyorot nanar. Ia tampak gelisah. []

It's All In Your Head [MINYOON]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang