-02

350 46 10
                                    

Zia merebahkan tubuhnya di kasur dengan perasan dongkol yang menyelimuti hatinya. Pasalnya, dalam kurun waktu sebulan ini ia sudah berkali-kali ganti kacamata. Pertama, kacamatanya ketinggalan di taxi. Kedua, ia lupa dimana terakhir kali menaruh kacamatanya. Ketiga, malam hari ini, saat di rasa kacamatanya penuh embun, berniat membersihkannya, tapi malah jatuh dan berakhir di injak oleh Rega hingga remuk tak berbentuk.

Hari sudah malam, besok Zia ke sekolah harus menggunakan kacamata. Benda kecil itu sangat berharga. Tanpanya, penglihatan Zia sedikit mengabur. Zia merutuki Rega, tidak akan lupa menagih uang ganti, esok hari nanti. Bukannya Zia pelit, tapi selama tinggal di kosan ia harus berusaha hidup sehemat mungkin.

Berbekal tekad dan juga uang tabungannya sejak SMP, Zia kabur dari rumah karena alasan tertentu. Bodoamat deh. Toh, Mama sama Papa juga tidak akan peduli. Mereka hanya peduli dengan Fasya, adiknya. Alih-alih khawatir karena Zia kabur dan tidak pulang berhari-hari, mereka justru terlihat biasa-biasa saja. Tidak mencari tahu keberadaan Zia, atau setidaknya menanyakan kabar Zia lewat telepon pun, bahkan tidak. Dari situ Zia sudah mengerti. Seoalah-olah kehadiran Zia memang tidak di harapkan disana.

Walau baru terhitung tiga minggu kepindahannya, Zia sudah cukup akrab sama anak-anak kos. Di kos ini, rasanya Zia memiliki keluarga baru. Tidak hanya Zia, ada Nalla juga, teman sekelasnya yang untungnya berada di kosan yang sama. Selebihnya, anak anak kosan di dominasi oleh teteh-teteh kuliahan. Seperti Rana dan juga Fira.

"Di perhatiin, dari tadi Kapir senyum-senyum mulu deh," ujar Nalla.

Kapir itu sebutan untuk Fira, dari anak anak kos. Usianya 19 tahun, kuliah di fakultas hukum. Dari semua anak kos, bisa di bilang Fira ini paling girly. Lihat saja kamarnya, penuh dengan pernak-pernik aesthetic, kukunya yang manjalita, rambutnya panjang bergelombang, juga tutur bahasanya selalu baik. Perfect!

"Iya, nih. Kenapa, kak? Abis menang undian umroh ya?" Zia ikut menimbrung, bosan di kamar tidak bisa tidur. Sekarang mereka tengah berada di dapur. Jangan heran, dapur kosan sudah menjadi tempat bergosip ria para ciwi-ciwi.

Rana manaruh gelas teh, kemudian duduk di kursi meja makan samping Zia. "Abis first kiss tuh." Rana blak-blak an. Rana ini usianya sama seperti Fira, mereka juga berada di fakultas yang sama. Tapi jelas sifat dan kepribadiannya berbeda jauh. Ibaratnya nih ya, Fira adalah peri lembut dari kayangan, sedangkan Rana adalah medusa. Ya intinya bertolak belakang.

Zia dan Nalla kontan terkejut.

"Spill rasanya, kapir!!!!" seru Nalla. Zia yang penasaran ikut mengiyakan.

Masih senyum-senyum, Fira menjawab. "Hm, gimana ya?" Fira menopang dagu berpikir. Karena ia sendiri sulit menjelaskan bagaimana rasanya.

"Kaya permen yupi, mungkin." Celetuk Rana membuat ketiganya curiga.

"Lah, kamu sendiri udah pernah, Ran? Ko kamu ga pernah cerita ke aku?!" Kata Fira meminta penjelasan. Selama berteman dengan Rana, Fira selalu terlalu terbuka mengenai hal apapun. Mungkin karena kepribadiannya yang polos. Berbeda dengan Rana yang memang harus di desak terlebih dahulu agar cewek itu mau bercerita kepadanya.

Rana menjawab enteng, "enggak kok. Gue cuma asal nebak aja." Kemudian menatap Fira serius. "Aligator jenis Gevan tuh mainnya bukan di rawa-rawa lagi kayaknya. Seharusnya si habitatnya uda di hutan Amazon. Lo tuh cewek polos, Fir. Hati-hati aja sama modelan Gevan," kata Rana memperingati. Ia tidak mau sahabatnya terjerumus jebakan seorang Gevan  Maherdja yang terkenal playboy di kampus. Sedangkan yang di omong masih senyum-senyum sendiri seperti orang gila.

"Tenang aja, aku percaya kok sama Gevan."

"Tenang, tenang! Buktinya lo udah di sosor duluan tuh sama si buaya kampus. Liat aja, satu bulan, dua bulan, kepolosan lo yang kaya kain kafan itu bakal berubah jadi motif kembang-kembang!"

DESTINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang