SU; him.

1.9K 253 59
                                    

KUDENGAR bel berdering pelan. Bangkit dari tempat tidur, aku berjalan menuju pintu dengan langkah kuseret malas—aku bahkan nggak mengenakan sandal. Kuputar kenop pintu, lantas mendapati Anata tersenyum lebar dengan dua tas plastik di tangan. Isinya cemilan kering dan beberapa kaleng bir beralkohol rendah.

"Kejutan."

Aku mendengus, membuang muka dan berjalan kembali ke dalam. Anata tergesa masuk, melepas sendal dan mengekor. "Taaaaaaan.."

"Taaaan, ih maaf. Gue bukannya sengaja nggak angkat telepon, tapi gue tidur seharian sumpah, terus abis gitu gue keluar.." belum selesai Anata menjelaskan, aku menyelanya. "Ya kan lo bisa bales chat gue? At least?"

"—sama Gigi.." kalimat Anata menggantung.

"Oh," suaraku mencelos. Seolah semua alasan atas ketidakbisaan Anata menghubungiku tervalidasi otomatis.

Anata duduk di sofa, mengikutiku. Ia membuka salah satu tas plastik dan menyobek sebungkus keripik kentang rasa rumput laut. Sembari mengunyah, ia berbicara, "Lo bisa bikinin gue sesuatu nggak? Buat besok."

Aku mengernyit.

"Besok gue mau ke rumah Gigi. Bingung mesti bawa apa," lanjutnya.

Kernyitanku belum luruh. "Maksudnya gimana? Lo main ke rumah orang tua Brian? Ngapain?"

"Ya... main?" jawab Anata seperlunya. "Lo barusan udah menjawab pertanyaan lo sendiri."

Mengherankan bagiku karena Anata yang kukenal sebelumnya, akan menolak mati-matian ajakan siapa pun untuk memperkenalkan diri pada orang tua atau keluarga pria yang dekat dengannya.

Anata menatapku dengan wajah bingung. "Kenapa lo? Kayak habis liat setan."

Kuulurkan punggung tanganku ke kening Anata untuk memeriksa temperatur tubuhnya. "Lo sakit ya?"

"Apaan sih, Tan?" ia menepis tanganku lembut. "Nggak, kok."

"Lo aneh banget. Lo mau dikenalin ke orang tua Brian?" ulangku mempertanyakan kebenaran. "Isn't it too much to take for you?"

Anata nggak langsung menyahuti. Aku bisa merasakan air mukanya berubah. Kuhela napasku perlahan-lahan, nggak ingin terdengar terlalu menghakimi atas perubahan yang menurutku cukup mencolok baginya. Kulontarkan pertanyaan, "Lo mau bawa apa?"

Kali ini Anata menoleh dengan pupil melebar. "Bingung. Apa aja deh yang gampang dan cocok dibuat bawaan kalau bertamu, gitu."

"Mau brownie aja nggak? Atau soft cookie gitu? Brian suka nggak, kira-kira?" tanyaku melemparkan opsi. "Gue ada stok bahan kalau buat bikin dua itu."

Anata menggumam pelan. "Gigi mah omnivora, semua masuk ke perut dia. Tapi kayaknya soft cookie enak tuh. Gue belom pernah cobain bikinan lo."

Aku tertawa.

Tanganku reflek mengacak puncak kepala gadis itu sambil berdecak gemas, "Jadi soft cookie buat lo apa buat Brian?" 

Anata nyengir. "Kan gue bisa nyicip. Hehe."

Gelengan kepala adalah satu-satunya yang bisa kuberikan sebagai reaksi selain senyuman. Anata mengangsurkan sekaleng bir ke arahku. "Reconcile."

"Gue kan nggak marah sama lo," kataku cepat. Meski kuterima juga kaleng bir tersebut, menekan kaitnya dan meminumnya seteguk.

Anata angkat bahu. "Just... wanna say thank you, I guess?"

Ada jeda sesaat.

"For staying when no one was there. To be someone I relied on, you held my hands when there was nothing to be sure of, to be one of reasons to keep holding on, you made me feel like I'm human. For everything."

SHEETS AND STREETSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang