Tetangga Baru

66 3 0
                                    

“Bu, ini rumah baru kita, ya?” tanya seorang anak perempuan berusia 5 tahun. Ia berdiri menatap rumah barunya yang berdiri cukup megah. Tangan mugilnya memegang seorang
perempuan muda yang sangat cantik. Hijab yang ia kenangan memancarkan cahaya dari
wajahnya yang berseri.

“Iya sayang, hari ini kita tinggal di sini,” jawab perempuan itu.

“Faran, bantu aku membawa koper Pahan ya!” seru seorang pria tampan yang mengangkat kardus besar dari atas truk kolbak.

“Kamu masuk duluan ya, Aswita. Kamar kamu ada di lantai dua. Kalau mau naik hatihati,” ujar perempuan itu sembari mengusap rambut anaknya yang tipis. Anak itu

mengangguk kemudian masuk ke dalam, memperhatikan para tukang yang sedang sibuk menata barang-barang.

“Aswita bakal betah enggak ya, Jidan?” Faran menghampiri Jidan yang sedang kesusahan mengangkat kardus besar itu.

“Pasti betah dong, Faran. Sekalian kita renovasi tangga sama kamar Aswita. Aku agak riskan melihat tangganya yang tidak ada pegangan. Aswita sedang masa-masanya nakal tidak bisa diam,” jawab Jidan dengan yakin.

Faran memegangi sisi lain dari kardus itu, mereka kemudian memasukkannya bersamasama ke dalam rumah. Nampak Aswita sedang duduk di anak tangga paling bawah memandangi kedua orang tuanya dengan senyum ceria. Faran menghampiri anaknya. “Kamu
kenapa duduk di sini?”

“Aswita enggak mau naik ke atas, Bu,” jawab anak itu dengan polos.

“Iya jangan naik dulu ke atas. Ayah mau renovasi dulu tangganya biar aman.” Jidan mencubit kecil pipi anak menggemaskan itu.

“Aswita enggak mau, Yah. Ada yang melototin di atas tangga. Lidahnya panjang banget, matanya merah, badannya kayak cengcorang tapi rambutnya gimbal. Hih!”

Sontak pasangan suami istri itu tersentak kaget, tak terkecuali para tukang yang seketika menghentikan pekerjaannya. Mereka saling menatap dengan wajah pucat dan ketakutan. Jidan mengintip ke atas tangga, tapi ia tidak mendapati apa-apa. Ia menelan ludah dengan perasaan was-was. Memandangi istrinya yang memasang senyum sambil kebingungan.

“Mungkin karena Aswita masih kecil, Dan. Jadi imajinasinya masih tinggi dengan halhal seperti itu,” ujar Faran berusaha mencairkan suasana.

Salah satu tukang ikut berkomentar. “ Mungkin anak ibu punya indera keenam. Hatihati, Bu. Anak yang sensitif dengan hal gaib harus banyak diperhatikan. Biasanya kalau bisa
melihat seperti itu, makhluk gaibnya senang bermain dengan anak Ibu.”

Jidan menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. “Mungkin bakat dari mendiang kakeknya juga, Pak.”

“Tadi kakek yang usir hantunya Yah,” celoteh Pahan.

Sontak Jidan melongo karena semakin kaget. Faran berusaha mengalihkan pembicaraan. “Aswita biar aku ajak main aja, Dan. Kamu sama yang lain biar bisa lanjut lagi
beres-beresnya.”

Jidan menatap Faran dengan ekspresi bingung. Dia kemudian mengangguk dan segera menyelesaikan pekerjaannya bersama para tukang. Faran membawa Aswita ke luar rumah.

Mereka memutuskan berjalan-jalan disekeliling kompleks, sembari menyisir tempat. Saat ke luar dari gerbang, Faran menatap sepasang suami istri yang nampak sedang berdebat di teras rumahnya. Tetangga yang dilihatnya adalah Wida dan Bima, mereka tengah bertengkar.

Faran segera menundukkan pandangan, karena tak sengaja melihat pertengkaran keduanya.

Tapi, Wida sudah terlebih dahulu memergoki Faran yang melihat ke arahnya. Faran dengan canggung memberikan senyum. Bima kemudian masuk ke dalam rumah. Sementara Wida berpura-pura tidak terjadi apa-apa, menghampiri Faran yang berdiri mematung di depan  gerbang rumahnya.

Prewangan [Sudah Terbit] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang