Intro lagu Selena Gomez ft Charlie puth berjudul we don't talk anymore mulai terdengar. Aku berjalan terus menyusuri jalanan basah. Air mataku juga ikutan terjatuh sama persis seperti air hujan yang tidak memberi aba-aba akan turun hujan. Lagu yang ku dengarkan melalui earphone tidak berhasil membuat suasana ku membaik, bahkan itu membuat aku semakin tertampar oleh kenangan seseorang yang membuat aku terbunuh perlahan oleh masa lalu itu.
"Ya Tuhan, kapan ini akan berakhir"
teriak ku di tengah hujan dan petir yang saling menyambar di upuk barat."Aku benci kamu gellar, aku Bennnn...ciiii" Isak ku.
Kakiku gemetar, seketika itu aku terjatuh di atas aspal yang semakin tergenang oleh air hujan. Sial, sebab lelaki yang ku temui tadi. Aku kembali menjadi orang tolol yang sangat butuh di beri iba.
Aku merasakan jika Badan ku tidak di hantam oleh pukulan-pukulan kasar hujan, mungkin hujan sedang bergeser tempat, semesta kasihan melihat gadis malang yang tengah terisak dan beku kedinginan, untung saja jalanan bandung sore ini begitu sepi. Jadi aku tidak perlu merasa malu. Bodoh sekali Dila.
"Lama banget berdirinya,pegel tau aku megangin ini payung udah kek orang bego"
Suara itu, membuat aku menoleh ke atas.
"Ian?" Ucap ku tak sadar."Lah, iya ini aku Dila, kamu ngapain kek gii.." ucapan Ian terhenti, ia seperti teringat akan sesuatu.
"Ya ampun ,Dil please deh gausah kayak orang bego gini" rutuk pria tinggi dengan kaos oblongnya yang tanpa ku sadari pria itu berjongkok di samping ku, sembari menatap iba lalu ia memeluk ku erat. Hangat, itu yang aku rasakan.
Dari arah belakang Ian, terlihat seorang lelaki berseragam TNI berlari ke arah kami. Tetapi langkah lelaki itu terhenti.
***
Rumah berwarna putih dan masih di hiasi oleh semak-semak ilalang itu menjadi pilihan ku, Ian sudah protes memang sejak aku memutuskan untuk tidak melihat rumah-rumah lain yang katanya akan di jual. Aku sudah terlalu suka dengan rumah bernuansa klasik ini. Alasan ku "ya, ini bisa kita sewa orang buat bersihin. Aku udah terlalu jatuh cinta sama rumah ini"Ian cuma terkekeh mendengar ucapan ku, Ian sudah paham jika sahabatnya ini tidak akan berpidah ke sesuatu yang lain jika ia sudah kepalang suka dan akan dia pertahanan.
"Kamu tu susah memang, sama kayak perasaan." Ucap Ian tiba-tiba."Perasaan apa Ian?" Tanya ku.
"Perasaan mu kepada nya, hahaha"
ian tertawa terbahak bahak oleh ulah nya sendiri. Adrian Martadinata seorang pengusaha muda,mempunyai sebuah cafe dan berbagai macam usaha kecil lain nya. Anak itu memang sudah sangat suka berjualan sejak zaman masih memakai seragam sekolah. Aku ingat satu hal mengenai ian.
"Kamu kalo aku jual laku loh Dil"Sebuah tonjokan tepat mengenai bibir sexy ian.
"Lah, aku becanda gellar" seorang lelaki yang Ian sebut gellar lah, yang membuat sudut bibir bawah Ian berdarah."Becandaan kamu gak lucu bro, dia pacar ku, pacar sahabat mu."
***
"Woi, kamu mikirin apaan sih?"
"Kesambet entar" Ian membuyarkan lamunanku akan sisa-sisa kenangan itu."Pemerintahan zaman Nazi" jawab ku asal.
Ian dan Shelly terkekeh mendengar ucapan asalku itu.
Shelly duduk di kursi sebelah ku."Masih mikirin bang gellar ?"
Tanya gadis cantik yang sebentar lagi akan menikah.
"Udah berusaha buat lupa, tapi tetap aja kalah sama perasaan"
Shelly menarik ku kedalam pelukan nya. "Aku ngerti, Shelly ngerti gimana perasaan Dila dan gimana perjuangan Dila selama 7 tahun ini. Enggak mudah dil, tapi Dila harus yakin kalo berpisah dengan bang gellar adalah jalan terbaik dari Tuhan."
KAMU SEDANG MEMBACA
JEJAK antara RUANG
Fiksi RemajaOktober 2019. Musim hujan dengan rintik yang sedikit membuat jiwa ku meronta-ronta. Dalam diam aku membayangkan satu hal kecil tentang masa lalu yang seharusnya tidak aku biarkan berlalu. Atau sejak awal aku biarkan berhenti. Lar, aku rindu.