Kevlan Kevindra: Kupu-kupu Hitam

43 7 1
                                    

"Bukan takdir yang salah, melainkan kelemahan dan kemalasanku lah yang membuat semuanya terasa begitu hampa"
.
.
.
.
.
.

Aku bisa mendengarnya. Suara wanita yang telah melahirkanku, tengah mendesah penuh kenikmatan bersama seorang pria yang telah memberinya puluhan juta rupiah untuk waktu satu malam.

"Ibu, aku pergi dulu. Terima kasih uang jajannya," Gumamku pelan sembari menatap pintu depan rumahku, kemudian meraih amplop yang tergeletak di depan pintu.

Sambil berjalan menuju tempat nongkrong, aku menyobek amplop tadi, mengambil lima lembar uang merah muda dan menyimpannya di saku.

Hahaha, tak ku sangka, aku masih mau menerima uang haram ini untuk sesuatu yang kotor juga. Aku terkekeh setelah memikirkannya.

"Hei, bro!" seseorang menepuk pundakku dari belakang.

Aku menoleh, "Yo,"

"mau pergi ke tempat biasanya?" Dani berjalan di sampingku.

Aku mengangguk, "Aku mau pergi ke mini market dulu. Suruh yang lain berkumpul di jembatan. Kau mau apa?"

"Aku? Terserah. Yang penting aku kenyang..!" Dani berlari menjauhiku sambil melambai  tanpa menoleh kebelakang.

Ckckck, selalu seperti itu. Seharusnya dia menemaniku berbelanja.

Rutinitasku setiap malam adalah begadang bersama anak-anak jalanan yang menghabiskan malam mereka dengan balap liar, merokok, mencari mangsa wanita yang lewat, dan hura-hura yang lainnya. Ibuku, apa dia marah? tidak. Dia justru bersyukur karena aku tak pernah mengeluh soal kekurangan kasih sayang atau pun uang jajan. Ia bahkan menyarankanku untuk tidak menginap di rumah saat ia membawa pelanggannya. Tentu saja, aku tak pernah bisa tidur karena jalang itu akan membuat suara-suara aneh bersama pelanggannya.

Sebagai anggota geng aku cukup dihormati meski aku yang paling muda. Usiaku masih lima belas tahun dan aku masih suci tentunya. Alasanku Bergabung bersama mereka hanyalah untuk mengisi waktu malamku.

Mereka menerima aku yang masih polos dan aku merasa senang walau tahu alasan mereka menerimaku hanyalah untuk memerasku. Setiap malam, aku akan membelikan mereka pengisi perut dan para sampah masyarakat itu akan mengerumuniku.

"Anjing pintar,"

"Kevlan yang terbaik!"

"kau hebat, Kev!"

"Esok traktir lagi, ya ...,"

"Anak baik ...,"

Berbagai macam pujian menghampiri dan aku merasa senang akan hal itu. Dasar, betapa naifnya diriku!
tapi, berkumpul bersama anak geng seperti ini lebih baik daripada di rumah.

Setelah semua itu, aku kembali ke rumah dengan rasa hampa dan satu lembar uang biru muda yang ada di saku celanaku.

"Mmph-haah ..., pelan-pelan tuan!" Suara jalang itu, aku bisa mendengarnya padahal aku masih di halaman rumah. Pikiranku, khayalanku, semua berputar-putar di kepalaku.

Sensitive LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang