Bab 9 - Harga Dunia Mimpi

18 2 21
                                    

Bukanlah kemenangan ketika kau menemukan dunia mimpi

Kemenangan yang sesungguhnya adalah ketika dunia mimpi menginginkanmu, mendapatkanmu, dan ... tidak akan pernah melepaskanmu

Kemenangan itu hanya milik Morpheus semata

***

24 Demeter

(24 September)

"Jadi, apa rencanamu?" Pemuda utusan Ratu Lelyan bertanya selagi Kian mencari sepasang jubah lagi di lemari. Lene yang semula sedang memaku pandangan ke luar merasa tertarik untuk menoleh, menunggu jawaban dari pertanyaan pemuda bernama Klaus itu. "Kau tidak mungkin melarikan diri tanpa memikirkan konsekuensinya secara matang, bukan?" Lene dapat mendengar keraguan dalam suara Klaus, tetapi dia enggan menyela. Karena Kian tak kunjung memberikan jawaban, pemuda itu mendaratkan bokongnya ke kursi empuk berlengan. "Ada kalanya terlalu bersemangat tanpa memikirkan satu pun risiko yang ada itu tidak baik, Pangeran," simpulnya.

Kian berbalik, melempar selembar jubah kelabu usang kepada si pemuda. "Mengenakan pakaian dengan warna mencolok seperti itu," Kian menunjuk dengan manik mata birunya, "apa itu yang kau maksud dengan memikirkan segala risiko yang ada?"

"Oh, ayolah, Pangeran. Kau tidak mungkin memperdebatkan perkara risiko dan pakaian ini, bukan?"

"Kau yang memulainya, Klaus."

"Rencana melarikan diri dari cengkeraman Dewi Nellasi dan Kapten Warden Kaur tidaklah sesederhana bersembunyi di balik bayangan dengan jubah seperti ini, Pangeran."

"Aku tahu itu." Kian menegaskan. Dia bahkan sudah menyusun rencana pelarian ini dari jauh hari, bahkan dari sebelum bertemu dengan Lene di bangsal Morphial. Kian juga tahu bahwa tak ada kata mudah untuk melarikan diri dari kastel. Hanya saja, Kian belum yakin akan berbagi rencana pelariannya dengan seseorang yang tiba-tiba datang menawarkan diri. Ya, bagaimanapun, masih tersisa sedikit keraguan dalam diri Kian terhadap Klaus.

Klaus tersenyum sekilas saat mengambil satu lentera minyak dalam ceruk di meja. Wajah Klaus menyala dalam satu-satunya balutan pendar api yang menyala di ruangan itu. Sorot mata Kian tidak dapat berbohong dan harus Klaus akui, dia sedikit terluka dengan kecurigaan yang Kian tujukan kepadanya.

"Pernah mendengar pepatah 'Pengemis tidak berhak memilih,'? Atau tatapanmu itu lebih seperti insting pertahanan diri? Entahlah. Setuju atau tidak, Ratu Lelyan telah mengutusku. Seseorang yang tidak pernah memikirkan orang asing dan lebih memilih mempertahankan takhta dan influensnya justru mengutus seseorang yang pandai dan lihai—hai, itu aku—untuk membantumu. Mungkin kau adalah seorang pangeran, Kian, tetapi mempertahankan diri untuk berdiri sendiri berada di taraf arogan yang spektakuler, apakah aku keliru?" Mendadak senyum di wajah Klaus berubah menjadi sebuah seringai. Klaus tidak bermaksud mengintimidasi, tetapi cahaya kemerahan yang diciptakan oleh lentera minyak itu membuat segala di diri Klaus tampak dan terdengar mencekam. Seakan, Kian dan Lene sedang berada dalam kendalinya. "Aku yang akan mengawal perjalanan kalian mulai saat ini dan aku harap kita bisa saling mempercayai satu sama lain."

"Aku tidak bermaksud mencurigaimu, Klaus." Suara Kian merendah, begitu pula dengan manik matanya yang menolak untuk membalas tatapan Klaus karena rasa bersalah. "Baiklah." Lalu Kian mulai membeberkan rencananya. "Aku berencana melarikan diri menuju Kerajaan Erlemsia di selatan untuk menghindari Dewi Nellasi yang sedang dalam perjalanan kembali dari utara."

"Oh, aku pikir, sang Dewi hendak menghabiskan beberapa hari lagi di Kerajaan Fen. Namun, sepertinya, Morphella terlihat lebih menggoda di dalam pikirannya saat ini," komentar Klaus, mengingat hari besar yang Nellasi nantikan akan segera tiba. Dia menimang-nimang sebentar sambil menghangatkan telapak tangannya yang kering di luar kaca lentera, sementara Kian mengambil waktu untuk memasang sarung pedang bermata panjang miliknya di balik jubah. Setelah itu, dia berjalan menghampiri Lene.

MORPHEUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang