PROLOG

184 12 0
                                    

Namanya Diona Mackloyd, perempuan yang benar-benar sempurna dalam segala hal. Semua orang menyukainya, baik laki-laki maupun perempuan. Sifatnya yang ramah membuat semua orang merasa nyaman saat berada di dekatnya.

Terkadang aku merasa iri dengan segala yang ia miliki. Bukan hanya fisik, tetapi kehidupannya yang serba mewah dan barang-barang berkelas yang selalu terpampang di tubuhnya.

Dan satu hal lagi yang membuat hatiku terbakar, yaitu saat melihat Diona bermesraan dengan pria yang sudah aku sukai selama 5 tahun.

Pria itu bernama Leonard, namun lebih biasa dikenal dengan panggilan hantu karena matanya yang hitam gelap. Dia pria yang cukup kasar dan tidak memiliki sopan santun, namun di mataku tetap saja ia yang paling spesial.

Baiklah kita kembali ke pembahasan tentang Diona. Jika kalian ingin tau tentang seberapa sempurnakah perempuan itu, aku hanya bisa memberikan sedikit bocoran. Ia memiliki rambut berwarna coklat yang bergelombang, hidungnya tak terlalu mancung tapi enak di pandang, matanya bulat, dan bibirnya pink berkilauan.

Aku tak bisa dibandingkan dengannya.

Yah, mungkin hanya satu keunggulan yang aku miliki, yaitu kecerdasan. Sekedar informasi, aku baru saja memenangkan olimpiade sains tingkat nasional. Namun tetap saja walaupun aku dianugerahi otak yang pintar, semua orang seolah menganggap diriku seperti angin lewat.

Tapi demi Leonard, aku akan berusaha melewati hari-hari yang suram dengan senyuman yang palsu.

•••

"Hey, Diona! Leonard datang." Ujar ketua kelas sambil menepuk bahu Diona dengan pelan.

Senyum Diona pun merekah seketika saat mendengarnya, ia mendapati Leonard yang sedang berjalan ke arah mejanya sambil membawa sesuatu di tangannya.

Jangan tanyakan bagaimana reaksiku, karena aku sudah menyiapkan tisu sebanyak mungkin sebagai persiapan jika suatu waktu aku akan menangis.

"Sedang apa hm?" Tanya Leonard sambil tersenyum lebar.

Oh tuhan, indah sekali pemandangan ini.

Diona pun ikut tersenyum, "Ah, aku hanya sedang membaca buku sejarah. Ada keperluan apa kau menemuiku?"

Leonard menatap mata Will yang merupakan teman sebangku Diona, hingga pria itu segera lari terbirit-birit seperti ketakutan. Leonard pun segera menduduki bangku itu.

Tiba-tiba mata Leonard menangkapku yang sedang mengamati setiap inci wajahnya, "Aku merindukanmu."

Aku yang kepergok basah pun langsung mengalihkan perhatian dengan berpura-pura membaca buku matematika. Jantungku terasa sesak saat bertatapan dengannya.

"Yang benar? Kita baru saja bertemu 1 jam yang lalu bodoh!" Tangan Diona memukul kepala Leonard dengan keras, namun pria itu segera menarik tangannya dan mencium tangan itu dalam-dalam.

"Fuck!" Teriakku dengan keras hingga semua orang menoleh, termasuk Leonard yang masih mencium tangan Diona.

"Maaf, aku hanya kesal dengan soal matematika." Ucapku berbohong sambil menatap Leonard, lalu berlari ke luar kelas dengan tatapan yang sendu.

Aku tidak sanggup jika terus menerus melihat mereka berdua. Dadaku terasa sakit, tapi apa yang bisa aku lakukan? Aku bukan siapa-siapa.

"Hey tunggu!" Terdengar suara pria yang memanggilku samar-samar. Aku pun segera menoleh ke belakang.

Leonard?

"Namamu Roseanne bukan?"

"I-iya, ada apa?"

Baru kali ini aku berbicara dengan pria yang sudah aku sukai selama 5 tahun. Rasanya seperti terbang di angkasa.

"Aku akan bersikap baik kali ini, tapi jika kau masih mengganggu pacarku, aku tidak akan segan-segan mempermalukanmu di hadapan semua orang!"

Tunggu dulu, siapa yang dia maksud? Aku tidak pernah mengganggu siapapun. Pacar? Apa maksudnya?

Leonard semakin mendekat, wajahnya tampak merah padam. Aku pun ikut memundurkan tubuhku, hingga langkahku terhenti di depan dinding koridor kelas.

Ia mengunciku dengan kedua lengannya, "Aku membencimu!"

"Le-leonard, apa maksudmu? Aku tidak mengganggu siapapun dan aku tidak mengenal siapa pacarmu." Ujarku dengan suara yang serak.

"Dia pacarku!" Tegas Leonard sambil menunjuk ke arah Diona yang berjalan mendekati kami berdua.

Sejak kapan? Mereka?

"Ta-tapi aku tidak pernah mengganggu Diona!"

"Jangan berbohong Rose, aku tahu jika kau tidak menyukaiku. Kau berniat jahat padaku kan?" Balas Diona dengan ekspresi yang dibuat-buat, membuatku semakin membencinya.

Memang benar jika aku tidak menyukainya, tapi aku tidak pernah berniat jahat pada Diona.

"Aku tidak! Aku!" Ucapanku terhenti seketika saat melihat tatapan tajam Leonard.

Aku memang tak sanggup jika melihat Leonard dan Diona bersama, tapi aku lebih tak sanggup jika melihat Leonard membenciku. Aku pun segera melesat pergi, pergi sejauh mungkin jika bisa.

Aku menangis sekencang mungkin saat berhasil kabur dari sekolah. Kembali terlintas wajah Leonard, membuatku semakin bersalah walau aku tak melakukan apapun pada Diona.

Satu-satunya tempat yang ingin ku kunjungi yaitu rumah nenek Lilia, seorang wanita tua yang pernah ku selamatkan saat terjadi kecelakaan yang lokasinya tak jauh dari sekolah. Sudah beberapa hari ini, aku selalu mengunjunginya karena ia tinggal sebatangkara tanpa keluarga.

Sesampai disana, aku pun segera mengetuk pintu rumahnya dengan pelan. Tak butuh yang lama, ia pun segera membuka kan pintu rumahnya dan mempersilahkan ku untuk masuk.

"Kau ingin minum sesuatu?" Tanya nenek Lilia padaku.

"Air putih saja cukup nek."

Selagi ia mengambil air minum, aku pun memanjakan mataku dengan lukisan-lukisan indah yang ada di rumahnya. Beberapa barang aneh juga menarik perhatianku, contohnya seperti pahatan kayu berbentuk singa di sudut ruangan.

"Jika kau suka ambil saja."

"Ah, tidak aku hanya melihat-lihat saja." Ujarku sambil tersenyum hangat.

"Kau sedang ada masalah, Roseanne?" Tanya nenek Lilia dengan ekspresi wajah yang tampak serius.

"Apakah terlihat jelas dari raut wajahku?"

"Aku bisa membaca pikiranmu nak," nenek Lilia merebahkan dirinya di atas sofa besar yang ada di sebelahku.

Aku pun hanya menunduk, masih tak percaya dengan ucapannya barusan.

Tangannya sibuk mencari sesuatu di bawah meja. Tiba-tiba sebuah buku tebal berwarna hitam diletakannya di atas meja.

"Coba kau ambil buku itu, lalu buka halaman 112. Disitu jawabannya."

Aku tak mengerti sepenuhnya dengan apa yang baru saja ia katakan. Mau tak mau, segera ku ambil buku itu dengan cekatan. Tepat di halaman 112, nenek Lilia tersenyum kepadaku.

Buat satu permohonan saat hujan turun besok.

"Maksudnya?"

"Hm, sungguh aneh. Biasanya buku ini akan memberikan solusi, bukan perintah. Tetapi apa salahnya mencoba? Mungkin besok adalah hari keberuntunganmu."

"Ya, semoga saja begitu."

ROSEANNETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang