2

69 9 2
                                    

Kakak tidak mau mengantarku ke sekolah, tentu saja ia masih marah padaku. Ibu dan ayah juga sibuk dengan pekerjaan mereka, mau tak mau aku harus menumpang dengan sahabatku yang kebetulan rumahnya hanya beberapa blok dari rumahku.

Aiden Walter, satu-satunya teman yang aku miliki di sekolah. Terkenal nerd dan misterius, namun ia cukup asik saat diajak berbincang. Kami sekelas dan hanya dia teman curhatku. Tentu saja ia tau jika aku sudah menyukai Leonard selama 5 tahun.

Ia baik, namun terkadang sifatnya jutek dan kurang ramah, tapi itu tidak masalah selama ia mau menjadi teman dekatku.

Aku pun segera pergi ke rumah Aiden. Membuka pagar rumahnya, lalu memanjat pohon tinggi agar bisa meloncat ke balkon kamar pria itu. Maaf jika terdengar kurang sopan, namun ia sendiri yang menyuruhku untuk melakukan itu.

"H-hey, apa yang sedang kau lakukan?!" Teriakku dengan suara yang lantang. Pasalnya aku tak sengaja melihat pria itu sedang mencium bantal berulang kali sambil memejamkan kedua matanya.

"A-apa yang kau lakukan di rumahku. Ma-maksudku sedang apa kau disini?" Aiden terlihat gelagapan saat melihatku yang sudah berdiri tegak di hadapannya.

"Tentu saja aku ingin berangkat ke sekolah bersamamu. Bisakah kau jelaskan padaku apa yang baru saja aku lihat?"

"Bu-bukan apa-apa. Lupakan, mari kita berangkat sekarang." Ia segera merangkul tasnya, lalu menarik tanganku agar mengikuti langkahnya.

Orangtua Aiden memaksaku untuk ikut sarapan dengan mereka, namun segera aku tolak dengan mentah-mentah karena perutku sudah sangat kenyang. Begitu juga dengan Aiden yang mengatakan jika kami sudah terlambat.

Ia menyuruhku untuk menunggu dirinya di depan pagar rumah, karena ia ingin mengeluarkan sepeda miliknya di garasi.

"Cepat naik." Aku pun segera naik sambil memegangi tas warna hitam yang ia pakai. Jalanan tampak licin, membuatnya sedikit kesulitan mengayuh sepeda, ditambah lagi dengan tubuhku yang sangat berat.

"Aiden, apakah kau kesulitan?"

"Ya, sedikit."

Aku pun menepuk bahunya dengan pelan, "Badanku sangat berat ya?"

Ia terdiam cukup lama, namun akhirnya ia membuka suara.

"Tidak."

"Bagaimana jika kita berjalan kaki saja? Kita bisa berlari sekencang mungkin."

"Ide bagus. Tapi bagaimana dengan sepedaku?"

"Benar juga, lupakan saja ucapanku barusan."

Ia pun tiba-tiba mengerem sepedanya dengan mendadak hingga aku tak sengaja memeluk pinggang pria itu.

"Turun." Ujar Aiden dengan suara yang datar.

"Ah, baiklah. Tapi kenapa kau menyuruhku turun?"

"Aku lelah, kita jalan kaki saja."
Kami pun akhirnya berjalan santai sambil menggiring sepeda milik Aiden.

Tiba-tiba Aiden menatapku, ia seolah ingin mengatakan sesuatu tetapi sepertinya ia merasa canggung.

"Ada apa?" Tanyaku pada pria itu.

"Bolehkah aku bertanya?"

"Tentu saja, aku tidak akan melarangmu."

"Pria idamanmu seperti apa, Roseanne?" Pipinya memerah saat mata kami tak sengaja bertemu.

Aku hanya terdiam saat mendengarnya, karena aku tidak tau harus menjawab apa. Memang benar jika tipe idealku adalah Leonard, tapi aku tidak enak jika mengatakan hal itu padanya.

Aiden masih menatapku dengan dalam, "Lupakan, pasti pria idamanmu seperti Leonard kan?"

"Ya begitulah. Kenapa kau bertanya seperti itu?"

"Kau tidak perlu tau." Ujar Aiden dengan ekspresi yang kembali datar seperti sebelumnya.

Langit yang pada mulanya berwarna biru cerah seketika berubah menjadi mendung, tiba-tiba hujan pun turun dengan sangat deras. Tak ada tempat berlindung di sekitar dan kami memerlukan waktu yang lama untuk sampai di sekolah.

Aiden tersenyum tipis saat melihat ekspresi wajahku yang panik. Ia segera membuka tasnya, lalu mengeluarkan sebuah jaket tebal dan membungkusnya di kepalaku walaupun ia tau jika itu sia-sia karena terkena air hujan.

Badannya pun ikut tercetak jelas di balik kemeja putih yang ia kenakan. Ia juga sedikit menari kecil dan tampak kegirangan. Aku bingung, tapi tanpa sadar senyumku juga ikut merekah melihatnya.

Aku pun ikut menari bersamanya di bawah hujan dan itu membuat hatiku menghangat seketika.

"Ada apa denganmu? Kenapa kau tampak bahagia?" Tanyaku pada pria yang kegirangan itu.

"Aku suka hujan."

"Aku juga." Balasku sambil tersenyum lebar.

Seketika aku teringat dengan ucapan nenek Lilia. Ia mengatakan jika permohonanku akan dikabulkan saat hujan. Aku pun segera memikirkan permintaan apa yang sangat aku butuhkan sekarang.

Tiba-tiba Aiden mendekatiku, ia membisikkan 3 kata. Namun, aku tidak bisa mendengarnya karena hujan semakin deras. Aku pun tak menghiraukan ucapannya.

"Aku harap, aku adalah Diona!" Aku berteriak sekencang mungkin.

Ia terdiam, senyuman yang sebelumnya terukir di bibir merahnya pun menghilang seketika. Aku tidak bisa mengartikan ekspresi yang ia tunjukkan.

Apakah aku salah bicara?

•••

Aku tak sengaja melihat Leonard sedang duduk sendirian di Rooftop. Aku ingin menghampiri pria itu, sekedar ingin menanyakan kabarnya tetapi kakiku mendadak terasa lemas.

"Hey penguntit, apa yang kau lakukan disana?" Ujar Leonard mengagetkan ku.

"A-aku bukan penguntit!"

"Masa bodoh, cepat kau kemari." Aku pun segera menghampiri Leonard dengan langkah yang kikuk. Ia tak menoleh sedikitpun ke arahku.

"Aku tau jika kau menyukaiku sejak lama. Benar kan?"

Aku nyaris jatuh ke belakang saat mendengar ucapannya. Aku tidak bisa mengelak lagi.

"Kau tau darimana?"

Ia pun menatap mataku seketika, "Itu tidak penting sekarang. Jika kau benar-benar menyukaiku, bisakah kau menolongku?"

Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengangguk sekencang mungkin.

"Ini tidak sulit, kau hanya perlu mengawasi Diona selama 24 jam penuh. Cukup gampang bukan?"

"Ah, iya." Ujarku sambil menggaruk belakang leher karena merasa bingung.

"Jangan lupa, beritahu aku semuanya. Terutama jika ia bermesraan dengan teman sebangkunya itu!"

"Baik Leonard." Aku tak bisa mengontrol diriku saat berhadapan dengan Leonard,

"Hanya kau harapanku, jadi aku mohon jangan kecewakan aku ya!" Ucap Leonard, lalu tersenyum lebar sambil mengusap rambutku dengan pelan. Nafasku terasa sesak, bahkan tubuhku bergetar hebat. Pria itu pergi meninggalkanku tanpa bertanggung jawab atas perbuatannya barusan.

Ku alihkan pandanganku ke lantai bawah, terlihat jika Aiden sedang berlari mengelilingi lapangan karena ia sedang mendapatkan hukuman. Jika bukan karena Aiden yang membantuku untuk menaiki dinding belakang sekolah, mungkin aku juga akan ikut dihukum oleh Madam Reina.

Tetapi bukankah ia tadi juga ikut memanjat dinding bersamaku? Lantas mengapa ia diberi hukuman? Aku akan menanyakan hal itu padanya nanti.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 13, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ROSEANNETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang