1 • Ketua Osis

106 9 20
                                    

Terkadang saat melihatmu, Aku bertanya-tanya mengapa Aku seberuntung ini.

-Iqbal Daffa Althaf-









Brakkk!!!

"Iqbal!! Kamu kapan habis rapatnya? Cia laper!"

Suara melengking itu membuat seisi ruangan tersentak. Cia meneguk salivanya dengan susah payah saat belasan pasang mata itu menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Mulai lagi deh kucing lo Bal," ujar Adit sambil membetulkan posisi kaca matanya dan terkekeh pelan.

Iqbal tersenyum geli melihat wajah polos  Cia yang tampak salah tingkah diambang pintu ruang Osis. Iqbal pun meletakkan beberapa lembar kertas yang ada di genggamannya keatas meja "Gue keluar bentar."

Tanpa persetujuan siapapun yang berada di ruangan itu, Iqbal melangkah keluar mendekati Cia yang meremas jari-jarinya yang berubah menjadi dingin.

Cia pun mundur beberapa langkah dari tempatnya saat Iqbal keluar dan menutup pintu ruang Osis yang di dobrak paksa oleh pacarnya itu.

"Cia udah laper? Perasaan tadi udah makan bakso di kantin," ujar Iqbal lembut sambil mengelus puncak kepala Cia.

"Tapi kan itu makan siang Bal," bantah Cia. Iqbal mengangkat alis tebalnya itu dengan heran.

"Terus sekarang namanya makan apa?"

"Makan sore," sahut Cia lagi tanpa dosa. Iqbal menghela napas pelan. Ada-ada saja hal ajaib yang selalu dikeluarkan Cia.

"Bentar lagi kelar kok. Kamu tunggu di mobil aja biar gak panas. Ini," ujar Iqbal mengeluarkan kunci mobil dari saku celananya dan menyodorkannya pada  Cia.

"Nggak mau. Cia nunggu Iqbal disini aja," tolak Cia berlari kecil kearah bangku panjang didepan kelas X IPS 1, tak jauh dari ruang Osis.

Iqbal merasa kasihan melihat pipi Cia yang memerah akibat kepanasan. Wajahnya juga tampak lelah bersekolah dari pagi dan kini harus menunggu Iqbal selesai rapat.

Iqbal pun bergegas masuk kembali kedalam ruangan.

"Untuk hari ini cukup," ujar Iqbal penuh wibawa seperti biasanya. Berbanding terbalik saat ia berbicara dengan Cia.

"Tanggung lah Bal. Tinggal ngomongin masalah dana acaranya doang," ujar Fera sekertaris Osis.

Seisi ruangan pun berubah menjadi bising menanggapi pernyataan Iqbal dan Fera barusan.

"Kita lanjutin besok," sambung Iqbal lagi tanpa bantahan. Satu-persatu pun bergerak meninggalkan ruangan itu setelah membereskan barangnya.

Iqbal pun bergegas merapikan beberapa berkas yang telah selesai mereka kerjakan hari ini dan besok akan diserahkan ke kepala sekolah.

"Si Cia ngambek Bal?" tanya Adit sahabatnya yang kini berdiri disampingnya.

Iqbal menggeleng kecil sambil menaruh tumpukan kertas itu kedalam rak.

"Ntar malam jadi ngumpul?" tanya Iqbal dan diangguki cepat oleh Adit.

"Galen, Farel sama Hans bilang di rumah gue aja,"

"Qila gimana?" tanya Iqbal.

"Gue udah ijin tadi mau main. Dibolehin," sahut Adit dan diangguki mengerti oleh Iqbal.

"Lo udah di ijinin sama Cia?" sambung Adit.

"Pas balik gue ijin. Pasti dikasih," sahut Iqbal.

"Oke kalo gitu. Gue duluan Dit," pamit Iqbal melangkah lebih dahulu dengan langkah lebar.

Something Called DifferenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang