PARUH TERAKHIR

371 50 11
                                    

Semenjak mendengar kabar kematian Nana, Singto semakin yakin bahwa kejadian-kejadian tragis itu memang berhubungan dengan dirinya. Singto masih ingat bagaimana kemarin Nana mencoba merayunya. Singto terkesiap, ia ingat bahwa kemarin tak hanya ada Nana yang ada di sana saat itu, Lily juga bersama mereka. Singto memejamkan matanya, mencoba menarik benang merah dari semua kejadian ini. Sikap aneh Lily yang terlalu tenang. Nana yang terakhir kali ia lihat bersama Lily.

"Kenapa hanya Nana yang menjadi korbannya?"

"Apa mungkin..." bisik Singto.

"Ah! Tidak... tidak... tidak.... Tidak mungkin Lily dalang dari semua pembunuhan ini. Tetapi kalau memang benar dia pelakunya, kenapa Lily melakukannya?"

Saat kepala Singto pusing memikirkan hal itu, wajah Krist dan kedekatan mereka akhir-akhir ini terbesit dalam otaknya. Krist juga termasuk orang yang mendekatinya. Seketika Singto khawatir pada Krist, ia takut kalau pemuda itu akan menjadi target pembunuhan selanjutnya. Ia tak boleh membuat Krist berada dalam bahaya. Ia harus menjauhi Krist agar pemuda itu tetap aman.

Sebuah pesan datang dari Krist.

Phi Sing, sudah makan siang?

Kerutan muncul di antara kedua alis Singto. Ragu dengan apa yang harus dilakukannya.

"Maaf, Krist, bukan maksudku untuk mengabaikanmu, tapi ini demi keselamatanmu." Batin Singto sambil menatap ponselnya.

Kali ini ia harus menahan diri untuk membalas pesan itu. Singto yang tengah tenggelam dalam pikirannya tidak menyadari jika ada seseorang baru saja duduk di sampingnya.

"Phi Sing," sapa Krist yang tentu saja membuat Singto terkejut.

"Krist?! Sejak kapan kau di sini?"

"Lima menit yang lalu." Jawab Krist dengan senyuman.

Singto yang ingat akan kekhawatirannya pun segera mengambil jarak. "Krist, aku pergi dulu. Ada sesuatu yang harus aku kerjakan." Ucapnya sambil bergegas beranjak dari sana, meninggalkan Krist dengan wajah bingungnya.

Sejak saat itu Singto kembali ke sikapnya yang lama pada Krist. Ia mengabaikan Krist kala berpapasaan. Pesan ataupun panggilan telepon Krist pun tak ia respon. Singto pun sebenarnya sangat tersiksa karena harus menjauhi Krist. Ia merindukan tawa dari pemuda itu, tetapi Singto tak ingin mengambil risiko.

💌 -------- 💌

Berita kematian Nana juga sampai ke telinga Krist. Ia khawatir Singto kembali merasa tertekan, pemuda itu berusaha mengirimi Singto pesan. Sehari, dua hari, Singto sama sekali tidak membalas pesannya, padahal dulu, walaupun tidak terlalu sering, Singto pasti membalas pesannya setiap hari.

Phi, mau bertemu?

Phi, sudah makan?

Phi tidak apa-apa, 'kan?

Pesan itu selalu Krist kirim, tetapi tetap tidak ada balasan sama sekali. Tak hanya tidak membalas pesannya, Singto juga seperti berusaha menghindarinya ketika mereka berpapasan. Beberapa kali Krist mencoba menelepon, tak pernah Singto angkat, bahkan ponsel pemuda tan itu sering kali tidak aktif. Krist merasa sikap Singto berubah, seolah semakin tak tersentuh, kembali seperti saat pertama kali ia menyatakan perasan dulu.

Krist hanya mengkhawatirkan keadaan Singto dan ingin memberikan dukungannya agar seniornya itu tak terlalu merasa tertekan. Namun, melihat sikap yang Singto tunjukkan akhir-akhir ini, rentetan pertanyaan segera saja memenuhi benak Krist. Apa Singto membencinya? Apakah ia telah membuat sebuah kesalahan? Apakah sikapnya selama ini ada membuat Singto terganggu? Krist tak tahu jawabannya.

Bloody LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang