Amnesia
Langit malam tampak lebih gelap dari hari sebelumnya. Gemintang yang biasa kita pandangi bersama ikut tidak muncul. Mereka hilang, lesap membawa semua memori, menyisakanku hanya dengan sebuah sebuah kekosongan. Meninggalkanku tanpa kalimat untuk perpisahan.
***
Aku masih ingat waktu itu, kamu berjalan ke arahku memohon agar tidak dihukum karena keterlambatanmu. Pertemuan itu, di depan labtek biru, dengan mata yang masih sayu. Tidak akan menyangka aku bisa jatuh secepat itu. Yang kulakukan hanya mengulum senyum atas keberanianmu menjawab segala pertanyaan dari temanku.
"Ngapain lo senyum-senyum?" Pertanyaan yang seharusnya dilontarkan ke angkatanmu, ternyata juga terlontar untukku. Kala itu Sheina yang tepat berada di barisan barikade bersamaku berbisik-bisik padaku.
Aku berusaha menyembunyikan lagi senyum yang sedari tadi aku pasang. Namun, mataku tetap mengikuti bayangmu kemana pun kamu pergi. Satu minggu penuh dan aku yakin tidak hal lain selain kamu yang menyita otakku saat itu. Sikapmu yang tak seperti perempuan kebanyakan membuatku semakin takjub. Kamu bukan orang penakut, kata-kata yang keluar dari mulutmu bahkan lebih banyak umpatan-umpatan kekesalanmu.
Suatu malam, aku memberikan responsi suatu mata kuliah. Rasanya aku tidak bisa berhenti memagut pandanganku kepadamu yang begitu fokus, serius, menemukan cara paling tepat untuk menyelesaikan persoalan yang kini kuberikan. Dan malam itulah aku mulai berani, berani menyapamu.
"Kazu ada kesulitan?" tanyaku mendekatimu yang sibuk mengutak-atik aplikasi Matlab yang kamu buka di laptop.
Bisa terlihat jelas bahwa kamu terkesiap, terkejut mendengar suaraku. Jemarimu terangkat tak menyentuk keyboard, tergenggam lalu melihatku lekat. "Temen gue lebih sering manggil Zura sih, Kak."
"Tapi lo tetep noleh kan?"
Kazu. Zura. Kazura. Apa pun panggilanmu, saat itu kamu tetap memilih untuk diam tidak menjawab pertanyaanku. Yang kamu lakukan hanya tersenyum kecil, membetulkan kacamata yang kamu kenakan lalu diam kembali. Bahkan aku baru tahu kamu mengenakan kaca mata. Terlihat sangat cocok.
Malam itu, usaha pertamaku. Tidak berlangsung baik. Tapi bukan aku kalau sudah menyerah. Kesempatan kedua tidak akan sia-sia begitu saja.
Bandung hujan lagi. Semakin dingin. Namun, gerimis tidak menyurutkanmu untuk menerobos pulang. Berpamitan dengan teman-temanmu lalu berjalan kaki menuju parkiran tempatmu meletakkan motormu. Tanpa payung yang menaungi rambut sebahumu itu. Gemas sekali melihatnya. Lekas kubereskan segala barangku dan beranjak mengejarmu yang sedang berjalan di bawah derai hujan.
"Kazu tunggu!" panggilku membuat langkahmu terhenti.
"Kenapa Kak?"
Tidak menjawab aku langsung mendekatinya. Membuka payungku dan menaungi tubuhnya yang mulai basah oleh hujan. Kamu kebingungan tidak tahu harus merespon apa.
"Nggak usah repot-repot Kak."
Aku tidak berkutik. Tetap memegangi payung agar terus melindungimu. Kenapa saat itu keras kepala sekali? Kaus hitam juga celana jeans belel yang kamu kenakan saat itu sudah hampir kuyup.
"Gue anter sampai parkiran."
Matamu melotot seketika. Menggigit bibir bawah menggemaskan. "Gue bisa sendiri, Kak."
Akhirnya aku menuruti kemauanmu. Kuberikan payung itu untukmu, lalu aku pergi tak mengucap apa-apa. Aku biarkan kamu dengan segala pertanyaan yang seharusnya hanya aku yang bisa menjawab.
Benar perkiraanku. Semenjak itu, kamu jadi sadar kehadiranku selama ini. Sejak acara janji temu kita hanya untuk pengembalian payung, sejak itu kita semakin dekat. Tiap malam berkirim pesan, bahkan kamu bersedia menemaniku ketika aku harus menyelesaikan laporan praktikum hingga tengah malam. Mulai detik itu, masing-masing dari kita sudah mulai mengisi cerita masing-masing. Aku jadikan kamu sebagai tokoh utama untuk cerita yang tak ingin kuselesaikan. Karena aku berniat menjadikan cerita ini berlangsung selamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life in Melody
Short StorySetiap lagu pasti ada cerita, setiap nada pasti ada rasa. Maka, ini adalah ceritaku dari setiap alunan melodi yang kudengar.