sebelum awal

284 139 14
                                    

Pernahkah kamu merasakan ketidakadilan alam? Mimpiku hilang karena sesuatu yang seharusnya menjadi berkah. Terhempas dikesepian, menepi di kedalaman kegelapan. Kalau saja aku tidak bisa melihat 'mereka', hidupku pasti sempurna.

"Lukis saja semaumu," kata Mama yang berdiri disampingku.

Aku mendongak keatas, sesosok arwah berambut panjang yang mengenakan kebaya putih bernoda darah duduk diatas kanvasku. Aku menyapukan kuasku di permukaan kanvas itu. Cat akrilik yang kubeli bulan lalu menyelimuti setiap inci kanvas, aku melukis arwah itu. Mama tampak kaget, dia menatap lukisanku dengan pucat. Aku melukis sesuai apa yang kulihat, dan aku tidak diperbolehkan melukis itu lagi.

♬♩♪♩

"Jawab Mama sejujurnya, Fazra," kata Mama kepadaku. Aku menghindari tatapan mata Mama, menghindari pertentangan hati dan logika yang tak pernah habis.

"Aku hanya melukis apa yang kulihat, Ma. Kan dari awal Mama bilang 'Lukis saja semaumu'", jawabku, mencoba menyampaikan kenyataan pahit.

"Jawabanmu selalu mengecewakan. Bercanda juga ada batasnya, kenapa harus ngelukis itu sih?" Mama tidak mau kalah. Mama terdiam sejenak lalu berkata kepada Mbak Nia, "Singkirkan lukisan itu, cepat!"

Muka Mama memerah, dahinya mengernyit, "Jangan ulangi ya, dan mulai sekarang kamu harus ngelukis disamping Mama. Kamu cuma boleh ngelukis apa yang Mama suruh".

Dan saat kamu melukis, diluar itu yang kamu lihat.., itu tidak nyata.
Mama selalu menutup mataku saat aku melihat ke atas, melihat arwah yang selalu duduk di atas kanvasku. Berbahagialah kalian yang bisa menikmati hari kalian, yang bisa mewarnai hari kalian sendiri. Aku hanya tau hitam putih, hidup sesuai aturan dengan jiwa yang liar.

♬♩♪♩

Di galeri seni Fazra

"Anaknya benar-benar mewarisi talenta Mamanya, ya".

"Iya, Li. Kepekaan warnanya dan juga tekniknya, sama persis".

"Anaknya Bu Pelukis hebat banget, udah bisa ngelukis kayak gini di umur semuda ini".

Kim dan Lily, sahabat dan tetangga bisa dibilang tamu spesialku. Mereka selalu datang ke galeri seni pribadiku hanya untuk meneguk teh ataupun mengobrol sambil memandangi lukisan-lukisanku yang tiada habisnya.

"Kalian berlebihan, masih banyak yang kurang kok," kata Mama, seorang mantan pelukis. Mama menatapku, mengharapkanku untuk berkata sesuatu kepada para tamu.

"Maaf ya, anak ini jadi pendiam akhir-akhir ini," kata Mama sambil tersenyum.

"Lagi puber ya? Saudara ku juga begitu, kok," kata Kim lalu tertawa kecil. Mama menatapku lagi tapi kali ini dengan pandangan yang mengancam.

♬♩♪♩

"Selama ini kamu baik-baik aja. Kenapa jadi kayak gini?" tanya Mama.

"Aku gamau ngelukis lagi, Ma," kataku dengan perlahan.

"Kenapa?".

"Aku cuma mau ngelukis apa yang ingin aku lukis, apa yang kulihat".

"Mama gamau ngomongin ini".

Aku mengeluarkan tekad yang sudah kupendam sejak lama, aku hanya ingin bebas, apakah itu tidak cukup? "Emang kenapa sih, Ma? Karena cuma aku yang bisa lihat mereka? Justru lukisan aku bakal lebih sering dipuji-puji kan kalau aku ngelukis mereka?".

"Cukup, Fazra. Kamu istirahat saja".

"Tolong, Ma, sekali aja. Aku yakin para tamu bakal suka".

"Gaboleh!" teriak Mama, dia memukul tanganku. Bunyi pukulan itu bergema, pukulan pertama Mama dalam hidupku. Mama tampak terkejut dan memegangi tangannya, "Ini demi kebaikan kamu, Nak".

"Mama tau?" kataku pelan. "Aku benci Mama," aku keluar dari kamarku lalu membanting pintunya. Rintikan hujan turun dari mata Mama, berharap aku tahu rangkaian kebenaran yang terkubur.

♬♩♪♩

Di sekolah, pelajaran seni

"Seperti yang kalian tahu, guru seni lagi keluar kota. Kalian boleh ngelukis di luar kelas. Terserah mau ngelukis apa, yang penting kumpulin jam 5," kata guru pengawas setengah cuek seraya mengecek ponselnya.

Aku mengerut pensilku dan mempersiapkan cat ku. Aku menatap sekeliling, dan benar saja. Ada 2 arwah kembar yang tersenyum kepadaku dari dinding kelas.

Aku menatap kosong ke arah mereka dan melukis mereka.

LukisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang