setelah akhir

151 104 6
                                    

Aku terbangun di sebuah ruangan gelap dengan sesosok arwah di depanku. Arwah itu tidak menyentuh tanganku, melainkan menggenggam tanganku. Aku lantas berteriak, rasanya jauh lebih sakit. Memakai penutup mata adalah ide buruk, penglihatan yang gelap membuat arwah lebih mudah muncul.

"Mama disini, jangan takut," Mama datang dan mengusap-usap punggungku. "Dengar suara Mama, tarik nafas, gabakal ada apa-apa," Mama mencoba menenangkan ku, nafasku saling memburu.

"Mama ambil baju baru ya, kamu keringetan banget," saat hendak beranjak pergi, aku memegang tangan Mama. Aku tidak ingin sendiri di ruangan ini.

"Ma, jangan pergi".

♬♩♪♩

Di galeri seni Fazra

"Kamu udah denger, belom? Katanya Fazra gabisa melihat".

"Ya ampun, beneran? Aku sudah dengar rumor itu sih tapi katanya matanya baik-baik aja, di perbani doang".

"Masa matanya baik-baik tapi ditutupin kain? Setidaknya ada luka gitu dong".

"Iya juga".

"Pasti Bu Pelukis bingung banget, selamanya harus ada di sisi Fazra".

"Iya, sayangin banget bakat Fazra".

Lagi-lagi Kim dan Lily datang dan meneguk teh, kali ini mereka membicarakan pemiliknya.

♬♩♪♩

Aku duduk terdiam di kasur, aku menggambar sejuta harapan di benakku.

"Lagi apa?" tanya Mama lalu duduk di sampingku.

"Ngelamun doang," jawabku singkat.

"Ngelamun apa?" tanya Mama lagi.

"Aku mikir, ke depannya aku harus ngapain? Apa yang bisa aku lakuin sekarang? Kayaknya impianku terkubur karena mata ini, Ma," kataku lalu tertunduk. Mama mengelus kepalaku.

"Mama bakal cari cara biar Mama bisa terus di samping kamu dan kamu bisa gambar sepuas kamu, Fazra," kata Mama. "Mama pasti akan mencarinya".

♬♩♪♩

Namun, musim hujan tahun itu, Mama meninggal karena kecelakaan tanpa sebab, meninggalkan aku yang tidak berarti tanpanya. Semua ini terjadi begitu cepat, andai saja ini adalah mimpi.

"Bu Pelukis nitip ini, saya letakkan di ujung, ya," kata Mbak Nia sambil membawa beberapa barang. Setelah pintu tertutup, aku mulai meraba-raba barang yang baru saja tiba. Apa ini? Kok seperti.. kanvas?

Tiba-tiba, aku teringat perkataan Mama, aku segera membuka penutup mataku dan melihat sekeliling. Mama yang sudah menjadi hantu duduk di sampingku sambil tersenyum tipis. Tampaknya, Mama tidak menyesali bunuh diri yang disamarkan dengan kecelakaan untuk melindungiku.

♬♩♪♩

2 tahun kemudian

Galeri seniku yang dipenuhi oleh lukisan 'mereka' cukup ramai saat ini. Tamuku tidak hanya Kim atau Lily semata, seluruh orang dari penjuru dunia berkunjung ke sini. Semua orang menyaksikan gambaran dengan kata-kata penuh penantian, dengan rasa dan kesan yang berbeda.

"Secara keseluruhan, lukisan anda cukup unik. Sebenarnya, apa tema dari lukisan anda?" tanya reporter sambil tersenyum. Matanya masih mengeksplorasi lukisan-lukisanku.

"Saya hanya mengekspresikan apa yang saya lihat," jawabku.

"Saya setuju, imajinasi anda emang bisa dibilang dari apa yang anda lihat, ya! Lalu, pada pameran ini, lukisan mana yang bisa dibilang paling berkesan?" tanya reporter itu bersemangat menantikan sebuah karya seni.

"Lukisannya ada di belakang anda".

"Ada di belakang saya? Ah," reporter membalikann badannya dan matanya berbinar. "Waahh! Lukisan ini benar-benar membuat terpana ya! Tuan pelukis, apa nama lukisan ini?"

"Namanya?" Aku tersenyum lalu menjawab, "Saya menyebutnya Mama ".

♬♩♪♩

LukisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang